PARBOABOA, Jakarta - Kasus dugaan pemalsuan laporan keuangan yang melibatkan mantan CEO eFishery, Gibran Huzaifah dan mantan CFO Chrisna Aditya, terus menjadi sorotan.
Keduanya diduga memanipulasi laporan keuangan sejak tahun 2018 untuk mendapatkan pendanaan dari investor dalam tahap awal pengembangan perusahaan.
Laporan internal dan temuan sejumlah pihak menyebutkan bahwa praktik manipulasi tersebut bertujuan menampilkan kinerja bisnis yang lebih baik dari kenyataan.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan, tak hanya dari kalangan investor, tetapi juga para pekerja eFishery yang merasa dirugikan secara moral maupun profesional akibat stigma negatif yang muncul.
Sejumlah karyawan bahkan mengalami kendala dalam proses rekrutmen di tempat kerja baru karena dianggap terlibat dalam dugaan pelanggaran tersebut.
Dalam wawancara dengan Bloomberg pada 15 April 2025, Gibran mengakui bahwa ia mulai memanipulasi laporan keuangan eFishery sejak akhir 2018 sebagai upaya untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis keuangan.
"Ketika Anda bercermin dan menyadari kesalahan, Anda tahu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya melakukannya untuk bertahan hidup," ujarnya.
Gibran menjelaskan dirinya menyusun dua versi laporan, yakni satu versi internal yang mencerminkan kondisi keuangan sebenarnya, dan satu versi eksternal yang menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik untuk menarik investor
Dalam laporan versi investor, pendapatan eFishery disebut mencapai Rp12,3 triliun, padahal laporan internal hanya mencatat Rp2,6 triliun. Bahkan, jumlah pengguna fasilitas pakan disebut dibesar-besarkan dari hanya 24.000 menjadi 400.000.
Ide tersebut, kata Gibran, muncul setelah berdiskusi dengan sesama pendiri startup Indonesia yang melakukan hal serupa sebelum penggalangan dana.
“Mereka (founder startup lain) mengatakan bahwa mereka memanipulasi angka-angka. Mereka memiliki beberapa 'growth hacking initiatives' yang dilakukan sebelum penggalangan dana,” tambahnya.
Menurut Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), tindakan tersebut tergolong masalah etika yang fatal bagi karier Gibran dan reputasi eFishery.
“Gibran sebagai pendiri dengan sadar memoles laporan keuangan. Ini adalah masalah etika yang fatal untuk karier Gibran dan eFishery,” ungkapnya dalam sebuah keterangan Medio Januari lalu.
Tak hanya berimplikasi pada reputasi, kasus ini tengah disorot aparat penegak hukum. Polri menyatakan sedang mengumpulkan bukti dan akan menyelidiki apakah tindakan tersebut memenuhi unsur pidana.
Sementara itu, sejumlah investor asing yang menanamkan modal lewat eFishery juga dikabarkan tengah mempertimbangkan jalur hukum, termasuk melalui yurisdiksi luar negeri seperti Singapura.
Diketahui, eFishery telah menerima pendanaan dari berbagai investor besar, di antaranya Temasek Holdings, Softbank Vision Fund II, dan Northstar Group dengan total valuasi mencapai lebih dari US$ 1,4 miliar.
Karyawan Jadi Korban
Dampak paling nyata dari kasus ini justru dirasakan para pekerja, baik yang masih aktif maupun yang sudah keluar dari eFishery. Mereka harus menanggung stigma sosial akibat pemberitaan negatif terhadap manajemen perusahaan.
Serikat Pekerja Multidaya Nusantara (SPMTN) menyuarakan kekhawatiran serius terhadap nasib para karyawan.
“Kalau dari kacamata pekerja sekarang, kami inginnya kasus ini jadi urusan antara manajemen dengan investor. Jangan bawa-bawa dan cap pekerjanya juga terlibat,” kata Icad, Sekjen SPMTN akhir Januari lalu.
Icad menambahkan, beberapa mantan karyawan bahkan mengalami penolakan saat melamar pekerjaan di tempat lain.
“Kemarin ada yang resign, lalu cari pekerjaan baru, mereka tiba-tiba di-ghosting perusahaan yang mau merekrut karena adanya berita ini. Padahal mereka enggak tahu apa-apa,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa manipulasi keuangan dilakukan oleh segelintir oknum di jajaran manajemen, bukan kesalahan seluruh karyawan.
Pihak serikat meminta agar publik dan pelaku industri tidak menggeneralisasi tindakan tersebut kepada semua pekerja eFishery.
Mereka juga mendesak perusahaan untuk membatalkan rencana PHK karyawan dan meninjau kembali lini bisnis yang masih bisa dikembangkan.
"SPMTN mendesak perusahaan untuk menjalankan kembali operasional bisnis guna memastikan keberlanjutan bisnis serta dampak pada pembudidaya, petambak, pekerja, dan eFishery di masa mendatang," pungkasnya.