Sengkarut Tata Kelola Makan Bergizi Gratis

Ilustrasi peserta didik sedang makan siang di salah satu SMP di Jakarta Barat (Foto: PARBOABOA/Defri)

PARBOABOA, Jakarta - Maria Titik (55) tak bisa menyembunyikan rasa gembira pasca mendengar kabar sekolah asuhannya akan menerima program makan bergizi gratis (MBG).

Kepala sekolah SMP Providentia, Jakarta Barat itu menyebut bahwa penerapan program MBG akan membawa dampak positif untuk mendukung perbaikan gizi para peserta didik.

"Senang sekali waktu dengar informasi itu. Artinya kan pemerintah sungguh perhatikan nasib anak-anak. Saya langsung sampaikan ke peserta didik. Mereka antusias," kata Maria kepada PARBOABOA, Senin (03/02/2025).

Namun, informasi yang didengar sejak awal Januari tersebut tak kunjung menjadi kenyataan berhari-hari kemudian. Hingga pertengahan Februari, belum ada kejelasan terkait implementasi MBG.

"Saya gak tahu kenapa belum ada sosialisasi ke sekolah kami hingga hari ini. Pemerintah pasti punya pertimbangan sendiri. Mudah-mudahan bisa segera dibuat ya,” pungkasnya.

Padahal, merujuk pada panduan penerapan program MBG, sekolah-sekolah yang telah memiliki infrastruktur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) seperti di Jakarta Barat seharusnya sudah masuk ke tahap pelaksanaan.

"Sampai hari ini belum ada. Kita lihat nanti ke depan seperti apa. Kami menunggu saja," ungkap Maria.

Seperti diketahui, pemerintah resmi menerapkan MBG sejak Senin (06/01/2025) pada 190 titik di 26 Provinsi. Fokusnya menyasar pada 600.000 orang atau jauh dari total 3 juta anak yang ditargetkan Badan Gizi Nasional (BGN).

Ragam tanggapan pun muncul. Ada kelompok siswa yang cukup puas, namun beberapa siswa lain mengeluhkan kurangnya kebersihan dan kesehatan makanan yang dikonsumsi.

Kasus yang terjadi di SD Negeri Dukuh 03, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada Kamis (16/01/2025) lalu memperkuat hal tersebut. Dikabarkan terdapat 40 siswa yang keracunan setelah mengkonsumsi makan siang gratis.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam "Seri Kedua Kajian Makan Bergizi Gratis" menemukan sejumlah persoalan pada aspek kesehatan.

Analisis CISDI terhadap 29 sampel menu makan siang di beberapa sekolah mengungkap fakta mengejutkan bahwa hanya 17 persen yang memenuhi target 30-35 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi harian. 

"Padahal, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, menu makan siang seharusnya mencukupi kebutuhan energi dan protein siswa SD kelas 4-6, SMP, serta SMA sederajat," kata Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih dalam keterangan yang diterima PARBOABOA, Kamis (06/02/2025). 

Diah menyebut, kekurangan asupan kalori secara terus-menerus dapat berdampak pada penurunan performa akademik, karena tubuh kekurangan energi untuk beraktivitas optimal. 

“Jika konsumsi makanan rendah kalori berlanjut, prestasi belajar peserta didik tentu bisa terganggu,” tambah Diah.  

Tak hanya itu, 45 persen dari menu yang diteliti masih mengandung pangan ultra-proses, seperti susu kemasan berperisa dengan kadar gula tinggi. 

Konsumsi berlebihan terhadap produk tersebut berisiko meningkatkan kasus obesitas, hipertensi, dan penyakit tidak menular lainnya di kalangan siswa.  

"Penting bagi pihak sekolah dan penyedia makanan untuk lebih memperhatikan keseimbangan gizi dalam menu makan siang agar mendukung kesehatan serta prestasi akademik peserta didik," pungkas Diah.

CISDI juga menyoroti berbagai tantangan dalam tata kelola MBG, termasuk regulasi yang belum kokoh, petunjuk teknis yang terbatas, serta koordinasi lintas sektor yang masih lemah. 

"Minimnya studi dampak awal dan analisis manfaat-biaya, ditambah kurangnya transparansi dalam penghitungan kelompok sasaran serta keterlibatan masyarakat sipil, menunjukkan lemahnya pendekatan berbasis data dalam program ini," kata Diah.  

