Kisah di Balik Pembubaran Al Jamaah Al Islamiyah

Satuan Densus 88 sedang menangkap teroris. (Foto: Instagram/@Densus 88)

PARBOABOA - Sebagai pembicara publik, keduanya jempolan. Penguasaan materinya mantap. Begitu juga teknik penyampaiannya. Paparannya sistematis dan artikulasinya serba jelas. Persuasi dimainkan manakala perlu. Lantas, mereka juga berwibawa. Tak mengherankan tentu. Sebab bukan orang sembarangan.

Keduanya memang juru dakwah yang sejak lama mewartakan ajaran Islam ke khalayak luas. Pula, merupakan orang yang sangat penting di kelompok Al Jamaah Al Islamiyah (JI). Abu Rusydan nama yang satu dan Para Wijayanto yang satu lagi. Sama-sama masih berstatus tahanan Polda Metro Jaya, mereka yang berbesan (anak semata wayang Abu Rusydan menikah dengan putri Para Wijayanto) ini berbicara lewat Zoom dalam acara pembubaran Al Jamaah Al Islamiyah Kalimantan Utara pada Selasa, 19 November 2024.

Sebelumnya, pada Minggu, 17 November 2024, acara serupa (yang ke-45) juga berlangsung di Balikpapan. Hadirin waktu itu termasuk perwakilan mantan Ketua Majelis Fatwa Al Jamaah Al Islamiyah, Imtihan Syafi’i. Pembicaranya orang yang sama.

Kepada hadirin di Tarakan, pada Selasa, 19 November 2024, Abu Rusydan berkisah ihwal bagaimana dirinya bersama sejumlah kawan terdekat sampai ke keputusan untuk menggagas pembubaran JI, organisasi yang didirikannya bersama Abdullah Sungkar dan 10 orang lainnya pada 1993.

“Deklarasi pembubarannya di Sentul, Bogor, pada 30 Juni 2024. Namun idenya sudah lama sekali muncul. Tepatnya, tahun 1990. Jadi, sudah 24 tahun,” ucap Abu Rusydan.

Pada 1990, peserta angkatan kedua (1986) akademi militer Al Ittihad Al Islamy, Afghanistan, tersebut menghadiri tausiah yang disampaikan pimpinan Moro Islamic Liberation Front (MILF), Selamat Hasyim.

“Beliau doktor lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Pengetahuannya luar biasa,” kata ustadz yang yang berayahkan seorang tokoh Komando Jihad, gerakan yang menghebohkan Indonesia di tahun 1970-an. 

Selamat Hasyim waktu itu bertanya ke hadirin yang sebagian orang Indonesia apakah presiden BJ Habibie itu seorang Muslim.

“Saat itu kami bingung menjawab, beliau menyatakan: Habibie itu seorang muslim. ‘Kalau saya warga Indonesia saya akan membantu Habibie menyebarkan Islam di Indonesia; bukannya melawan dia. Kalau penguasa Filipina beda: kafir yang memusuhi Islam’, katanya.”

Putra Haji Faleh, tokoh Darul Islam dari Kudus, itu menjadi bertambah gundah sebaik mendengar ucapan Selamat Hasyim.

Meninggalkan kuliahnya yang sudah 4 semester di Fakultas Sosial Politik (Sospol) Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Abu Rusydan bertolak ke Afghanistan di pertengahan 1980-an. Abdullah Sungkar, pimpinan Darul Islam (DI), yang memberangkatkannya ke Akademi Militer Al Ittihad Al Islamy, Afghanistan, sebagai penerjemah (dari bahasa Inggris dan Arab ke bahasa Indonesia).

Sedari 1985 Darul Islam mengirimkan kadernya ke sana dan itu berlangsung hingga program ini berakhir tahun 1991. Masuk tahun 1986, Abu Rusydan, Ali Ghufron alias Mukhlas—kakak Amrozi, Ali Imron, dan Ali Fauzi ini merupakan tokoh sentral Bom Bali I—bersama 57 orang lainnya menjadi angkatan kedua. Kelas mereka yang terbesar. Kakak kelasnya termasuk Aris Sumarsono alias Zulkarnaen. Sedangkan Encep Nurjaman alias Hambali (tokoh penting Al-Qaeda di Asia Tenggara) setahun di bawah mereka.

Dua pimpinan teras JI, Abu Rusydan (kiri) dan Para Wijayanto. (Foto: Bawadi)

Abu Rusydan mengatakan, sejak semula dirinya tidak pernah berpikir untuk memberontak ke pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Soalnya, menurut penilaian dia, kepala negaranya selalu menyampaikan pemikiran Islam. Lagi pula, agama ini tak pernah dihambat oleh mereka; sebaliknya malah dikembangkan. 

Saat belajar di Afghanistan, ia semakin menyadari bahwa ada yang salah dalam perjalanan jihad mereka dan itu mesti dikoreksi. Maka, sepulang dari negeri para Mujahidin itu ia menyampaikan isi hatinya kepada sang pimpinan, Abdullah Sungkar.

Ia katakan bahwa ajaran yang digariskan pendiri Darul Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (7 Januari 1905 – 5 September 1962) sudah tidak tepat. Kartosoerwirjo mendirikan DI tahun 1949 dan memimpinnya hingga 1962 dengan tujuan mewujudkan Negara Islam Indonesia (NII) yang berdasarkan hukum syariah.

Namun, Abdullah Sungkar mengatakan itu tak usah dibicarakan dulu.

“’Teruskan saja dulu program yang sedang berlangsung’, katanya,” ungkap lulusan terbaik yang menjalani pendidikan 3,5 tahun ditambah 10 bulan di Akademi Militer Al Ittihad Al Islamy, Afghanistan.

Membui

Tak lama setelah bom meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy’ Pub yang terletak di Jalan Legian, Kuta, Bali, aksi yang  menewaskan 203 orang (yang terluka 300-an orang) pada 12 Oktober 2002, AS dan Inggris menyebut Al Jamaah Al Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris asing. PBB kemudian memasukkan mereka dalam daftar kelompok Al-Qaeda yang dijatuhi pelbagai sanksi.

Setelah Ali Gufron alias Mukhlas, Imam Samudra, Amrozi, dan yang lain ditangkap, terkuaklah misteri bahwa JI-lah di balik serangkaian pemboman sebelumnya, termasuk yang menyasar rumah dinas Dubes Filipina di Jalan Diponegoro, Jakarta (1 Agustus 2000) dan sejumlah gereja di 11 kota di negeri kita ini pada malam Natal 2000.

Rupany bom Bali 2002 yang sebagai aksi terorisme ledakannya hanya kalah hebat dari serangan 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung World Trade Centre, New York, bukan akhir dari petualangan JI. Proyek mereka berikutnya termasuk bom Marriot, Jakarta (5 Agustus 2003), bom di Kedutaan Australia, Jakarta (9 September 2004), bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom JW Marriott dan Ritz Carlton (17 Juli 2009). 

Abu Rusydan ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88) pada 2004 karena menyembunyikan Ali Gufron alias Mukhlas yang merupakan bagian dari pelaku bom Natal tahun 2000. Pria kelahiran Kudus pada 16 Agustus 1960  kemudian menjalani hukuman penjara 3 tahun 6 bulan.

Sebebas dari bui ia lebih dikenal sebagai penceramah dan motivator agama yang sering bepergian dari kota yang satu ke yang lain di Indonesia. Berkat channel-nya di YouTube ia pun bertambah termashyur.

Ternyata, tokoh bernama samaran aneka— Yahya, Mukti Wibowo, Suyata, Salim, Jimy, Bap, Kholid, dan yang lain—ditangkap Densus 88 lagi yakni di Bekasi pada 10 September 2021. Otoritas tersebut menyatakan ia konseptor utama dalam persiapan aksi teror, perekrutan anggota baru, dan penghukuman anggota JI yang tak disiplin. 

Selain itu, sosok yang acap tampil dalam acara Syam Organizer, lembaga penampung dan penyalur dana bagi JI, merupakan orang yang menganjurkan agar metode militer dan hubungan dengan Afghanistan diteruskan.

Pada 14 September 2022 tokoh yang di tahun 1998 ikut merumuskan Pedoman Umum Pergerakan Jemaah Islamiyah (PUPJI) divonis Pengadilan Negeri Jakarta Timur 6 tahun penjara.

Dalam acara Zoom pada Selasa, 19 November 2024, Abu Rusydan juga mengungkapkan bahwa selama ini, termasuk tatkala membui, ia telah mempelajari banyak hal terutama soal jihad fi sabilillah. Salah satu yang ditelaahnya adalah surat-surat Osamah Bin Laden yang telah dibukukan. Dalam suratnya kepada panglima kelompok perlawanan di Arab Saudi dan Libya, menurut dia, pendiri-pimpinan Al-Qaeda itu menyatakan bahwa musuh utama kaum muslim bukanlah pemerintah sendiri (penguasa di negeri mereka berada) melainkan Amerika Serikat dan para sekutunya. Tepatnya, kaum Yahudi dan Salibis (Kristen).

“Sejak saat itu kami semakin mempertimbangkan untuk tidak melawan dengan kekerasan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, seperti kata Ustadz pimpinan MILF Selamat Hasyim dulu, mereka tidak membasmi muslim,” tutur Abu Rusydan.

Ia juga mengkaji pemikiran para ‘dewa’ atau guru salafy jihadi mereka di Afghanistan, terutama Abdullah Azam, Syaikh Abdur Rasul Sayyaf, dan Osamah Bin Laden.

Deklarasi pembubaran JI di sebuah kota di Indonesia Timur. (Foto: Instagram/@Densus 88

Hasil dari permenungan yang tak kurang dari 24 tahun itu, menurut dia, yang membuat dirinya sampai pada dua keputusan yang sangat penting yakni kembali ke NKRI dan membubarkan Al Jamaah Al Islamiyah. Itulah inti dari deklarasi mereka di Sentul, Bogor, pada 17 November 2024.

“Luar biasa! Belum pernah kita mengumpulkan kawan-kawan sebanyak itu. Di satu tempat, ratusan orang hadir. Dimudahkan pula pengambilan keputusannya,” kata Para Wijayanto, yang berbicara setelah Abu Rusydan dalam acara Zoom itu.

Amir Terlama

Baru 3 hari pulang dari tempat pelarian di Malaysia—dia dan Abu Bakar Ba’asyir, kawannya sesama pendiri-pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Al-Mu'min di Ngruki, Solo, di sana sejak 1985—Abdullah Sungkar ternyata meninggal pada 23 Oktober 1999 dalam satu pertemuan di Bogor. Ia dimakamkan di Klaten, esoknya.

Abu Bakar Ba'asyir (lahir 17 Agustus 1938), kawan seiring-sejalan selama dalam pelarian di Malaysia, yang menggantikan dia sebagai amir (pimpinan tertinggi) Al Jamaah Al Islamiyah.

“Pergantian pimpinan saat itu sebenarnya nggak jelas secara syari [syariah] ,” kata Abu Rusydan.

Berfokus pada Majelis Mujahidin Indonesia yang dipimpinnya, tahun 2003 Abu Bakar Ba'asyir tidak lagi menjadi JI. Abu Rusydan yang menggantikannya. Setelah dia, barulah Adung Alias Sunarto (2004-2005) dan Zarkasih Alias Zahroni (2005-2007).

Zarkasih ditangkap Densus 88 pada 2005; sedangkan Abu Dujana (Panglima Askari DI) pada 2007. Pada 21 April 2008 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mereka masing-masing 15 tahun penjara. Saat itu juga otoritas tersebut menyatakan JI organisasi terlarang.

Pada periode 2007-2008 JI tidak memiliki pimpinan tertinggi lagi dan tiarap. Barulah pada 2009 mereka memiliki amir lagi, yakni Para Wijayanto. Ia kemudian menjadi pimpinan-puncak terakhir dan terlama (11 tahun). 

Lahir di Kalijati, Subang (Jabar) pada 8 Agustus 1964, Para Wijayanto putra purnawirawan AURI. Setamat dari SMA Negeri 8 Jakarta ia melanjut ke Fakultas Teknik jurusan Sipil di Universitas Diponegoro, Semarang. Sembari kuliah ia juga belajar di pondok pesantren sehingga bisa membaca aksara Arab gundul.

Setelah menyarjana, ia bekerja di sebuah PT Pura Barutama. Perusahaan berkaryawan 8 ribu orang ini berbasis percetakan (unit security printing-nya pernah mencetak dollar untuk Somalia) tapi kemudian merambah ke pelbagai bidang. Pemiliknya yang campuran Belanda-Tionghoa sangat dekat dengan Para Wijayanto.

Setelah 15 tahun bergabung di sana, ia pun hengkang begitu fotonya muncul tahun 2003 dalam daftar pencarian orang (DPO) pelaku Bom Bali 2002.

Lelaki yang menggunakan pelbagai nama samaran—termasuk Abu Askari, Ahmad Arief, Fauzi Utomo, Aji Pangestu, dan Abang—pada 2000 lulus dari sekolah militer Moro sebagai angkatan ketiga.

Sebagai amir, ia lantas mengubah garis kebijakan JI. Organisasi yang sudah berstatus terlarang ini dibuatnya berfokus ke dakwah, pendidikan, dan rekrutmen anggota baru. 

Pada Juni 2019 ia ditangkap Densus 88 di Bekasi setelah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 2003. Kesalahannya? Disebut, Ikut membantu aksi terorisme internasional di bawah bendera Al-Qaeda. Juga, enam kali mengirim pemuda berlatih militer di Suriah pada periode 2013-2018. Dia divonis 7 tahun penjara.

Desa Tenggulun, Surakarta, kampung Mukhlas, Amrozi, Ali Imron, dan yang lain yang sedarah. (Foto: Bawadi)

Musyawarah

Dimulai dari masalah, dilanjutkan dengan pencarian solusi. Demikianlah proses yang melahirkan deklarasi di Sentul itu menurut Para Wijayanto. “Seperti dalam marketing, nasib sebuah produk tergantung pada persepsi konsumen; bukan produsen.”

Sejak dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang pada 21 April 2008, JI, menurut dia, buruk di mata khalayak luas. Orang takut bergabung dengannya. Anggota organisasi ini pun serba sulit kalau hendak berkegiatan. Termasuk menyumbang dana ke keluarga sendiri. Sebab, kalau ketahuan bisa menjadi masalah termasuk bagi si penerima uluran tangan. 

“Semakin besar uangnya akan semakin besar hukumannya,” jelas sarjana teknik sipil yang sebaik menjadi amir pada 2008 telah mengembangkan Total Amniyah System Total of Solution (TASTOS) sebagai strategi penguasaan wilayah.

Tidak ‘laku jual’ dan tak punya ruang gerak, itulah masalah utama JI menurut penilaian dia. Maka, jalan keluarnya harus dicari.

Kalau Abu Rusydan mengatakan deklarasi 30 Juni 2024 tak ada kaitannya dengan program deradikalisasi yang dilakukan Densus 88 (dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT), versi Para Wijayanto justru lain. Cerita dia seperti berikut.

Sebaik ditangkap Densus 88 pada 2004, ia ditempatkan di rumah tahanan otoritas itu di Jakarta. Tanpa dinyana olehnya saat itu, lembaga yang berunsurkan polisi dan tentara itu rupanya sudah kian meninggalkan hard approach (pendekatan menggunakan kekerasan). Maka, ia pun sering bercakap dan bertukar pikiran dengan mereka.

Bagaimana memecahkan masalah JI, itu yang acap mereka bahas. Omongan mereka nyambung. Pasalnya, sebagai pimpinan terlama (11 tahun) ia sangat mengerti luar-dalam JI. Pada sisi lain, orang-orang yang kerjanya memerangi teroris itu cerdas dan berpikiran maju.

JI sudah berubah haluan sejak ia pimpin. Berpaling dari kekerasan, mereka lebih menitikberatkan dakwah, pendidikan, dan rekrutmen anggota baru. Pula, semakin serius mempertimbangkan untuk tak memerangi lagi pemerintah NKRI. Densus 88 sendiri sudah lebih mengedepankan soft approach (pendekatan lunak).  Jadi, seperti kata orang Jawa, tumbu ketemu tutup [serasi].

Sebagai langkah problem solving, amir terakhir itu pun meminta ke Densus 88 agar ia dipertemukan dengan Abu Rusydan yang merupakan satu dari sebelas pendiri JI. Permintaan diluluskan.

Dengan pengawalan ketat, Abu Rusydan didatangkan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cikeas, Bogor, ke tempat Para Wijayanto. Keduanya pun berbicara empat mata. Itulah persuaan pertama mereka setelah sekian tahun lampau. Saat itu Abu Rusydan sudah 3 tahun membui sedangkan sang besan 5 tahun. Pada April 2024 itu mereka bersepakat untuk menerima NKRI dan membubarkan JI.

Para santri belia di sebuah pesantren di Jakarta Utara. (Foto: Bawadi)

Kendalanya, mereka berdua sama-sama tahanan. Padahal, kesepakatan itu mesti disosialisasikan ke segenap anggota. Jadi, perlu pelibatan kawan yang di luar tapi dengan catatan orang itu tak boleh ditangkap sesudah pertemuan. Bambang Sukirno yang ada di pikiran mereka. Ia pernah memimpin sejumlah misi pelatihan JI di Suriah.

Otoritas militer JI juga perlu diikutsertakan sebab tandzim askari (metoda tentara) dan tandzim siri (metoda rahasia) akan dihentikan. Khoirul Anam alias Bravo, mantan Panglima Militer JI, yang mereka inginkan. Dia juga masih membui.

Gagasan untuk bertemu dengan Bambang Sukirno dan Khoirul Anam disetujui Densus 88. Pada satu pagi Mei 2024, Para Wijayanto, Abu Rusydan, dan Khoirul Anam bertukar pikiran. Sorenya, Bambang Sukirno mereka libatkan. Acara itu divideokan untuk disebarluaskan Bambang Sukirno nanti ke segenap anggota yang 6 ribuan.

Gagasan menggelinding laksana bola salju. Difasilitasi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88), perhelatan besar akhirnya berlangsung di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, pada 29 Jumi 2024. Wakil dari 42 Pondok pesantren yang berafiliasi dengan JI, tokoh-tokoh senior JI, alumni Afghanistan, alumni Moro hadir. Juga, dua mantan amir (Zarkashi dan Para Wijayanto) serta wakil pendiri (Abu Rusydan).

Total sekitar 131 orang hadirin. Orang sebanyak itu dihimpun agar suara bulat dicapai dalam musyawarah. Dengan begitu, pembubaran JI tidak bakal dikatakan orang kehendak individu tertentu.

Musyawarah berlangsung dari pagi hingga petang. Banyak hal yang dibahas termasuk kurikulum pesantren nantinya. Para Wijayanto sendiri mempresentasikan bahan bertopik Never start from solution, but start from problem.

Hari itu hadirin menyepakati 6 poin termasuk 2 yang terpenting yaitu kembali ke NKRI dan pembubaran Al Jamaah Al Islamiyah.

Esoknya, di tempat yang sama deklarasi berlangsung. Hadirin membacakan bersama 6 poin itu.

Perhelatan 2 hari ini sungguh istimewa bagi hadirin. Sebab, seratusan unsur organisasi rahasia bertemu langsung di sebuah tempat pada sebuah momen. Sesuai kesepakatan dengan Densus 88, tak satu pun mereka yang ditangkap otoritas keamanan, sesudahnya.

Setelah deklarasi di Sentul, perhelatan pembubaran demi pembubaran terus berlangsung. Yang di Tarakan merupakan yang ke-45. Terusnya masih akan ada. Puncaknya adalah acara akbar di Sukoharjo, Solo, Desember 2024.

Pertanyaan kuncinya adalah apakah Al Jamaah Al Islamiyah (JI) yang bertahun-tahun identik dengan teror bom di Indonesia dan telah dinyatakan PBB sebagai bagian dari Al-Qaeda akan benar-benar berpendekatan lunak selepas Desember 2024? Semoga! (Bersambung)

Reporter: Rin HP  dan P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS