PARBOABOA, Jakarta – Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar rapat pleno penting di tengah sorotan publik terhadap peran dan posisi Korps Bhayangkara dalam sistem ketatanegaraan.
Rapat yang berlangsung di Posko Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jalan Darmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Desember 2025, ini menjadi ruang evaluasi sekaligus penegasan arah baru reformasi Polri, terutama menyangkut penugasan anggota aktif di kementerian dan lembaga negara.
Rapat pleno tersebut membahas berbagai masukan dari elemen masyarakat yang selama ini menaruh perhatian besar terhadap agenda reformasi kepolisian.
Salah satu isu sentral yang mengemuka adalah penerbitan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri Aktif yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Regulasi ini muncul tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor: 114/PUU-XXIII/2025, yang menjadi tonggak penting dalam penataan relasi Polri dengan kementerian dan lembaga.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa rapat pleno tersebut dihadiri langsung oleh Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo.
Kehadiran pimpinan Polri ini, menurut Jimly, menunjukkan keseriusan institusi kepolisian dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
“Jadi yang jelas, kami sudah bahas ya Polri tadi yang hadir Wakapolri. Komitmennya sesudah keputusan MK tidak ada lagi penugasan baru. Jadi sudah clear gitu ya, cuma yang sudah keburu menduduki jabatan ini harus diatur dulu yang mana,” kata Jimly.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa Polri tidak lagi akan menugaskan anggota aktif untuk mengisi jabatan di kementerian dan lembaga negara.
Namun, bagi anggota Polri yang saat ini sudah lebih dulu menduduki jabatan tersebut, diperlukan pengaturan transisi agar tidak menimbulkan kekosongan fungsi maupun persoalan hukum baru.
Dalam konteks ke depan, penempatan anggota Polri di kementerian dan lembaga tidak bisa lagi dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat dan jelas.
Oleh karena itu, Komisi Percepatan Reformasi Polri mengusulkan langkah strategis berupa penggunaan metode omnibus law dalam menyusun rekomendasi revisi Undang-Undang Polri. Pendekatan ini dinilai mampu merapikan berbagai ketentuan yang tersebar dan kerap menimbulkan multitafsir.
Selain itu, komisi juga mendorong penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan yang hierarkinya lebih tinggi dibanding Perpol 10/2025.
Dengan adanya PP, diharapkan masyarakat memperoleh kepastian hukum dan pemahaman yang lebih terang bahwa persoalan penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi telah memiliki solusi yang sistematis dan konstitusional.
Jimly menegaskan bahwa penerbitan Perpol 10 Tahun 2025 oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 bukanlah bentuk pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Sebaliknya, regulasi tersebut dimaksudkan sebagai langkah awal untuk menjalankan putusan MK, sembari mengatur keberadaan anggota Polri yang terlanjur menduduki jabatan di kementerian dan lembaga.
Namun demikian, Jimly tidak menutup mata terhadap sejumlah kekeliruan yang terdapat dalam Perpol tersebut.
Salah satunya adalah penyebutan angka 17 kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota Polri.
Menurutnya, penyebutan angka tersebut justru menimbulkan persoalan baru karena faktanya jumlah kementerian dan lembaga yang memiliki kebutuhan penegakan hukum lebih dari itu.
“Jadi semestinya tidak pakai angka, nggak usah pakai angka, supaya ini diangkat itu atas permintaan dari lembaga-lembaga yang bersangkutan,” ungkap Jimly.
Ia kemudian memberikan contoh konkret dari undang-undang lingkungan hidup yang memperbolehkan pembentukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum.
Bahkan, terdapat dua kementerian yang masing-masing memiliki Direktorat Jenderal Penegakan Hukum sendiri.
Dalam konteks ini, keberadaan polisi bukan karena Polri secara aktif mengirim personel, melainkan karena adanya permintaan dan kebutuhan yang rasional dari kementerian terkait.
“Jadi, polisi itu posisinya dimintai, bukan Polri yang ngirim pasukan. Jadi ada kebutuhan dan masuk akal dari pihak kementerian lingkungan hidup, ini judulnya Direktorat Penegakan Hukum. Iya kan? Jadi masuk akal dia minta, jadi jangan salah sangka polisi ini aktif ngirim, enggak, gak begitu,” terang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Jimly juga mengungkapkan fakta bahwa hingga saat ini terdapat 56 instansi yang oleh undang-undang diberikan kewenangan melakukan penyidikan. Dalam praktiknya, instansi-instansi tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang reserse, sebuah kompetensi yang secara tradisional dimiliki oleh anggota Polri.
Selain persoalan angka kementerian dan lembaga, Jimly menyoroti kelemahan lain dalam Perpol 10/2025, yakni tidak dicantumkannya bagian “menimbang” dan “mengingat” yang merujuk secara tepat pada Undang-Undang Polri yang telah mengalami perubahan akibat putusan MK.
Akibatnya, muncul penafsiran di ruang publik bahwa Perpol tersebut seolah-olah masih merujuk pada undang-undang lama yang belum disesuaikan.
“Jadi orang menafsirkan, wah ini membangkang terhadap putusan MK. Padahal itu, apa namanya kekeliruan yang lazim di mana-mana, semua kementerian,” jelas Jimly.
Ia pun memberikan catatan penting bagi para pejabat publik dan kalangan akademisi agar lebih teliti dalam mengutip peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, setiap rujukan undang-undang harus disertai keterangan apakah aturan tersebut telah mengalami perubahan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Maka saya anjurkan semua pejabat yang membuat peraturan bahkan semua perguruan tinggi membuat skripsi, tesis, disertasi, kalau mengutip undang-undang harus diperhatikan apakah sudah ada perubahan atau tidak undang-undang itu berdasarkan putusan MK, sehingga mengingatnya itu ditambah, ‘koma’, sebagaimana telah berubah dengan putusan MK nomor sekian, dalam kurung berita negara, nomor sekian, itu,” tuturnya.
Rapat pleno Komisi Percepatan Reformasi Polri ini turut dihadiri sejumlah tokoh penting, baik dari internal Polri maupun dari luar institusi.
Selain Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo, hadir pula mantan Kapolri Jenderal (Purn) Idham Azis, Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri.
