Siantar Zoo: Terbiasa dengan Puspa Lelaku Primata

Junaidi Effendi, animal keeper yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun di Siantar Zoo. (Foto: Novriani)

Tulisan-2

Di balik deretan kandang satwa di Siantar Zoo ada sosok  yang tak pernah diperhatikan sebagian besar pengunjung. Padahal, bagi ratusan hewan di sana, pria berusia 56 tahun bernama Junaidi Efendi adalah denyut kehidupan. Sejak 2003, ia mendedikasikan diri sebagai penjaga satwa—pekerjaan yang tak hanya menuntut tenaga, tapi juga kesabaran, cinta, dan pengorbanan.

Sebelumnya,  hidup Junaidi jauh dari dunia hewan. Ia pernah menjadi pekerja serabutan yang  berpindah dari satu tempat  ke yang lain demi kelangsungan  hidup. Segalanya berubah barulah setelah ia menikah.
“Dulu kerja apa aja, yang penting halal. Tapi waktu sudah berkeluarga, saya pikir harus cari kerja yang lebih tetap, yang bisa saya jalani dalam jangka panjang,” ujarnya sambil menatap kandang primata yang menjadi wilayah kerjanya sehari-hari.

Titik balik datang di awal 2000-an, saat Siantar Zoo tengah menambah koleksi satwa, termasuk seekor kuda poni. Manajemen butuh tenaga. Tanpa latar belakang apa pun, Junaidi memberanikan diri mendaftar dan ternyata diterima. Ia belajar langsung di lapangan: memberi pakan dan membersihkan kandang hingga memahami karakter dan kebutuhan tiap hewan.
“Awalnya takut juga, karena nggak punya basik sama sekali. Tapi karena setiap hari ketemu, lama-lama jadi ngerti. Hewan itu bisa ngajarin kita juga, kalau kita niat,” ucapnya dengan rendah hati.

Bagi Junaidi, menjadi animal keeper bukan sekadar pemberi makan tapi juga pengabdian. Di awal bergabung, ia tak hanya mengurus satu atau dua kandang  melainkan semua.  Mamalia besar, reptil, atau  burung tak soal.  Ia kerap ikut merawat hewan sakit, membersihkan kandang, bahkan menjadi “teman ngobrol” bagi satwa yang terlihat stres.

“Dulu kita kerjakan semua, karena staf masih sedikit. Jadi ya, kadang dari pagi sampai sore terus keliling. Capek, tapi ya senang juga,” kata Junaidi dengan tawa ringan.

Sejak 2019 tanggung jawabnya dipusatkan ke satu wilayah khusus: primata. Setiap hari ia mendatangi kandang monyet ekor panjang, siamang, owa, dan  orangutan. Bagi pengunjung, hewan-hewan itu mungkin terlihat serupa. Tapi bagi dia masing-masing punya karakter, kebiasaan makan, bahkan suara khas yang mudah dibedakan.

Menjadi penjaga primata bukan pekerjaan biasa. Soalnya, yang diurusi makhluk cerdas sekaligus sensitif. Mereka bisa murung jika lingkungannya tidak nyaman.  Bahkan, akan  menolak makan ketika stres.

 

memberi makan satwa

Kegiatan  sehari-hari  memberi makan satwa. (Foto: Novriani)

“Ada yang marah kalau saya datang telat. Ada juga yang suka ngajak main. Kalau sakit, biasanya diam, murung. Jadi saya harus peka,” ujarnya sambil menenteng pakan segar dan semprotan pembersih yang selalu ia bawa berkeliling.

Dari pengalaman, Junaidi belajar membaca bahasa tubuh dan suara primata. Ia tahu kapan siamang sedang marah hanya dari nada suaranya, atau kapan anak monyet butuh perhatian lebih.

Jendral

Kenangan paling membekas Junaedi sepanjang lebih dari dua dekade pengabdiannya adalah mengurusi seekor harimau Sumatra. Bukan sebab  keganasannya melainkan karena keunikan si raja hutan bernama Jenderal.
“Dia beda dari harimau lain. Kalau nggak dikasih nasi sama ayam goreng kadang malah mogok makan,” kata Junaidi sambil tersenyum geli.

Keganjilan itu bermula saat Jenderal masih bayi, baru tiba dari Aceh. Belum bisa makan daging mentah, ia diberi susu dan nasi putih. Kebiasaan itu terbawa hingga dewasa. Sementara harimau lain lahap menyantap daging segar, Jenderal justru lebih bersemangat bila mendapat porsi nasi lengkap dengan ayam goreng.

Sebagai keeper yang paling lama mendampingi, Junaidi tahu betul watak Jenderal. Meski tubuhnya besar dan tampak garang, mahluk  ini jinak terhadap orang-orang yang merawatnya sejak kecil.
Tapi, ajal tak bisa ditolak. Pada 2024, setelah hampir tiga dekade hidup di Siantar Zoo—usia yang luar biasa panjang untuk seekor harimau—Jenderal akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Waktu dia mati, saya seperti kehilangan keluarga. Dari kecil dia di sini, kita yang rawat, kita yang kasih makan, kita juga yang mandiin,” ucap Junaidi pelan sebelum menunduk sejenak.

Sebagai penghormatan, tubuh Jenderal diawetkan dan ditempatkan di museum kebun binatang. Ia tak lagi berjalan gagah, tapi tetap hadir sebagai pengingat.
“Biar anak-anak nanti tahu, ini dulu harimau istimewa. Punya kebiasaan unik, dan sudah seperti bagian dari hidup kita,” ujar Junaidi dengan suara bergetar.

 

membujuk orang utan

Membujuk orangutan Kalimantan agar makan.  (Foto: Novriani)

Tak banyak yang tahu bahwa  sebelum menjadi ikon Siantar Zoo harimau Sumatra bernama Jenderal sempat dipelihara secara pribadi oleh Musa Rajekshah, mantan Wakil Gubernur Sumatera Utara yang akrab disapa Ijeck. Namun karena statusnya sebagai satwa dilindungi, sesuai Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jenderal kemudian diserahkan ke Siantar Zoo. Di sanalah ia tumbuh besar—dan menjadi bagian dari perjalanan panjang Junaidi sebagai keeper.

Seperti Keluarga

Selain Jenderal, ada penghuni lain yang menempati ruang khusus di hati Junaidi. Salah satunya seekor owa betina bernama Inong.
“Inong itu owa betina, dari kecil memang sudah di sini. Jadi dia sudah anggap saya seperti keluarga,” ujarnya sambil tersenyum.

Inong bukan sekadar primata biasa. Ia manja, penuh ekspresi, dan terikat secara emosional dengan orang-orang yang dikenalnya sejak kecil—terutama Junaidi. Setiap pagi, begitu lelaki itu  mendekat ke kandang, Inong akan segera meraih bajunya, meminta dielus, atau sekadar disapa.
“Kalau kita lewat aja tanpa sapa, dia narik baju. Kadang tangannya masuk lewat celah kandang. Kalau nggak digubris, dia bisa ngambek.”

Namun,  sikap manja itu hanya untuk orang yang ia percaya. Ke orang asing dia bisa agresif: berteriak, menggeram, atau memukul jeruji kandang sebagai tanda penolakan.
“Dia bisa bedakan mana orang yang dia kenal dari kecil, mana yang baru,” jelas Junaidi. “Kalau baru, dia waspada, bisa galak.”

 

owa betina manja

Inong, owa betina manja nan menggemaskan. (Foto: Novriani)

Kisah lain datang dari seekor orangutan Kalimantan bernama Banjar.
“Banjar itu pintar sekali. Kalau kita panggil dan kasih makan, dia langsung turun dari pohon, menggelondot pelan-pelan,” kenang Junaidi, tersenyum.

Kata menggelondot ia pakai untuk menggambarkan cara khas Banjar menuruni tali atau batang pohon sebelum mendekap: santai tapi terukur.

Banjar juga punya akal bulus yang membuat Junaidi kerap geli.
“Kalau sudah dikasih makan, dia pura-pura pergi. Tapi ngintip dari balik pohon. Kalau lihat kita masih pegang makanan, dia datang lagi, minta lagi,” katanya sambil terkekeh.

Lebih dari sekadar cerdas, Banjar juga peka terhadap suasana. Menjelang sore, ketika jam operasional kebun usai, ia sering menunjukkan kegalauan. “Jam lima sore zoo mau ditutup, dia udah gelisah. Biasanya stres. Dia tahu kalau hari sudah selesai, interaksinya berkurang.”

Bagi Banjar, keeper bukan hanya pemberi makan, tapi juga teman, pengisi waktu, bahkan bagian dari lingkaran sosial. Maka ketika interaksi berkurang, ia bisa murung layaknya manusia yang kehilangan rutinitas menyenangkan.

 

banjar orang utan kalimantan

Banjar, orangutan Kalimantan, salah-satu primata populer di Siantar Zoo. (Foto: Novriani)

“Kecerdasannya luar biasa. Dia ngerti situasi, dia punya ekspresi. Rasanya seperti ngurus anak sendiri,” ucap Junaidi, tertawa kecil.

Dua Dekade

Keputusan Junaidi untuk menjadi animal keeper tidaklah salah. Seiring waktu, pekerjaan ini menjelma menjadi ruang pertumbuhan personal sekaligus emosional baginya. Dari satwa-satwa yang ia rawat, ia belajar tentang tanggung jawab, kesabaran, bahkan empati—nilai-nilai yang lahir dari makhluk yang tak bisa berbicara, tapi mampu menautkan ikatan batin.

Setelah dua dekade setelah pengambilan keputusan spontan itu dia tak pernah menyesal. Justru di antara jeruji kandang dan suara satwa yang setiap hari didengarnya, ia merasa menemukan panggilan hidup.

Pengalamannya bersama Inong, Banjar, dan primata lainnya membuktikan bahwa menjadi animal keeper bukan sekadar urusan teknis memberi pakan atau membersihkan kandang. Lebih dari itu, ini soal membangun rasa percaya. Sebab di balik jeruji besi, ada kehangatan yang tumbuh, ada komunikasi tanpa kata, dan ada hubungan emosional yang kian terikat hari demi hari. (Bersambung)

Penulis: Novriani Tambunan  [Liputan ini Tugas Akhir di  Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS