PARBOABOA, Jakarta - Sekali lagi, nama Nurhadi Abdurrachman mencuat di tengah gemuruh pemberantasan korupsi.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) yang dikenal dengan gaya hidup glamor dan jaringan kekuasaan di balik toga, kembali harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Skandal demi skandal mengiringi perjalanan pria yang disebut sebagai “sang playmaker” di balik pusaran hukum Indonesia.
Diketahui, Nurhadi Abdurrachman kembali ditahan oleh KPK. Penangkapan ini dilakukan di Lapas Sukamiskin, Bandung, tempat di mana ia pernah menjalani hukuman enam tahun penjara dalam kasus suap dan gratifikasi.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengkonfirmasi penahanan itu pada Senin (30/6/2025), menyebut bahwa proses penangkapan terkait penyidikan kasus dugaan TPPU yang menjeratnya.
Sebelumnya, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, terbukti menerima uang suap senilai Rp 49,5 miliar dari sejumlah perkara.
Mereka juga dijatuhi denda Rp 500 juta dan diperintahkan membayar uang pengganti Rp 83 miliar. Namun, hakim tak mengabulkan tuntutan uang pengganti tersebut.
Catatan Hukum Sang Sekretaris
Jauh sebelum jerat hukum menimpanya, Nurhadi sudah dikenal luas karena gaya hidup mewah yang kerap jadi buah bibir.
Setelah dilantik sebagai Sekretaris MA pada Desember 2011, ia menggelar pentas wayang kulit di Semarang pada September 2012. Kabar beredar, empat helikopter dipesan untuk membawa tamu undangan dari Jakarta.
Puncak kontroversi terjadi saat resepsi mewah pernikahan anaknya di Hotel Mulia, Jakarta, tahun 2014.
Undangan mencapai 2.500 orang, tamu diinapkan di hotel bintang lima, dan suvenir berupa iPod Shuffle dibagikan.
Total biaya diperkirakan mencapai Rp 10 miliar, membuat pesta itu layak disejajarkan dengan hajatan para konglomerat.
Kejadian itu memantik reaksi keras banyak pihak. Sebanyak 250 orang melaporkan suvenir iPod itu ke KPK, termasuk 235 hakim. Johan Budi, juru bicara KPK kala itu, menyatakan bahwa iPod wajib dikembalikan.
Namun, Hakim Agung Gayus Lumbuun menyebut hadiah itu sah karena dibeli menantu Nurhadi seharga Rp 480 ribu per unit—di bawah batas pelaporan gratifikasi.
Meski demikian, iPod tetap dikembalikan dan diambil alih KPK. Kasus ini menambah panjang catatan mencolok Nurhadi, dari soal hadiah hingga dugaan lobi hukum.
Belum selesai, Nurhadi juga memiliki dua rumah mewah di Kebayoran Baru, Jakarta. Salah satunya di Jalan Hang Lekir VIII bernilai sekitar Rp 20 miliar.
Rumah itu digerebek KPK pada 30 April 2016. Di sana, ditemukan uang tunai Rp 1,7 miliar serta dokumen putusan Bank Danamon yang telah disobek dan dibuang ke toilet oleh istrinya, Tin Zuraida.
Tak hanya dokumen, uang dalam berbagai mata uang asing ditemukan di dalam toilet. Nilainya mencapai miliaran rupiah.
Dalam sidang 2019, Nurhadi mengakui dokumen disobek oleh istrinya—yang juga mantan Kepala Pusat Diklat Hukum MA dan staf ahli Menpan RB.
Harta yang Tak Sesuai Laporan
Dalam LHKPN 2012, Nurhadi mencantumkan harta bergerak senilai Rp 11,28 miliar dan 18 bidang tanah senilai Rp 7,36 miliar.
Namun, bisnis sarang burung walet yang kerap disebut-sebut sebagai sumber kekayaannya tidak dimasukkan dalam laporan tersebut.
Dikenal sebagai "dermawan" bagi para hakim, Nurhadi disebut kerap memberikan uang dan barang mahal seperti meja kerja senilai Rp 1 miliar.
Hakim-hakim yang vokal seperti Gayus Lumbuun justru disingkirkan, mencerminkan kuatnya pengaruh sang playmaker.
Nurhadi menjadi tersangka suap dan gratifikasi periode 2011–2016, bersama menantunya dan Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto.
Ia diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dan gratifikasi Rp 12,9 miliar dari perkara perdata dan sengketa tanah.
Dia memainkan perannya sebagai playmaker—bukan hanya sekadar Sekretaris MA. Di balik layar, Nurhadi mengatur distribusi perkara, menentukan hakim yang menangani, hingga memastikan hasil akhir sesuai keinginan para penyogok.