Tulisan-2
PARBOABOA, Pematangsiantar – Praktik menikmati tuak dalam balutan gaya modern pertama kali dicetuskan oleh dua anak muda kreatif, Indra Sihotang dan Benny Purba. Bukan orang baru dalam dunia per-tuak-an, sebelumnya mereka telah sukses menginisiasi sebuah festival tuak yang menarik perhatian publik. Dari pengalaman itu lahirlah gagasan untuk menghadirkan ruang baru—sebuah tempat yang tidak hanya menyajikan tuak, tetapi juga mempertemukan budaya, kreativitas, dan suasana kekinian.
Tempat berkonsep alam ini dalam penggodokan idenya melibatkan musisi asal Siantar, Diknal Sitorus, dan tokoh komunitas kreatif setempat, Tumpak Winmark ‘Siparjalang’ Hutabarat. Kedua orang ini melihat tuak bukan sekadar sebagai minuman tradisional melainkan juga simbol budaya yang bisa dirayakan dalam suasana yang lebih inklusif dan terbuka, khususnya bagi masyarakat di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun.
Dari semangat itulah Lissoii—sebuah kafe di kota Pematangsiantar yang bisa dikatakan sebagai pelopor dalam menjadikan tuak sebagai ikon utama—lahir. Tidak hanya sebagai menu suguhan tetapi juga sebagai identitas.
Sang pemilik sendiri yang dikenal memiliki kecintaan terhadap tuak memutuskan untuk mewujudkan mimpi ini dalam bentuk nyata yaitu sebuah kafe tuak yang memadukan tradisi dan gaya hidup urban.
Kafe ini mulai berdiri sejak 2020. Dalam rentang waktu tersebut, Lissoii tidak hanya bertahan tetapi juga tumbuh menjadi ruang alternatif yang konsisten merawat tradisi dalam balutan kreativitas modern. Keberadaannya menjadi bukti bahwa tuak sebagai bagian dari warisan budaya masih relevan dan mampu beradaptasi dengan selera generasi kini.
Adakah teknik penyajian khusus untuk menikmati minuman tuak di sana? Salah satu karyawan di sana bermarga Sianturi dan berusia 23 tahun mengatakan tidak ada campuran apa pun yag mereka gunakan. Tuak disuguhkan langsung di dalam gelas, murni tanpa tambahan bahan lain—oleh tangan pertama. Keaslian ini menjadi prinsip yang dijaga demi mempertahankan cita rasa otentik dan untuk menghormati tradisi.
Selain menyuguhkan tuak sebagai primadona, Lissoii juga menyediakan beragam pilihan minuman lain mulai dari bir dan arak hingga teh, kopi, jus, dan air putih. Ini bentuk keterbukaan terhadap selera kalangan yang majemuk.
Sebagai teman minuman, aneka makanan juga tersedia, mulai dari camilan ringan hingga hidangan berat. Tak ketinggalan, ada juga tambul—makanan pendamping khas, daging antara lain, yang biasa dinikmati bersama tuak. Yang terakhir ini menegaskan suasana khas lapo Batak.
Lissoii terbuka untuk siapa saja yang ingin menikmati suasana santai dan hangat. Namun, terdapat satu aturan yang ditegakkan dengan tegas: pengunjung yang masih mengenakan seragam sekolah tidak diperkenankan mengonsumsi tuak di tempat ini. Ini merupakan bentuk tanggung jawab terhadap publik.
Lintas Generasi
Segmen pengunjung Liisoi campuran anak muda dengan generasi yang lebih sepuh, termasuk lansia. Isyarat bahwa kafe ini bukan sekadar tempat minum melainkan ruang lintas generasi yang mempertemukan nilai-nilai tradisional dengan semangat kebersamaan masa kini.
Lissoii mulai beroperasi setiap hari dari pukul 15.00 WIB hingga 23.00 WIB. Rentang waktu ini dipilih agar pengunjung dapat menikmati suasana sore hingga malam hari; masa yang tepat dipakai untuk berkumpul, berbincang, dan bersantai bersama teman maupun keluarga.
Sebagai penyemarak suasana, pertunjukan live musik ada setiap Kamis dan Sabtu, mulai pukul 20.00 hingga 23.00 WIB. Sajian ini menjadi daya tarik tersendiri—membawa atmosfer yang lebih hangat dan akrab. Pada sisi lain, menjadi kesempatan berekspresi bagi musisi lokal.
Keakraban
Kata ‘lissoii’ memiliki makna budaya yang mendalam. Dalam tradisi masyarakat Batak Toba, kata ini kerap diucapkan saat bersulang, sebagai ungkapan kegembiraan dan keakraban—setara dengan cheers dalam budaya Barat atau “kanpai dalam budaya Jepang. Ucapan ini biasa terdengar ketika gelas tuak diangkat dan diteguk bersama dalam suasana penuh persaudaraan.
Di Lissoii, tuak memang bukan lagi hanya tentang nostalgia masa lalu, tetapi juga ihwal ruang pertemuan, percakapan, dan apresiasi terhadap budaya Batak yang terus hidup dan berkembang.
Kata “Lissoi” juga lekat dengan sebuah lagu daerah populer ciptaan komponis legendaris Nahum Situmorang. Lagu tersebut menggambarkan suasana akrab masyarakat Batak saat berkumpul dan menikmati tuak di kedai-kedai tradisional.
Dengan lirik “Dongan sapartinaonan, o parmitu [kawan sependeritaaan, O peminum tuak]..... Inum ma tuakmi (Minumlah tuakmu)... Lissoi... Lissoi...”—lagu ini menjadi semacam anthem kegembiraan dan pengikat rasa kebersamaan dalam setiap tegukan tuak.
Pemilihan nama Lissoii untuk kafe ini memang tepat. Lapo modern ini bukan hanya tempat menikmati minuman, tetapi juga sebagai ruang untuk merayakan kebudayaan, persahabatan, dan sukacita yang diwariskan secara turun-temurun.
Salah satu keunggulan Lissoii terletak pada lokasinya yang strategis: berada di dekat areal persawahan. Hamparan tanaman padi di sekeliling menciptakan suasana yang sejuk, asri, dan menenangkan—jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota.
Udara yang bersih serta pemandangan terbuka menjadikan Lissoii tempat ideal untuk melepas penat, berbincang santai, atau sekadar menikmati waktu bersama alam dan kawan dalam suasana yang lebih intim.
Tuak yang disajikan di sini berasal dari Sionggang, sebuah nagori [kampung] yang terletak di wilayah Silau Malaha, Kabupaten Simalungun. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu sentra penghasil tuak berkualitas, berkat kondisi alam dan keterampilan lokal yang telah teruji secara turun-temurun.
Tuak yang diproduksi berasal dari dua jenis pohon, yakni aren dan kelapa—masing-masing memiliki karakter rasa dan aroma yang khas.
Menariknya, banyak orang mengira efek memabukkan berasal dari kadar alkoholnya. Padahal, menurut pengalaman para penikmat setia, sensasi yang muncul justru lebih dipengaruhi oleh aroma fermentasi yang kuat, bukan semata oleh kadar alkoholnya. Inilah yang menjadikan tuak sebagai minuman tradisional yang unik dan berbeda dari minuman beralkohol pada umumnya.
Lissoii saat ini dikelola oleh empat orang karyawan, terdiri dari satu perempuan dan tiga laki-laki. Mereka tidak hanya bertugas melayani pengunjung tetapi juga menjadi bagian penting dalam menjaga atmosfer hangat dan kekeluargaan yang menjadi ciri khasnya. Kehadiran tim yang solid dan ramah turut menciptakan suasana akrab yang membuat pengunjung merasa betah dan ingin kembali.
Ada juga pengunjung yang datang bukan untuk menikmati tuak, melainkan sekadar singgah untuk mereguk pesona pemandangan hijau sambil menyantap camilan ringan. Ada juga yang berkunjung hanya untuk menemani seseorang atau menikmati suasana atau berbincang.
Sebaliknya, banyak juga yang hadir demi tuak.
“Bagi saya, ada perasaan berbeda ketika berbicara tanpa ditemani gelas berisi tuak. Seolah ada jarak yang belum mencair,” ujar salah-satu pengunjung bermarga Manihuruk dan beruur 25 tahun.
Tuak, dalam konteks Kafe-Lapo Lissoii bukan semata minuman—melainkan media pembuka percakapan, jembatan spontanitas, dan pemantik keakraban yang tumbuh secara alami di antara gelas-gelas yang terangkat. (Bersambung)
Penulis: Novriani Tambunan, Indah Cahyani, Alberto Nainggolan—peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia).
Editor : P. Hasudungan Sirait