Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Menyimak Langgam Kaum Muda Menyahuti Zaman

Tumpak Winmark Hutabarat Alias Si Parjalang. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Pematangsiantar - "Dulu prinsip saya adalah lebih baik tidak makan daripada tidak membeli buku,” ucap aktivis Pematangsiantar, Tumpak Winmark Hutabarat alias Si Parjalang’ [Sang Kelana] saat memberi materi di kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Rabu (23/4/2025).

Kalimat itu disampaikan ketika menceritakan kisah hidupnya. Bukan untuk mengesankan, tetapi menegaskan bagaimana ia menempatkan pengetahuan sebagai kebutuhan utama. Sebagai seorang yang lahir dari keluarga sederhana, ia menyadari bahwa membaca buku sebagai cara menaklukan dunia dan mengubah nasib.

Pagi itu, ia mengajarkan materi bertajuk ‘Langgam Kaum Muda Sekarang dalam Menyahuti Zaman’. Dengan cara mengajar yang cair, ia menampilkan slide berisi berbagai foto dan video perjalanan hidupnya. Dari berjualan baju, menerima pesanan katering, menjadi jurnalis, content creator hingga berkeliling ke empat puluh negara. Pengalaman hidupnya diceritakan sebagai pembelajaran agar menginspirasi para peserta.

Tumpak menjelaskan bahwa di tengah derasnya arus informasi, anak muda masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Informasi mengalir dari segala arah—media sosial, portal berita, video pendek—dengan kecepatan yang sering kali melampaui kemampuan otak untuk mencernanya secara utuh.

Dalam kondisi ini, membedakan antara fakta dan opini, ilmu dan propaganda, menurutnya, menjadi keterampilan yang tak bisa ditawar. Zaman memang memberi kebebasan dalam mengakses pengetahuan, namun sekaligus menuntut kecermatan dalam memilahnya.

Inilah mengapa Tumpak menekankan pentingnya membaca buku. Bukan sekadar untuk tahu, namun juga untuk melatih kedalaman berpikir, ketelitian, dan kesabaran di tengah godaan instan dan banjir distraksi.

Ia menerangkan bahwa dengan membaca seseorang diajak berdialog dengan pikiran orang lain, menguji ulang asumsi sendiri, dan memperluas cakrawala tanpa kehilangan pijakan. Di sanalah pikiran kritis ditempa.

Di era yang serba instan dan dibanjiri informasi, memang kerap muncul anggapan bahwa suara anak muda rentan tenggelam dalam riuhnya wacana. Namun baginya, justru kondisi semacam itulah relevansi mereka diuji dan dipertajam. Setiap generasi membawa semangat zamannya sendiri dengan cara berpikir dan berbahasa.

"Jadi, suara anak muda sekarang tetap relevan untuk didengar, meski zaman kini serba instan dan banjir informasi. Mereka bisa membawa sudut pandang baru terhadap realitas yang terus berubah," tuturnya pada Parboaboa, Rabu (25/4/2025).

Menurutnya, karya adalah medium penting bagi anak muda kini untuk menyampaikan keresahan, harapan, dan tafsir mereka atas dunia. Bisa melalui tulisan, musik, film, maupun gerakan sosial. Keberanian berbeda dan menggoyahkan kenyamanan pun sebagai nilai yang dibutuhkan.

pbb sdg mnyimak

Serius Menyimak. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Selain itu, baginya, anak muda juga perlu ruang berpikir untuk mempertajam perspektif. Refleksi dibutuhkan agar kesadaran tumbuh—mengingat laju media sosial kini begitu cepat.

Tumpak mengakui bahwa di zaman sekarang batas antar ilmu dan keterampilan semakin kabur. Seseorang tak lagi cukup hanya mahir dalam satu bidang. Dunia, menurutnya, kini menuntut keluwesan, kemampuan melintasi berbagai disiplin, dan keterbukaan untuk terus belajar hal-hal baru

"Dulu orang meyakini kalau masa depan akan cerah jika menempuh pendidikan di sekolah elit. Tapi sekarang itu belum tentu. Sekarang kita harus banyak menguasai berbagai bidang. Apalagi dengan kehadiran kecerdasan buatan yang mulai menggantikan banyak tugas teknis," jelasnya.

Di tengah kemajuan teknologi, manusia ditantang untuk menemukan kembali nilai unik yang tak bisa ditiru oleh mesin: kreativitas. Menurutnya, kehadiran kecerdasan buatan bukan semata kemajuan, tetapi juga peringatan. Bila anak muda tak mengasah daya kreatifnya, teknologi akan mengambil alih peran-peran manusia.

"Kreativitas manusia tak bisa digantikan oleh AI. Maka ketika banyak pekerjaan menjadi otomatis, ruang bagi kreativitas harusnya semakin terbuka lebar. Selama manusia masih memiliki imajinasi, kreativitas tidak akan pernah mati," terangnya.

Tumpak pun menjelaskan bahwa jika anak muda ingin menyahuti zaman lewat jalan jurnalisme, maka yang paling mendasar bukan sekadar kemampuan menulis, namun juga keberanian untuk berpihak.

"Di tengah banjir data dan opini yang bercampur aduk, jurnalis muda harusnya tak hanya menjadi penyalur kata-kata dan bersikap netral. Tetapi membawa nilai yang dijaga dengan keberpihakan pada keadilan," tuturnya.

Kembali ia mengingatkan kepada para peserta untuk tidak hanya fokus pada keterampilan menulis, tetapi juga memperbanyak bacaan buku dan meninggikan rasa ingin tahu. Sebab menulis yang baik datang dari pemahaman mendalam tentang dunia—dan itu hanya bisa diperoleh melalui pembacaan yang luas.

"Dan selain membiasakan diri membaca buku dan meningkatkan rasa ingin tahu, juga perlu membangun jejaring untuk mendapatkan akses dan peluang," tutup Tumpak.

Amelia Wulandari Pardede (22), salah satu peserta merasakan makna dari pertemuan kelas pagi itu. Bukan hanya karena cerita Tumpak yang menginspirasi, tetapi juga karena ajakan untuk kembali ke desa dan menjadi bagian dari perubahan di tempat yang sering dilupakan.

“Saya tertarik saat Bang Tumpak mengatakan bahwa anak muda harus kembali ke desanya. Itu menyentuh saya, karena biasanya orang sukses enggan pulang kampung,” katanya pada Parboaboa, Rabu (23/4/2025).

tips zaman skrg

Memberi Tips Menyahuti Zaman Yang Serba Instan dan Banjir Informasi. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Bagi mahasiswi STIE Sultan Agung Pematangsiantar ini, pernyataan tersebut bukan sekadar ajakan moral, melainkan juga bentuk tanggung jawab sosial. Anak muda yang berhasil menaklukkan dunia luar seharusnya juga membawa pulang pengetahuan ke kampung halaman.

Amelia menyadari bahwa menjadi jurnalis bukan cuma soal menyampaikan informasi, melainkan memahami konteks sosial di sekitarnya. Perspektif itulah yang dirasanya perlu terus diasah dalam proses belajarnya.

“Setelah ikut kelas ini, saya sadar harus lebih kritis terhadap isu-isu, khususnya yang dialami Gen Z. Isu anak muda sering kali luput dari sorotan,” ujarnya.

Selain itu, Ia tetap ingin mempertahankan sikap terbuka terhadap berbagai sudut pandang, sambil terus menjaga nalar kritis. Bagi Amelia, menghargai pendapat orang lain tak berarti harus menganggap semuanya benar.

Peserta lainnya, Novriani Tambunan (22), lulusan FISIP USU, juga melihat betapa pentingnya beradaptasi dengan perkembangan zaman setelah menyimak materi dari Tumpak Hutabarat.

“Saya jadi paham bahwa semua profesi, termasuk jurnalis, harus bisa beradaptasi dengan teknologi. Penyajian berita kini bergantung pada teknologi. Kehadiran AI akan memengaruhi masa depan," katanya pada Parboaboa, Rabu (23/4/2025)

Paparan Tumpak juga membuka pikirannya bahwa kepekaan, sudut pandang, membangun jejaring dan keberanian menyajikan informasi dengan cara yang segar menjadi kunci agar tulisan tetap relevan.

“Materinya menyadarkan saya bahwa menulis berita sekarang bukan soal kerja fisik. Tapi soal kreativitas, kepekaan, dan bagaimana sudut pandang kita membuat informasi jadi berarti dan berguna," tutur Novriani.

Editor: Rin Hindryati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS