PARBOABOA, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) resmi menolak kasasi yang diajukan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.
Dengan keputusan ini, status pailit Sritex menjadi berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Keputusan MA ini pun juga sekaligus memperkuat putusan Pengadilan Niaga Semarang yang sebelumnya menyatakan Sritex beserta tiga anak perusahaannya pailit.
Kasus ini bermula dari permohonan PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur, yang meminta pembatalan perdamaian karena Sritex dianggap lalai memenuhi kewajiban pembayaran utang sesuai perjanjian homologasi yang disepakati pada 25 Januari 2022.
Permohonan tersebut pun dikabulkan Pengadilan Niaga Semarang, yang kemudian menetapkan Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit.
Sebagai tanggapan, manajemen Sritex mencoba mengajukan kasasi ke MA pada 25 Oktober 2024 sebagai upaya hukum terakhir.
Namun, Majelis Hakim MA yang dipimpin Hamdi, dengan anggota Nani Indrawati dan Lucas Prakoso, memutuskan untuk menolak kasasi tersebut. Dengan demikian, proses kepailitan Sritex akan dilanjutkan sesuai aturan hukum yang berlaku.
Keputusan ini memberikan dampak besar, mengingat Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil ternama dengan puluhan ribu karyawan.
Tak heran, jika banyak pihak yang mengkhawatirkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat kepailitan ini.
Pemerintah sebelumnya juga sempat berupaya mencari solusi agar Sritex tetap bertahan dan menjaga kesejahteraan para karyawannya.
Namun, dengan keputusan ini, upaya tersebut tampaknya tidak lagi dapat dilanjutkan, dan fokus kini beralih pada bagaimana mengelola dampak sosial dan ekonomi dari kepailitan ini.
Proses pailit ini juga memberikan tekanan pada industri tekstil nasional, karena Sritex selama ini merupakan salah satu pemain utama di sektor tekstil dan menjadi tulang punggung ekspor tekstil Indonesia.
Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan bahwa Sritex berkontribusi signifikan terhadap nilai ekspor nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, dengan keputusan ini, kontribusi tersebut diperkirakan akan menurun secara drastis, serta berpotensi melemahkan posisi Indonesia di pasar tekstil internasional.
Selain itu, proses penyelesaian pailit akan melibatkan kurator. Tugas kurator adalah mengelola aset perusahaan serta memfasilitasi rapat kreditur untuk membahas langkah-langkah penyelesaian utang perusahaan.
Rapat kreditur akan menjadi kunci untuk menentukan arah penyelesaian kewajiban Sritex ke depan.
Dalam kasus ini, aset Sritex yang bernilai triliunan rupiah akan menjadi perhatian utama, termasuk aset berupa pabrik, mesin produksi, dan inventaris tekstil.
Kurator juga harus memastikan bahwa proses ini berjalan transparan dan adil, terutama bagi kreditur kecil yang memiliki keterbatasan untuk menuntut hak mereka.
Industri tekstil sendiri tengah menghadapi tantangan berat, mulai dari persaingan global hingga penurunan daya beli masyarakat.
Penutupan Sritex dikhawatirkan akan berdampak pada rantai pasokan industri tekstil dalam negeri, termasuk pemasok bahan baku dan pelaku usaha kecil yang selama ini bergantung pada perusahaan ini.
Jika tidak ada solusi yang memadai, hal ini berpotensi memicu efek domino yang merugikan sektor tekstil secara keseluruhan.
Dampak lain yang tidak kalah signifikan adalah pada wilayah sekitar pabrik Sritex. Sebagai perusahaan yang beroperasi di berbagai daerah, Sritex telah menjadi salah satu penyumbang utama ekonomi lokal.
Banyak masyarakat yang bergantung pada aktivitas perusahaan, baik secara langsung sebagai karyawan maupun tidak langsung melalui usaha kecil yang melayani kebutuhan karyawan dan operasional perusahaan.
Ketika aktivitas perusahaan terhenti, usaha kecil ini juga berisiko kehilangan pendapatan, menciptakan masalah ekonomi yang lebih luas.
Selain itu, pemerintah daerah di wilayah operasi Sritex juga diperkirakan akan menghadapi penurunan pendapatan daerah akibat berkurangnya aktivitas ekonomi.
Pajak dan retribusi yang selama ini disumbangkan oleh perusahaan juga akan terhenti, menambah beban keuangan daerah.
Beberapa pemerintah daerah telah mulai mencari alternatif untuk mengurangi dampak ini, termasuk dengan menarik investor baru atau mengalihkan sumber pendapatan dari sektor lain.
Sritex, yang selama ini menjadi salah satu pemain utama di industri tekstil Indonesia, kini menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Tanpa langkah strategis yang konkret, kepailitan ini berpotensi menimbulkan dampak berkepanjangan, baik bagi industri maupun masyarakat luas.
Dukungan dan sinergi dari berbagai pihak akan sangat diperlukan untuk memitigasi dampak yang ditimbulkan.