PARBOABOA, Jakarta – Di tengah dinamika sosial yang kian kompleks, laju perkembangan teknologi yang pesat, serta meningkatnya ekspektasi publik terhadap transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme aparat penegak hukum, reformasi kepolisian kembali mengemuka sebagai agenda yang tak terelakkan.
Kepolisian tidak lagi hanya dituntut hadir sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai institusi yang mampu membangun kepercayaan publik melalui praktik penegakan hukum yang adil, terbuka, dan berintegritas.
Isu krusial ini menjadi sorotan utama dalam webinar bertajuk “Quo Vadis Reformasi Kepolisian: Perspektif Hukum dan Politik” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Hukum (PRH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Jakarta, pada Rabu (17/12).
Forum akademik tersebut menghadirkan sejumlah peneliti BRIN yang menyoroti reformasi kepolisian dari berbagai sudut pandang, mulai dari aspek hukum tata negara, politik hukum, hingga isu integritas dan hak asasi manusia.
Kepala Pusat Riset Hukum BRIN, Nawawi, dalam pemaparannya menegaskan bahwa reformasi kepolisian merupakan keniscayaan sejarah yang harus dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.
Ia menilai, pembentukan tim reformasi kepolisian yang dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie mencerminkan adanya komitmen serius dari pemerintah untuk membenahi institusi Polri agar semakin profesional, modern, dan kembali memperoleh kepercayaan masyarakat.
“Reformasi kepolisian tidak cukup dilakukan melalui perubahan struktural dan regulatif semata. Reformasi juga harus menyentuh transformasi pola pikir, budaya kerja, serta penguatan implementasi prinsip Polri Presisi, prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan dalam praktik sehari-hari,” kata Nawawi.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa keberhasilan reformasi tidak bisa dibebankan hanya kepada institusi kepolisian, melainkan membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan peneliti, dalam mengawal arah dan pelaksanaannya.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Peneliti Ahli Madya PRH BRIN, Ismail Rumadan, yang meninjau reformasi kepolisian dari perspektif hukum tata negara dan sistem peradilan pidana.
Ia menjelaskan bahwa reformasi kepolisian pasca-1998 sejatinya telah membawa perubahan besar, terutama melalui pemisahan Polri dari TNI sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
Namun demikian, ia menilai bahwa agenda reformasi tersebut belum sepenuhnya tuntas.
Menurut Ismail, salah satu persoalan mendasar terletak pada luasnya kewenangan Polri yang beririsan langsung dengan kekuasaan kehakiman, khususnya melalui fungsi penyidikan.
“Mandat Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 belum diimbangi dengan pengaturan batas kewenangan dan mekanisme pengawasan yang memadai. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konsentrasi kewenangan berlebihan,” sorotnya.
Oleh karena itu, Ismail mendorong pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta penataan ulang kelembagaan Polri sebagai langkah strategis untuk memperkuat prinsip akuntabilitas dan supremasi hukum dalam negara hukum demokratis.
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya PRH BRIN lainnya, Oksimana Darmawan, mengangkat urgensi reformasi kepolisian dari perspektif integritas aparat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Ia menegaskan bahwa masih adanya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat kepolisian menjadi tantangan serius yang berdampak langsung pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri.
“Reformasi kepolisian harus dilakukan secara sistemik dan menyeluruh, mencakup aspek regulasi, kelembagaan, serta budaya organisasi. Upaya tersebut perlu didukung dengan pengawasan internal dan eksternal yang kuat, penegakan kode etik yang tegas, serta partisipasi aktif masyarakat,” ungkap Oksimana.
Menurutnya, reformasi Polri harus secara konsisten berorientasi pada pemenuhan kewajiban negara dalam melindungi dan menghormati HAM, bukan hanya sebagai tuntutan moral, tetapi juga sebagai amanat konstitusi yang harus dijalankan secara berkelanjutan.
Melalui forum diskusi ini, PRH BRIN berharap wacana dan gagasan yang berkembang dapat menjadi ruang refleksi bersama, sekaligus menjadi pijakan awal bagi penguatan riset dan kolaborasi lintas sektor.
Dengan demikian, agenda reformasi hukum dan kelembagaan kepolisian di Indonesia tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi benar-benar terimplementasi secara nyata demi terwujudnya institusi Polri yang profesional, akuntabel, dan berpihak pada keadilan.
