PARBOABOA, Pematangsiantar – Malam mulai turun di Samosir. Di sebuah panggung sederhana yang diterangi lampu-lampu seadanya denting garantung bersahut dengan tiupan suling, sementara suara taganing memberi irama yang memanggil orang untuk datang.
Dari kejauhan, anak-anak berlarian, orang tua bergegas, dan para ompung [nenek] berjalan pelan dengan tongkat di tangan. Inilah momen pada masa kecil yang selalu ditunggu Marlita Simbolon: sebuah pertunjukan Opera Batak, lengkap dengan musik, tarian, dan kisah yang hidup di tengah masyarakat. Ia mengingat jelas rasa girangnya setiap kali rombongan itu singgah di desanya.
Pertunjukannya sederhana tapi memikat. Cerita diangkat dari cerita rakyat, silsilah atau tradisi, situasi sosial saat itu, sampai ke tendensi perlawanan terhadap kolonial. Semua dibalut dengan musik gondang, nyanyian berbalas pantun, dan dialog spontan yang kadang memecahkan tawa penonton.
Dari uning-uningan pembuka, tarian tortor [tarian], sampai dialog yang kental bahasa Batak semuanya terasa seperti menyaksikan kehidupan sendiri di atas panggung.
“Dulu, belum ada campuran musik modern. Semua murni dari tradisi,” kenang Marlita Simbolon saat berbicara dengan tim Parboaboa di sanggar miliknya.
Di masa SMP, sekitar tahun 1986–1987, ia hafal betul lagu-lagu yang selalu dinanti penonton: Inang karya Charles Hutagalung, Molo habang ho lali, dan Inang Panaroni karya Tilhang Gultom yang dipopulerkan Trio Ambisi. Cerita Inang Panaroni—tentang ibu tiri yang tetap menjaga anak seperti darah daging sendiri—membekas dalam ingatan, seolah menjadi cermin nilai kasih sayang yang diyakini masyarakat.
Ketertarikan itu tidak pernah padam. Bahkan ketika kuliah di IKIP jurusan drama, seni, dan budaya, ia masih kerap memanggungkan Opera Batak, walau hanya di lingkungan kampus. Naskah perdananya sebagai sutradara—Ompu Tuan Situmorang—lahir setelah ia mendirikan sanggar sendiri.
Benang Baru
Pada 2010 Marlita resmi mendirikan Sanggar Angel Elkanean. Lima belas tahun kemudian, kelompok ini telah menjadi salah satu benteng terakhir pelestarian Opera Batak di Samosir. Dari 328 anak yang pernah bergabung, 92 masih aktif. Mereka bukan hanya mempelajari tortor dan musik tradisi tetapi juga seni kontemporer yang dikemas agar tetap bersentuhan dengan akar budaya.
“Ciri khas kami, pemain tidak sekadar mengha.al dialog. Mereka harus benar-benar menjadi tokoh.”
Format pembukaan pementasan yang ia rancang bahkan diikuti sanggar-sanggar lain memadukan adegan haru dengan humor agar penonton betah dari awal hingga akhir.
Meski jangkauan pementasan masih seputar Kabupaten Samosir, cita-cita mereka tinggi. Marlita percaya Opera Batak layak berdiri di panggung nasional bahkan internasional.
Keyakinannya bukan tanpa alasan. Ompu Tuan Situmorang pernah dibawakan kerabat mereka di Amerika dan mendapat sambutan hangat. Yang membuatnya paling terharu adalah respons penonton, terutama para lansia.
“Ompung-ompung yang dulu pernah tampil atau menonton, sekarang ikut menari dan bernyanyi di panggung. Itu artinya Opera Batak masih punya ikatan emosional lintas generasi.”
Pesannya kepada generasi muda tegas: “Boleh suka modern, tapi jangan lupa budaya sendiri. Tarian tradisi itu bukan masa lalu, tapi jati diri.”
Silvester Naibaho (17), sudah belajar di Sanggar ini sejak dirinya masih di Sekolah Dasa. Susah senang bersama personil lain di sanggar sudah ia alami sejak lama. Baginya orang-orang di Sanggar bukan lagi teman, guru, melainkan sebuah keluarga.
”Saya banyak belajar di sanggar ini. Dari yang awalnya pemalu, sampai sekarang saya akhirnya memiliki peran di Opera Batak. Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa menurut saya,” ucap Silvester dengan nada bangga.
Dalam memainkan berbagai lakon cerita di Opera Batak, dia tidak hanya sekedar memberikan penampilan terbaik tapi juga memahami arti dari cerita yang akan dipentaskan.
“Bukan cuma harus bagus performanya, tapi saya juga harus tahu arti dari Opera Batak ini, saya jadi mengerti bagaimana cerita dahulu yang jadi bagian dari tradisi dan budaya kita,” tuturnya.
Mempertahankan Warisan Budaya
Opera Batak pernah menjadi denyut seni rakyat di Tapanuli. Di masa jayanya, ia bukan sekadar hiburan, tapi juga ruang pendidikan moral, refleksi sosial, dan peneguh identitas Batak. Kini, di era gawai dan media sosial, bentuk seni ini terancam sunyi. Perubahan selera hiburan, minimnya regenerasi, dan keterbatasan panggung membuatnya berjalan di tepi senja.
Namun, di tengah tantangan itu, Rumah Karya Indonesia (RKI) memilih untuk tidak menyerah. Melalui Jong Batak Arts Festival (JBAF) yang sudah 12 tahun berjalan, RKI memberi panggung bagi seni-seni Batak, termasuk Opera Batak.
“Bentuknya tetap Opera Batak, tapi temanya harus dekat dengan problem hari ini,” ujar Ojax Manalu, Direktur RKI.
Dalam JBAF, Opera Batak dikemas lebih singkat, dengan tema keseharian, tata cahaya modern, multimedia, dan musik yang dinamis—tetapi tetap mempertahankan bahasa Batak, tarian, dan nilai tradisinya.
RKI juga menggandeng kelompok-kelompok seni lokal di Danau Toba, termasuk yang di Samosir. Mereka tidak hanya menggelar pertunjukan, tapi juga mendorong Opera Batak masuk ke sekolah dan gereja, agar generasi muda punya kedekatan emosional dengan kesenian ini.
Meski pada 2024 Opera Batak telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, dukungan anggaran masih minim. Regenerasi pun belum optimal.
“Pendanaan dan regenerasi itu ibarat dua kaki. Kalau satu pincang, jalannya tidak akan jauh,” kata Ojax.
Opera Batak mungkin tidak lagi hadir dalam tiga malam atau bahkan sebulan penuh berturut-turut seperti dulu, atau memadati lapangan desa hingga dini hari. Tapi di tangan orang-orang seperti Marlita dan Ojax Manalu, ia sedang mencari bentuk baru.
Mungkin ia akan hadir sebagai drama musikal keluarga yang ringan. Mmungkin ia akan merambah layar digital, atau tetap bertahan di panggung terbuka di tepi Danau Toba. Yang pasti, selama masih ada yang menulis naskah, memukul garantung, menari tortor, dan menyanyikan Inang Panaroni, Opera Batak belum mati. Ia hanya sedang menunggu fajar berikutnya.
Penulis: Patrik Damanik, Rizal Tanjung
Editor: P. Hasudungan Sirait
(Bersambung)