Diah Founder CISDI

Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih menyoroti sejumlah aspek dalam program MBG (Foto: Instagram/@diahsaminarsih)
 

Persoalan yang diangkat Diah bertalian dengan protes luas masyarakat sejak Kamis (20/02/2025) yang menuntut pemerintahan Prabowo mengevaluasi kembali penerapan program MBG.  

Founder Ranaka Institut dan The Indonesian Agora Research Center, Ferdi Jehalut menyebut, alih-alih menerima masukan masyarakat untuk mempertimbangkan kembali penerapan MBG, pemerintah malah ngotot menjalankan program ini hanya supaya tidak dianggap gagal menjalankan janji kampanye.

"Sejak awal, MBG didesain sebagai program populis untuk mendulang suara kelas menengah ke bawah saat pilpres," kata Ferdi melalui pesan tertulis kepada PARBOABOA, Sabtu (22/02/2025).

Ferdi melihat banyak program dan kebijakan urgen lainnya yang dikorbankan demi MBG. Baginya, "trade off semacam itu tak terhindarkan karena kondisi APBN sebenarnya belum cukup siap untuk menjalankan program." 

Tata kelola MBG yang buruk juga dapat dilihat dari semakin berkurangnya anggaran yang dibutuhkan pemerintah untuk pelaksanaan program hingga Desember 2025 mendatang.

Pemerintah bahkan menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dengan menggelontorkan Rp100 triliun di setiap kementerian untuk mendukung pelaksanaan program MBG. 

Dengan ketersediaan dana awal sebesar Rp.71 triliun, maka total seluruh dana yang dibutuhkan untuk program MBG adalah senilai Rp.171 triliun. 

"Saya menganjurkan agar program ini dievaluasi secara total. Program ini tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dan gizi buruk masyarakat Indonesia dari hulu," tegas Ferdi.

Persoalan Hukum dan Ekonomi

Sejak awal dilantik, Presiden Prabowo gencar menyerukan penerapan MBG sebagai salah satu program prioritas nasional guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi anak sekolah. 

Berdasarkan Survei Status Gizi Kementerian Kesehatan pada 2022, tercatat sebanyak 21,6 persen anak usia 3 hingga 4 tahun mengalami stunting akibat kekurangan gizi.

Jumlah tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), yakni sebesar 20 persen.

Ilustrasi-Anak-Makan

Pemenuhan gizi anak menjadi tujuan penting penerapan program MBG (Foto: Unsplash)
 

Selain bertujuan mengentaskan stunting pada bayi dan anak usia dini, MBG juga menyasar pada kelompok siswa di jenjang pendidikan SMA/Sederajat, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Pelaksanaan program MBG berada di bawah komando BGN yang ditunjuk berdasarkan Perpres Nomor 83 Tahun 2024 dan menjangkau 19,47 juta penerima manfaat dengan anggaran Rp 71 triliun.

Riset CISDI sebagaimana disinggung Diah menemukan bahwa satu-satunya regulasi yang tersedia adalah Surat Keputusan Deputi Bidang Penyaluran BGN Nomor 2 Tahun 2024, yang berisi petunjuk teknis operasional MBG. 

Menurut Diah, regulasi setingkat surat keputusan kedeputian tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

"Program MBG seharusnya diatur dalam regulasi yang lebih kuat, seperti peraturan presiden, agar tata kelola dan koordinasi lintas kementerian serta hubungan pusat-daerah dapat berjalan efektif."  

Sebagai perbandingan, Diah menyebut program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) yang memiliki regulasi lebih kokoh dengan payung hukum setingkat peraturan presiden, didukung aturan kementerian dan petunjuk teknis untuk implementasi di daerah. 

"Negara lain seperti India, Brasil, dan Jepang juga telah menetapkan regulasi berbasis undang-undang untuk mendukung keberlanjutan program free school meals mereka."  

Lebih lanjut, Ferdi Jehalut dari Ranaka Institut dan The Indonesian Agora Research Center juga menegaskan bahwa dari perspektif ekonomi politik, muncul persoalan lain berupa ketimpangan ekonomi dalam jangka panjang. 

"Saat ini masyarakat kelas menengah Indonesia sedang mengalami middle income trap yang ditandai stagnasi pertumbuhan ekonomi, rendahnya produktivitas, kurangnya daya saing, dan tidak kompetitif di bidang industri," kata Ferdi.

Bahkan, lanjutnya, masyarakat kelas menengah tersebut sudah mulai merasakan sulitnya menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi. Di sisi lain, peningkatan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan gaji mereka. 

Karena itu, "trade off anggaran untuk menjalankan program MBG justru berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat kelas menengah tersebut," tegasnya. 

Sengkarut Tata Kelola MBG

Kepala Departemen Advokasi dan Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian menyambut baik adanya inisiatif pemerintah untuk mengimplementasikan program MBG. 

"Secara prinsip, program MBG udah benar karena negara harus menyediakan atau menjamin adanya pasar nasional yang kuat," kata Roni kepada PARBOABOA di kantor KPA, Senin (17/02/2025).

Roni bilang bahwa MBG bukanlah program baru dalam tataran global. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat yang berhasil melaksanakan program serupa dengan nama National School Lunch Program.

"Kalau di Amerika Serikat itu prinsipnya mereka bikin pasar sendiri. Pengelolaannya adalah komite, koperasi masyarakat, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah diwajibkan," ungkap Roni.

Roni-Septian-KPA

Kepala Departemen Advokasi dan Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian menekankan pentingnya pembenahan tata kelola MBG (Foto: PARBOABOA/Defri)

Skema penyaluran demikian disebut berdampak efisien sehingga mencegah terjadinya margin yang bisa memberi keuntungan kepada para tengkulak atau pasar.

Panduan umum penyediaan program MBG sebagaimana dirilis BGN juga menunjukkan bahwa hanya terdapat tiga rantai pasok yang dimulai dari penyediaan bahan baku, pengelolaan SPPG dan penerima manfaat.

Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Roni justru menilai tata kelola MBG di Indonesia cenderung berbelit-belit dan memberi keuntungan kepada penyedia rantai pasok makanan. 

"Untuk sampai ke konsumen, MBG ini harus melewati sejumlah pit stop. Nanti ada orang atau dapur yang membeli di pasar. Nah, orang dari dapur ini kan kita tahu. Rata-rata semuanya punya jabatanlah."

Roni menghitung terdapat setidaknya enam hingga tujuh tahapan yang harus dilalui komoditi, khususnya beras untuk sampai ke pasar. Hal ini dikarenakan banyaknya tengkulak yang bermain dalam sistem rantai pasok.

"Makanya gak heran harga gabah Rp5.000 atau Rp4.800 dan harga beras di pasar justru Rp13.000. Margin semua. Ini harus dikontrol karena terlalu banyak duit rakyat untuk mensubsidi bensin-bensin transportasi." 

Imbasnya, program MBG juga terkena getah. Beras yang dipakai sebagai bahan pokok makanan menjadi lebih mahal ketika dibeli di pasaran. 

"Karena itu, hulunya perlu diperhatikan terlebih dahulu baru hilirnya. Harus ditata juga. Kalau misalkan penataannya tetap panjang, MBG ini bisa jadi urusan kesekian," tegas Roni. 

Berbelitnya rantai pasok MBG berdampak langsung pada pengeluaran anggaran dan potensi pengerukan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Risiko lain, kesehatan makanan justru tidak diperhatikan secara serius.

Temuan serupa juga disampaikan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang menyebut kompleksnya proses pelaksanaan program MBG sehingga memiliki peluang terjadinya penggelontoran dana yang tidak efisien sekaligus penyelewengan anggaran.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, program ini memiliki proses yang berlapis lantaran dititikberatkan pada logistik, mulai dari pengadaan, pengolahan, hingga distribusi. 

Sementara itu, proses logistik sendiri juga melibatkan sejumlah pihak seperti petani, koperasi, pelaku usaha lokal, dan instansi pemerintah.

“Tanpa pengawasan yang ketat, proses berlapis semacam ini rentan terhadap inefisiensi anggaran maupun potensi penyelewengan,” kata Riefky dalam analisis makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook Q1-2025’, dikutip pada Sabtu (08/02/2025).

Pembenahan Sektor Hulu

Persoalan yang terjadi selama penerapan program MBG tidak berhenti pada skema penyaluran dan akuntabilitas pihak pengelola, tetapi merambah pada ketersediaan pangan nasional.

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (BPN), Rachmi Widiriani bilang, berdasarkan instrumen neraca pangan nasional, ketersediaan pangan masih sangat cukup untuk kebutuhan tahun 2025.

"Sebagian besar dipenuhi dari produksi dalam negeri, tapi ada juga yang ditambah dari impor, seperti bawang putih, kedelai, daging ruminansia yakni daging kerbau dan daging sapi serta gula konsumsi," kata Rachmi dalam wawancara bersama PARBOABOA, Kamis (20/02/2025). 

Rachmi-Widiriani-BPN

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan BPN, Rachmi Widiriani menyebut bahwa kondisi pangan di Indonesia masih sangat cukup untuk kebutuhan pangan selama tahun 2025 (Foto: IG/@badanpangannasional)

Meski tidak merinci detail data ketersediaan pangan, ia menyebut bahwa BPN telah memperhitungkan tingkat konsumsi rumah tangga dan di luar rumah tangga, termasuk peningkatan kebutuhan untuk program MBG. 

"Secara nasional kebutuhan itu sudah diperhitungkan di neraca tadi. Dan hasilnya memang positif. Artinya Indonesia masih punya ketersediaan yang cukup meskipun terjadi peralihan ke program MBG."

Rachmi menyebut adanya peningkatan produksi pertanian, khususnya di sektor beras. Apalagi, katanya, "Kementan gencar memperbaiki segala sesuatu khususnya di hulu, baik itu pupuk, penyediaan air, dan kualitas benih." 

"Jadi kita optimis, produksi pangan nasional, khususnya untuk beras akan tercapai selama tahun 2025."

Bertolak belakang dengan pendapat Rachmi, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menyebut kurangnya ketersediaan pangan nasional selama dua tahun terakhir.

Sebagai misal pada 2024, BPS menulis bahwa produksi padi hanya mencatat angka 53,14 juta ton atau mengalami penurunan sebanyak 838,27 ribu ton (1,55%) dari 2023. 

Demikian pula dengan produksi beras pada 2024 yang juga mengalami penurunan sebesar 30,62 juta ton atau sebanyak 480,04 ribu ton (1,54%) dari 2023.

"Di sini muncul pertanyaan, apakah tanahnya berkurang atau memang karena pengaruh cuaca? Kan kita gak jual ke luar negeri, misalkan ke Timor Leste, Malaysia, dan Singapura?" ungkap Roni Septian.

Ia menambahkan bahwa penurunan tingkat produksi dalam negeri berimplikasi pada munculnya kebijakan untuk menambah impor sejak 2020. Tingkat impor tertinggi terjadi pada 2024 sebesar 4,52 juta ton. 

Total-Impor-Beras

Tabel impor beras di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menurut BPS (Foto: PARBOABOA/David)

"Itulah alasan yang mendasari Kemendag untuk mengeluarkan surat izin impor hampir di setiap tahun," ucapnya.

Bagi Roni, masalah ketahanan pangan sesungguhnya setali tiga uang dengan persoalan lain semisal konflik agraria dan penguasaan lahan yang dibarengi dengan tindakan represif dari aparat keamanan.

Data KPA mencatat, sepanjang tahun 2023, Indonesia menghadapi 241 letusan konflik agraria yang berdampak menghilangkan hak atas 638.188 ha lahan, termasuk tanah pertanian, wilayah adat, kawasan tangkap, dan permukiman milik 135.608 kepala keluarga. 

Dari jumlah ini, 110 konflik berujung pada tindakan represif yang menyebabkan 608 pejuang hak atas tanah menjadi korban. 

Angka tersebut sekaligus mencatatkan Indonesia pada  urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal yang mengalami konflik serupa.

Soal penguasaan lahan, KPA juga menyebut bahwa hingga 2024, hanya 17 juta orang lebih petani di Indonesia yang menguasai 0,5 ha lahan. Dengan kata lain, mereka hanya menguasai tanah seluas 5000 meter persegi. 

"Di pihak lain, misalkan sawit seluas 17 juta ha hanya dimiliki oleh 2000 perusahaan. Artinya kan ada yang salah dengan tata kelola pertanahan kita selama ini," ujar Roni. 

Karena itu, untuk menyukseskan program MBG sekaligus swasembada pangan, Roni menyarankan agar persoalan-persoalan yang terjadi di tingkat hulu perlu diselesaikan terlebih dahulu.

"Kalau misalkan hulunya nggak dibenahi, ya hilirnya nggak akan teratasi. Jadi mau nggak mau memang reforma agraria dijalankan dulu. Itu kalau mau sukses dalam dua tahun ke depan."

Langkah lain, sambung Roni, pemerintah juga perlu melakukan pembenahan tata kelola rantai produksi dari petani hingga ke pasar.

"Jangan terlalu banyak pit-stop, karena setiap pit-stop itu margin. Karena itu, rantainya perlu dipotong agar harganya tidak melambung saat dijual ke pasar." 

Penulis: David Rumahorbo dan Defri Ngo

Editor: Defri Ngo

Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia untuk pemantauan 100 Hari Kerja Pemerintah Prabowo Gibran.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS