Tujuh Dekade Persahabatan Indonesia–Australia: Dari Dukungan Kemerdekaan hingga Kemitraan Strategis di Indo-Pasifik

Hubungan antara negara Indonesia dan Australia memiliki sejarah yang panjang dan dinamis (Foto: dok. FEB UII)

PARBOABOA, Jakarta - Pertemuan tête-à-tête antara Présiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese di Sydney pada Rabu (12/11/2025), menjadi simbol lanjutan dari hubungan panjang antara dua negara di kawasan Indo-Pasifik. 

Momen tersebut bukan sekadar diplomasi rutin, melainkan penegasan atas kemitraan strategis yang telah terbangun selama lebih dari tujuh dekade.

Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, Australia telah memainkan peran penting dalam perjalanan diplomatik bangsa ini. 

Negeri Kanguru tersebut menjadi salah satu negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan mengirimkan misi diplomatik untuk bertemu langsung dengan Presiden Soekarno. 

Bahkan, Australia dipercaya menjadi wakil Indonesia dalam berbagai diskusi penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), langkah yang kemudian berujung pada pengakuan resmi atas kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Dukungan di masa awal itu menjadi fondasi kokoh hubungan bilateral kedua negara. Seiring waktu, relasi Indonesia dan Australia berkembang dari sekadar kedekatan geografis menjadi kerja sama yang meliputi berbagai bidang: ekonomi, pendidikan, pertahanan, hingga kebudayaan.

Pada 5 April 2005, kedua negara menandatangani Joint Declaration on Comprehensive Partnership yang memperluas ruang kolaborasi strategis di antara keduanya. 

Hubungan ini kemudian meningkat ke tingkat Comprehensive Strategic Partnership (CSP) pada 31 Agustus 2018, yang menandai era baru kerja sama bilateral berbasis kesetaraan, saling menghormati, dan kepentingan bersama.

Momentum penting lainnya terjadi pada Februari 2020, ketika Indonesia dan Australia merayakan 70 tahun hubungan diplomatik. Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan ke Parlemen Australia di Canberra. 

Salah satu capaian utama dari era tersebut adalah penandatanganan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sebagai kesepakatan ekonomi yang membuka peluang besar bagi peningkatan perdagangan, investasi, dan pertukaran tenaga profesional antara kedua negara.

Namun, perjalanan panjang ini tidak selalu berjalan mulus. Hubungan Indonesia dan Australia sempat mengalami pasang surut akibat perbedaan kepentingan politik dan kebijakan luar negeri. 

Pada masa konfrontasi Indonesia–Malaysia di era 1960-an, misalnya, Australia berpihak pada Malaysia dan bahkan terlibat dalam pertempuran di Kalimantan. 

Ketegangan juga muncul kembali pada 1999, ketika Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia. Kala itu, Jakarta menilai Australia berperan dalam lepasnya wilayah tersebut.

Isu pencari suaka, kebijakan imigrasi, serta dugaan penyadapan oleh intelijen Australia terhadap pejabat Indonesia turut memperkeruh suasana diplomatik. 

Situasi ini sempat menimbulkan perdebatan publik terkait apakah Australia benar-benar mitra strategis yang bisa dipercaya, atau justru pesaing tersembunyi di kawasan.

Meski demikian, kedua negara berhasil melewati berbagai ujian tersebut dengan dialog dan kerja sama konkret. 

Kini, Indonesia dan Australia berdiri sebagai mitra sejajar yang saling membutuhkan, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik, perubahan iklim, serta ketahanan ekonomi dan energi di kawasan Indo-Pasifik.

Kunjungan Presiden Prabowo ke Sydney menjadi penanda bahwa semangat persahabatan dua negara ini tetap hidup. 

Dari dukungan awal terhadap kemerdekaan Indonesia hingga terbentuknya kemitraan strategis di abad ke-21, hubungan Indonesia–Australia terus berkembang sebagai jembatan penting bagi stabilitas, keamanan, dan kemakmuran bersama di kawasan selatan dunia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS