Nusron Wahid: Hampir Separuh Lahan Bersertifikat Dikuasai Hanya oleh 60 Keluarga di Indonesia

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid mengungkap fakta mencengangkan terkait distribusi lahan di Indonesia yang dikuasai hanya oleh 60 Keluarga. (Foto: IG/@nusronwahid)

PARBOABOA, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap fakta mencengangkan terkait distribusi lahan di Indonesia. 

Dari sekitar 55,9 juta hektare lahan bersertifikat yang tercatat di bawah kewenangan ATR/BPN, terdapat 48 persen dikuasai oleh kelompok kecil, atau hanya terdiri dari sekitar 60 keluarga.

Lahan tersebut merupakan bagian dari total 70,4 juta hektare areal penggunaan lain (APL) yang telah terpetakan dan bersertifikat. 

Namun, menurut Nusron, penguasaan itu bukan dilakukan secara langsung oleh individu, melainkan melalui berbagai entitas berbadan hukum seperti perusahaan. 

Ketika ditelusuri lebih dalam, kepemilikan manfaat dari perusahaan-perusahaan itu kembali mengerucut kepada puluhan keluarga yang sama.

Situasi ini, menurutnya, mencerminkan ketimpangan struktural dalam penguasaan sumber daya agraria di Indonesia. 

Ia menilai bahwa ketimpangan tersebut merupakan warisan kebijakan masa lalu yang tidak berpihak pada prinsip keadilan sosial. 

Akibatnya, kondisi kemiskinan yang terjadi bukan hanya karena persoalan ekonomi, tetapi juga karena ketidakadilan dalam distribusi aset, terutama tanah.

Sebagai bentuk koreksi, pemerintah saat ini mengusung tiga prinsip utama dalam tata kelola lahan yakni keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi. 

Dalam implementasinya, pendekatan ini berarti menjaga agar pelaku usaha yang sudah ada tetap bisa berjalan, namun distribusi lahan baru akan lebih selektif, atau tidak diberikan kepada pihak-pihak yang sebelumnya telah menguasai lahan dalam jumlah besar.

Dengan pendekatan ini, pemerintah ingin memastikan bahwa pengelolaan lahan ke depan dapat mendorong inklusi ekonomi, bukan justru memperdalam ketimpangan.

Masalah Lama

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menegaskan ketimpangan agraria telah menjadi masalah struktural yang berlangsung lama dan tidak pernah selesai secara efektif.

Jika melihat angka Gini Rasio, ketimpangan dalam kepemilikan lahan bahkan jauh lebih tinggi dibanding ketimpangan ekonomi secara umum. 

Gini Rasio lahan tercatat berada di kisaran 0,7, sementara Gini Rasio ketimpangan pengeluaran hanya sekitar 0,29. 

Ketimpangan lahan yang ekstrem ini memperlihatkan bahwa kepemilikan tanah masih sangat terkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Kondisi tersebut berdampak langsung pada terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap lahan produktif, terutama di sektor pertanian. 

Ketika masyarakat desa kehilangan peluang untuk mengelola lahan, pilihan yang tersisa adalah meninggalkan kampung halaman dan mencari penghidupan di kota. Akibatnya, terjadi urbanisasi besar-besaran, sementara desa-desa kehilangan potensi ekonominya.

Penguasaan lahan dalam skala besar ini meliputi area perkebunan dan perizinan tambang. Konsentrasi kepemilikan tersebut menyebabkan distribusi lahan yang tidak merata, memperlebar kesenjangan, dan memperkuat dominasi segelintir korporasi atau pemilik modal.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS