PARBOABOA, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kembali menegaskan pentingnya reformasi Polri yang secara nyata memperkuat perlindungan hak dan kepentingan terbaik bagi anak, khususnya dalam praktik penegakan hukum.
Dorongan ini muncul dari hasil pemantauan dan pengaduan masyarakat yang diterima KPAI sepanjang tahun 2024 hingga November 2025, yang menunjukkan masih adanya persoalan mendasar dalam penanganan perkara anak.
Salah satu masalah utama yang disoroti adalah lambatnya proses hukum dalam berbagai kasus yang melibatkan anak.
Kondisi ini kerap berujung pada justice delayed, yang pada akhirnya tidak hanya menghambat keadilan, tetapi juga menciptakan ketidakadilan baru bagi korban anak.
Proses hukum yang berlarut-larut dinilai berpotensi menghilangkan hak anak atas perlindungan, pemulihan, dan rasa aman.
“Reformasi kepolisian harus memastikan setiap anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan secara manusiawi dan berkeadilan. Lambatnya penanganan perkara tidak hanya merugikan korban, tetapi juga berpotensi menghilangkan hak anak atas perlindungan dan pemulihan,” kata Anggota KPAI Sylvana Apituley dalam keterangannya, Senin, 22 Desember 2025.
Sylvana menegaskan, meskipun secara statistik terdapat penurunan jumlah laporan yang tercatat, kondisi tersebut tidak serta-merta mencerminkan menurunnya angka kejadian kekerasan atau pelanggaran terhadap anak.
Menurutnya, penurunan laporan justru masih dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pelaporan di masyarakat, baik karena ketakutan, minimnya pengetahuan hukum, maupun ketidakpercayaan terhadap proses penegakan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, reformasi Polri dinilai harus menempatkan perlindungan anak sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dalam seluruh tahapan penegakan hukum.
Dalam catatannya, KPAI juga menyoroti lemahnya konsistensi penerapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Hal ini mencakup implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), serta optimalisasi peran dan fungsi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum terhadap regulasi tersebut, ditambah dengan belum meratanya pelaksanaan kebijakan di berbagai daerah, dinilai berdampak langsung pada belum optimalnya perlindungan dan pemulihan bagi anak korban.
Data yang dihimpun KPAI menunjukkan bahwa pada September 2025, sekitar 2.000 anak tercatat berada dalam penanganan kepolisian.
Dari jumlah tersebut, ditemukan berbagai persoalan serius, mulai dari kasus kekerasan dan penyiksaan, hingga praktik penahanan anak yang melebihi batas waktu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Temuan ini memperkuat kekhawatiran bahwa pendekatan penegakan hukum terhadap anak masih belum sepenuhnya berorientasi pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Selain itu, KPAI juga memberikan perhatian khusus terhadap penanganan anak dalam konteks unjuk rasa, kasus kekerasan seksual, serta perlindungan anak dari kelompok minoritas dan anak-anak yang tinggal di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Kelompok anak ini dinilai memiliki kerentanan berlapis yang membutuhkan perlakuan dan pendekatan khusus dari aparat penegak hukum.
Sejalan dengan itu, Anggota KPAI Ai Rahmayanti menekankan pentingnya penguatan pedoman dan standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan kasus anak oleh aparat penegak hukum.
Menurutnya, kejelasan SOP menjadi kunci agar setiap proses hukum benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.
“Kami mendorong adanya SOP yang jelas dalam penanganan perebutan hak asuh anak, termasuk lintas negara, serta SOP tegas terkait penerbitan DPO bagi pelaku penculikan anak agar kepentingan terbaik anak benar-benar terlindungi,” kata Ai Rahmayanti.
Berdasarkan seluruh temuan tersebut, KPAI menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis. Di antaranya adalah penguatan penerapan SPPA secara efektif dan konsisten, peningkatan kapasitas serta pelatihan wajib bagi aparat Polri terkait UU TPKS dengan perspektif gender, penambahan jumlah penyidik anak dan polisi wanita (Polwan), serta penguatan Unit PPA baik di tingkat pusat maupun daerah.
KPAI juga mendorong agar materi perlindungan anak diintegrasikan secara sistematis dalam pendidikan kepolisian, sekaligus memperkuat kolaborasi lintas sektor dengan pemerintah daerah dan komunitas masyarakat.
Sinergi ini dinilai penting untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang komprehensif dan berkelanjutan.
“KPAI berharap reformasi Polri dapat menghasilkan sistem penegakan hukum yang lebih humanis, responsif, dan berorientasi pada perlindungan anak. KPAI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses reformasi Polri demi terwujudnya perlindungan anak yang menyeluruh di Indonesia,” kata Ai Rahmayanti.
