PARBOABOA, Jakarta - Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Komisi III DPR RI bersama pemerintah memutuskan untuk menghapus salah satu usulan penting dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM).
Usulan tersebut berkaitan dengan pelarangan bagi MA untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari putusan di tingkat pertama atau banding, yang dalam praktik hukum dikenal dengan istilah judex factie.
Ketentuan tersebut sebelumnya tercantum dalam DIM 1.531 Pasal 293 ayat (3) RKUHAP, yang menyatakan bahwa apabila MA memutuskan perkara dan menjatuhkan hukuman pidana, maka putusan tersebut tidak boleh melebihi vonis yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama atau banding.
Namun, Ketua Panja RKUHAP, Habiburokhman, menyebut bahwa pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan menghapus ketentuan tersebut dari draf RKUHAP. Ia menegaskan ketentuan itu tidak lagi menjadi bagian dari RKUHAP.
Dengan penghapusan tersebut, MA tetap memiliki kewenangan penuh untuk menjatuhkan vonis sesuai keyakinan hukum majelis hakim, termasuk kemungkinan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dibanding putusan sebelumnya.
Menurut Habiburokhman, tidak ada lagi batasan normatif yang melarang MA menjatuhkan hukuman lebih berat dari tingkat judex factie.
"Ketentuan yang melarang MA memberikan vonis yang lebih berat dari pengadilan sebelumnya telah dihapus. MA bisa menjatuhkan putusan sesuai dengan keyakinan hukumnya, apakah lebih ringan atau lebih berat," ujar Habiburokhman dalam keterangan, Kamis (10/7/2025).
Keputusan ini sekaligus membuka kembali ruang diskusi soal sejauh mana MA seharusnya dibatasi dalam menilai kembali perkara pidana di tingkat kasasi, khususnya menyangkut proporsionalitas hukuman dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa.
Ketua Kamar Pidana MA, Prim Haryadi pada Februari 2025 lalu menegaskan larangan bagi MA menjatuhkan hukuman lebih berat dari putusan pengadilan tinggi dinilai bertentangan dengan prinsip dasar kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.
Menurutnya, pembatasan tersebut mengganggu prinsip kemerdekaan peradilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan fungsi menegakkan hukum dan keadilan.
Ia juga menyoroti pembatasan ini bertolak belakang dengan semangat dalam Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Pasal tersebut menegaskan bahwa ketika muncul konflik antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan harus didahulukan sebagai prinsip utama dalam proses penegakan hukum.