PARBOABOA, Jakarta - Kardinal Ignatius Suharyo akan terbang ke Vatikan untuk mengikuti Konklaf, pemilihan Paus pengganti Paus Fransiskus.
Di balik prosesi sakral ini, tersimpan ritual, aturan, dan tradisi panjang yang dijalani dengan khidmat dan penuh kerahasiaan.
“Saya baru akan berangkat nanti pada tanggal 4 Mei untuk mengikuti Konklaf,” ujarnya kepada di Gereja Katedral Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Sementara dari informasi yang ia dapat, sejumlah kardinal dari berbagai penjuru dunia sudah tiba di Vatikan.
Mereka, jelasnya melakukan pertemuan rutin setiap pukul 09.00 waktu setempat untuk mempersiapkan diri menyambut Konklaf.
Menurut ketentuan, Konklaf akan dimulai 15 hari setelah wafatnya Paus Fransiskus, yakni direncanakan pada 6 Mei 2025.
Namun, keputusan final mengenai tanggal pelaksanaan tetap berada di tangan para kardinal.
“Nanti pasti akan diputuskan oleh para bapak kardinal, apakah nanti pada 6 Mei akan langsung mulai, atau masih membutuhkan waktu untuk persiapan,” jelasnya.
Apa Itu Konklaf?
Konklaf adalah proses sakral yang terjadi setelah Paus wafat atau mengundurkan diri. Secara harfiah, "konklaf" berasal dari bahasa Latin cum clave, yang berarti "dengan kunci"—merujuk pada penguncian kardinal di Kapel Sistina agar bebas dari pengaruh eksternal.
Konklaf bukan sekadar pemilihan administratif. Para kardinal juga berdoa, bermeditasi, dan mencari bimbingan ilahi agar pilihan mereka menjadi pemimpin rohani yang tepat bagi umat Katolik di seluruh dunia.
Kardinal merupakan tokoh penting dalam Gereja Katolik. Kata “kardinal” berasal dari Latin cardo, yang berarti “engsel”, menandakan peran vital mereka.
Mereka membentuk Kolegium Kardinal, sebuah badan penasihat Paus dan pelaksana Konklaf saat dibutuhkan.
Prosesi Konklaf
Dalam tradisi Gereja Katolik, pemilihan Paus adalah momen yang sakral dan penuh kehikmatan. Prosesi ini, yang dikenal sebagai Conclave, terdiri dari sepuluh tahap penting, dimulai dari kedatangan para kardinal hingga pengangkatan resmi Paus yang baru.
Berikut adalah rangkaian naratif dari proses tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh The Telegraph.
Pertama, para kardinal dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Kota Vatikan, membawa serta doa dan harapan umat Katolik dari negeri asal mereka.
Langkah pertama dalam prosesi ini dimulai dengan sebuah misa istimewa di Basilika Santo Petrus yang disebut Pro Eligendo Romano Pontifice, atau "Untuk Pemilihan Paus Roma".
Dalam misa ini, para kardinal memohon bimbingan Roh Kudus agar proses pemilihan berlangsung dengan kebijaksanaan dan hikmat ilahi.
Kedua, usai misa, para kardinal mengenakan jubah merah yang melambangkan pengabdian dan kesetiaan, dikenakan di atas tunik renda putih mereka.
Bersama-sama, mereka bergerak menuju Kapel Sistina, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan minibus bagi yang memerlukan.
Sepanjang perjalanan mereka diiringi lantunan Litany of Saints, sebuah nyanyian Gregorian yang khusyuk, memohon penyertaan Roh Kudus dalam setiap langkah.
Ketiga, setibanya di Kapel Sistina, prosesi dilanjutkan dengan pengambilan sumpah rahasia oleh setiap kardinal.
Mereka maju satu per satu ke altar, meletakkan tangan di atas Alkitab, dan mengucapkan sumpah dalam bahasa Latin untuk menjaga kerahasiaan penuh dari seluruh proses pemilihan Paus.
Segala alat komunikasi modern dilarang dibawa masuk, menandakan bahwa proses ini adalah momen eksklusif dan suci yang tidak boleh terganggu.
Keempat, setelah sumpah selesai, seorang petugas Vatikan mengumandangkan seruan “Extra omnes!”, yang berarti semua orang selain para kardinal harus meninggalkan ruangan.
Kapel Sistina pun ditutup rapat. Suasana menjadi hening dan khidmat, menandai dimulainya pemilihan Paus yang dilakukan secara tertutup dan hanya oleh para kardinal yang memiliki hak suara.
Kelima, Para kardinal duduk di kursi kayu ceri yang tersusun di belakang dua belas meja yang berbalut kain satin.
Di depan altar, sebuah meja ketiga belas memegang guci perak tempat pengumpulan surat suara. Setiap kardinal menuliskan nama kandidat pilihannya dalam surat suara bertuliskan “Eligo in summum pontificem”—“Saya memilih sebagai Paus Tertinggi”.
Keenam, pada hari pertama Konklaf, hanya satu kali pemungutan suara dilakukan. Namun, pada hari-hari berikutnya, pemungutan suara dilakukan empat kali dalam sehari—dua kali di pagi hari dan dua kali di sore hari. Setelah dua putaran voting, surat suara dibakar, dan dari tungku pembakaran muncul asap yang akan menjadi penanda bagi dunia.
Ketujuh, dua tungku dipasang di dalam Kapel Sistina: satu untuk membakar surat suara, dan satu lagi untuk menghasilkan asap.
Asap hitam berarti belum ada kesepakatan; sementara asap putih—yang juga diiringi dentang lonceng Basilika Santo Petrus—menandakan bahwa seorang Paus telah terpilih. Dunia pun menanti dengan tegang tanda dari langit Vatikan.
Kedelapan, jika seorang kandidat telah meraih dua pertiga suara, kardinal senior akan bertanya: “Apakah Anda menerima?”
Jika jawabannya “Accepto”, maka kardinal tersebut akan dibawa ke Stanza delle Lacrime—Ruang Air Mata.
Di sana, ia berganti jubah menjadi jubah putih Paus, dan memilih nama kepausannya, sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak abad ke-6.
Kesembilan, setelah segalanya siap, kardinal senior muncul di balkon Basilika Santo Petrus dan mengumumkan kepada dunia: “Annuntio vobis gaudium magnum. Habemus Papam!”—“Saya mengumumkan kepada Anda kegembiraan besar.
Kami memiliki Paus!” Nama dan gelar Paus yang baru diumumkan, disambut oleh sorak-sorai ribuan umat yang telah menanti di Lapangan Santo Petrus, dan oleh jutaan mata yang menyaksikan lewat televisi di seluruh dunia.
Kesepuluh, Sang Paus yang baru kemudian memberikan berkat apostolik pertamanya kepada umat.
Beberapa hari setelah pemilihan, upacara pelantikannya dilangsungkan secara resmi. Ribuan umat menghadiri upacara tersebut, menyambut gembira pemimpin spiritual baru mereka.
Ini bukan hanya sebuah transisi kekuasaan, melainkan awal dari sebuah babak baru bagi Gereja Katolik sedunia.