PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto kembali menyatakan dukungannya terhadap perluasan perkebunan kelapa sawit di Papua sebagai bagian dari strategi besar mencapai swasembada energi nasional.
Gagasan ini disampaikan dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara pada Selasa (16/12/2025), sekaligus menegaskan pandangan Prabowo bahwa Papua memiliki potensi besar sebagai daerah penghasil energi berbasis bahan bakar nabati.
“Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM,” kata Prabowo.
Menurutnya, pemanfaatan sumber daya alam Papua, termasuk kelapa sawit, singkong, dan tebu, akan memungkinkan daerah tersebut menikmati hasil energi yang diproduksi di wilayahnya sendiri.
“Saya kira Papua punya sumber energi yang sangat baik dan Menteri ESDM juga sudah merancang bahwa daerah-daerah Papua harus menikmati hasil daripada energi yang diproduksi di Papua,” ujarnya.
Prabowo meyakini, bila berbagai komoditas tersebut dikelola secara maksimal, didukung tenaga surya dan tenaga air, maka Indonesia dapat menghentikan ketergantungan impor BBM.
Saat ini, kata dia, impor BBM masih menelan biaya hingga Rp520 triliun per tahun.
“Kalau kita bisa tanam kelapa sawit, tanam singkong, tanam serbuk pakai tenaga surya dan tenaga air, bayangkan berapa ratus triliun kita bisa hemat setiap tahun,” kata Prabowo.
Namun, rencana ini langsung menuai kritik tajam dari pegiat lingkungan dan akademisi. Mereka menilai ekspansi sawit di Papua berpotensi memperparah krisis ekologis sekaligus memperdalam ketimpangan sosial di wilayah tersebut.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menyebut sikap Prabowo tidak menunjukkan empati di tengah bencana ekologis yang melanda Sumatra.
“Seharusnya ia belajar dari situasi yang terjadi di tiga provinsi [Sumatra],” ujar Uli dalam siaran pers yang dirilis pada Jumat (19/12/2025).
Menurutnya, alih fungsi hutan menjadi kawasan ekstraktif seperti perkebunan sawit dan tambang telah terbukti memperparah dampak banjir dan longsor.
Perubahan fungsi hutan, kata Uli, melemahkan daya dukung lingkungan yang semestinya menjadi penyangga kehidupan masyarakat.
Kekhawatiran serupa disampaikan Sawit Watch. Berdasarkan catatan organisasi ini, luas perkebunan kelapa sawit di Papua hingga 2022 telah mencapai 290.659 hektare, hampir menyentuh ambang batas daya tampung lingkungan yang diperkirakan sebesar 290.837 hektare.
“Luas perkebunan yang ada sudah sangat krusial dan hampir mendekati kapasitas ekosistem yang ideal,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo pada Kamis (18/12/2025).
Achmad memperingatkan bahwa penambahan lahan sawit berisiko memicu pencemaran dan degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem, termasuk kehidupan manusia di sekitarnya.
Ia juga mencatat, sekitar 75.308 hektare perkebunan sawit di Papua telah berada di wilayah hutan primer, kawasan konservasi, dan habitat burung cenderawasih.
“Pembukaan lahan baru sama dengan menghancurkan ekosistem penting ini secara permanen,” ujarnya.
Data Sawit Watch ini berbeda dengan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2022, BPS mencatat luas perkebunan sawit di Papua sebesar 218.900 hektare, yang kemudian meningkat menjadi 236.060 hektare pada 2024.
Meski demikian, pemerintah hingga kini belum memastikan lokasi penambahan sawit baru, termasuk apakah akan dilakukan di Merauke yang sebagian wilayahnya telah dibuka untuk perkebunan tebu.
Suara yang Mendukung
Di sisi lain, dukungan terhadap program Presiden datang dari sejumlah kepala daerah di Papua. Ketua Asosiasi Gubernur se-Tanah Papua yang juga Gubernur Papua Tengah, Meki Fritz Nawipa, menyatakan kesiapan mendukung agenda pemerintah pusat.
“Seluruh program bapak presiden kami fokus untuk mendukung di daerah,” kata Meki pasca rapat percepatan pembangunan Papua yang digelar di Istana Negara, Selasa (16/12/2025).
Senada, Gubernur Papua, Mathias Fakhiri, juga menegaskan komitmen untuk mengawal Dana Otonomi Khusus dan seluruh program strategis nasional 2025–2029 agar benar-benar dirasakan rakyat.
Meski demikian, sejumlah peneliti menilai masyarakat adat Papua justru menjadi pihak yang paling dirugikan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Almonika Cindy Fatika Sari, yang meneliti dampak perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, menyebut ekspansi sawit membentuk pola kemiskinan struktural baru.
Dalam riset terhadap perkebunan sawit seluas 14.000 hektare di Boven Digoel, atau sekitar seperempat luas DKI Jakarta, Almonika menemukan perubahan drastis dalam kehidupan masyarakat adat.
Dusun sagu yang menjadi sumber pangan utama hilang karena alih fungsi lahan. Warga memang masih mengonsumsi sagu, tetapi harus membelinya atau bergantung pada bantuan kerabat.
Kebiasaan berburu babi hutan pun berubah karena masyarakat harus masuk lebih jauh ke dalam hutan.
Menurut Almonika, perusahaan sawit menjanjikan lapangan kerja kepada masyarakat sejak pembukaan lahan pada 1998.
Janji itu dipenuhi, tetapi pekerjaan yang tersedia sebatas buruh perkebunan tanpa kontrak jelas serta jaminan keselamatan kerja. Gaji yang dijanjikan sekitar Rp4 juta pun bersyarat.
“Kalau target terpenuhi, dapat beberapa ratus ribu yang nanti nominal bisa mencapai Rp4 juta itu,” kata Almonika.
Target tersebut, lanjutnya, cukup berat di mana 100–120 kilogram saat panen dan 60–80 kilogram pada hari biasa. Jika target tidak tercapai, sakit, atau memiliki utang bahan makanan, upah yang diterima jauh dari janji awal.
“Itu membentuk sistem kemiskinan struktural: menyebabkan lilitan utang karena gaji yang mereka terima ada syarat dan ketentuannya,” ujar Almonika.
Ia juga mencatat potensi konflik internal masyarakat akibat keberadaan individu yang dijadikan perusahaan sebagai “perpanjangan tangan”, berperan sebagai juru bicara untuk melobi perluasan lahan.
Posisi ini kerap diberikan kepada tokoh adat atau orang yang memiliki pengaruh lokal. “Boleh dibilang, orang setempat semakin rentan. Fisik menurun, psikis juga,” kata Almonika.
Hingga kini, pemerintah belum memberikan penjelasan rinci terkait lokasi, skala, dan mekanisme pengembangan sawit di Papua.
Namun, perdebatan yang mengemuka menunjukkan bahwa rencana tersebut bukan sekadar soal energi, melainkan juga menyangkut masa depan lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat di tanah paling timur Indonesia.
