PARBOABOA, Jakarta - Bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah Batang Toru, Sumatra Utara, pada November 2025, kian menguatkan dugaan keterkaitan antara kerusakan ekologis di kawasan hulu dengan aktivitas industri kehutanan skala besar.
PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) disebut menjadi salah satu korporasi yang memiliki andil signifikan dalam degradasi lingkungan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, yang memperparah dampak curah hujan ekstrem saat bencana terjadi.
Temuan tersebut terungkap dalam laporan investigasi mendalam Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) bertajuk “Jejak PT Toba Pulp Lestari dalam Bencana Ekologi Sumatra”, yang dirilis pada Senin (22/12/2025).
Investigasi lapangan dilakukan sejak 28 November hingga 13 Desember 2025 di Sektor Aek Raja, salah satu wilayah konsesi PT TPL di kawasan Tapanuli Raya.
Ketua KSPPM Roki Pasaribu menjelaskan bahwa wilayah Aek Raja merupakan bagian penting dari sistem hulu Sungai Aek Sigeaon, anak sungai utama Batang Toru.
Dari total 64 anak sungai dan delapan hulu utama yang menjadi sumber aliran Aek Sigeaon di Kecamatan Aek Raja dan Sipoholon, sebagian besar kini mengalami kerusakan berat.
“Keberadaan konsesi PT TPL di wilayah hulu yang menyimpan banyak sumber air bagi Aek Sigeaon, yang selanjutnya mengalir ke Sungai Batang Toru, menjadi salah satu faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem ini,” kata Roki dalam peluncuran laporan tersebut.
KSPPM mencatat sedikitnya sepuluh bentuk kerusakan serius di wilayah hulu DAS Batang Toru, antara lain alur sungai yang tertutup tanaman eukaliptus, sempadan sungai ditanami monokultur, hulu sungai ditimbun dan dialihfungsikan, hingga munculnya aliran-aliran air baru yang tidak tercatat dalam peta resmi sungai.
Kondisi ini, menurut Roki, menunjukkan rusaknya sistem tata air alami di kawasan hulu.
“Bencana yang terjadi di Batang Toru serta keberadaan PT Toba Pulp Lestari itu sangat terkait erat, karena sungai-sungai yang ada di dalam wilayah konsesi itu dalam kondisi kritis, dan kami menduga ini karena operasi TPL sejak 1992,” ujarnya.
Roki menambahkan, perubahan tutupan lahan dari hutan alam menjadi tanaman monokultur eukaliptus telah menyebabkan penurunan drastis fungsi ekologis kawasan hulu.
Ia menjelaskan bahwa struktur akar eukaliptus yang dangkal dan bersifat hidrofobik mempercepat limpasan permukaan, mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan, serta meningkatkan risiko erosi dan longsor.
“Akibatnya, ketika hujan dengan intensitas tinggi terjadi pada 25 November 2025, sistem DAS Batang Toru tidak lagi mampu menahan tekanan hidrologis, sehingga debit air meningkat secara ekstrem dan membawa material kayu serta lumpur ke wilayah hilir,” katanya.
Investigasi KSPPM juga menemukan bahwa aktivitas pembukaan lahan masih berlangsung di dalam konsesi PT TPL. Dalam enam bulan terakhir, tercatat pembukaan hutan alam seluas sekitar 30 hektare di wilayah Aek Sigeaon.
“Setelah land clearing, kami menemukan tanaman eukaliptus di lokasi tersebut. Dan lokasi yang dibuka juga ada titik-titik sungai Aek Sigeaon, yang bermuara ke Batang Toru,” kata Roki.
Pemerintah Harus Bertindak
PT Toba Pulp Lestari sendiri tercatat mengantongi izin konsesi seluas 167.912 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Sumatra Utara.
Enam di antaranya, yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Kota Padangsidimpuan, dan Pakpak Bharat mengalami banjir dan longsor pada 15 November 2025 dan berada di dalam area konsesi perusahaan tersebut.
PT TPL juga masuk dalam daftar tujuh korporasi yang diduga berkontribusi besar terhadap terjadinya bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra Utara.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menegaskan bahwa bencana di Sumatra tidak dapat semata-mata dipandang sebagai fenomena alam.
Menurutnya, krisis iklim yang semakin parah berpadu dengan kerusakan ekosistem dan DAS yang kehilangan fungsi pengelolaan air.
“Tutupan hutan alam di DAS Sumatra tersisa 25 persen saja. Artinya, daya dukung dan daya tampung lingkungannya mulai hancur, termasuk di Batang Toru,” ujar Arie.
Ia mencatat bahwa wilayah Batang Toru mengalami deforestasi sekitar 70 ribu hektare selama periode 1990–2022.
Selain itu, terdapat sekitar izin dengan luas total sekitar 40 hektare di DAS Batang Toru, yang didominasi izin kehutanan, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.
“Artinya, bencana ini bukan sekadar faktor alam, tapi juga disebabkan oleh ulah manusia. Kita harus pastikan orang-orang yang bertanggung jawab atas bencana ditindak secara hukum karena banyak sekali perizinan dan dokumen lingkungan yang sudah dilanggar, baik korporasi individu maupun pemberi izinnya,” tegas Arie.
Pandangan serupa disampaikan Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo. Ia menilai bencana yang menimbulkan ribuan korban jiwa tidak lagi cukup dipandang sebagai pelanggaran hukum administratif, melainkan telah memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Kehilangan nyawa dari korban banjir Sumatra harus mengajarkan pemerintah untuk harus berbenah dan bertanggung jawab menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi penegakan hukum. Tidak hanya tata ruang yang dilanggar, namun ada pelanggaran HAM berat yang terjadi,” kata Okto.
Di tengah sorotan publik, pada 12 Desember 2025 PT TPL disebut menerima surat dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumatra Utara terkait penghentian seluruh kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu eukaliptus hasil budidaya, termasuk di area Penggunaan Kawasan Restorasi (PKR).
Tiga hari kemudian, Kementerian Kehutanan mengumumkan pencabutan 22 izin perusahaan yang terbukti berkontribusi terhadap bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Kementerian Kehutanan juga menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap PT Toba Pulp Lestari.
Menanggapi langkah tersebut, KSPPM menegaskan bahwa temuan investigasi ini memperkuat urgensi pencabutan izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT TPL secara permanen.
Selain itu, pemerintah didesak melakukan pemulihan menyeluruh terhadap hutan-hutan kritis, khususnya di kawasan hulu DAS dan daerah tangkapan air Batang Toru, serta mengembalikan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat adat.
“Tanpa perubahan kebijakan yang tegas, dan konsesi industri skala besar tetap dipertahankan di kawasan hulu yang vital, bencana ekologis di Sumatra Utara hanya akan terus berulang dengan skala yang semakin besar,” kata Roki.
