PARBOABOA, Jakarta - Pada sidang pleno 14 November 2024, Parlemen Eropa sepakat menunda implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) selama satu tahun.
Dengan penundaan tersebut, pelaku usaha besar wajib mematuhi aturan pada 30 Desember 2025, sedangkan usaha mikro dan kecil mendapat kelonggaran hingga 30 Juni 2026.
Penundaan ini bertujuan memberi waktu tambahan agar pelaku bisnis global dapat menyesuaikan diri tanpa mengganggu tujuan utama regulasi.
Sementara itu, dengan tenggat hingga Desember 2026, negara-negara produsen memiliki waktu 2 tahun 6 bulan untuk beradaptasi.
Namun, langkah signifikan dari pemerintah Indonesia baru sebatas membentuk National Dashboard melalui Keputusan Menko Perekonomian Nomor 178 Tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia.
Pemerintah mengklaim bahwa Dasbor Nasional akan memperbaiki tata kelola komoditas berkelanjutan dan meningkatkan traceability sesuai EUDR.
Pembentukan sistem ini dinilai oleh banyak pihak tidak sejalan dengan regulasi Uni Eropa. Masyarakat sipil bahkan menduga Dasbor Nasional hanya menutupi rantai pasok minyak sawit kotor di dalam negeri.
Alih-alih membantu, kata mereka, langkah pemerintah justru menyulitkan pelaku usaha mematuhi EUDR.
Tak hanya itu, sistem informasi yang digadang-gadang belum mendapat persetujuan dari Uni Eropa. Uni Eropa sendiri telah menegaskan bahwa mereka akan menggunakan sistem informasi yang mereka bangun, bukan sistem dari negara lain.
Mansuetus Darto, Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah berhenti membuang waktu dengan Dasbor Nasional.
Kata dia, fokus pemerintah seharusnya pada penguatan traceability, peningkatan kapasitas SDM birokrasi di pusat dan daerah, serta dukungan bagi pelaku usaha termasuk petani kecil.
Apalagi, tegas Darto, tidak ada kewajiban bagi negara produsen untuk membangun sistem informasi sebagai syarat ekspor ke pasar Uni Eropa. Bahkan, pembangunan Dasbor Nasional bisa menjadi bumerang karena tidak menjamin perbaikan tata kelola sawit.
Selain itu, Dasbor Nasional tidak mencakup isu-isu krusial. Sistem ini tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat akar rumput dan informasi dalam sistem tidak bisa diakses publik untuk mengetahui aktivitas korporasi di daerah mereka. Lebih parah lagi, sistem ini tidak menyediakan mekanisme pengaduan.
"Sejumlah isu penting tidak diadopsi dalam Dasbor Nasional. Ini hanya sistem informasi biasa namun tidak dapat menjanjikan perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan tanpa deforestasi dan pelanggaran HAM," kata Darto dalam keterangan tertulis kepada Parboaboa, Rabu (18/12/2024).
Darto juga mengkritik QR code dalam sistem Dasbor Nasional. Dimana akses terhadap QR code hanya diberikan kepada pihak tertentu, seperti konsumen atau otoritas. Hal ini mempersulit masyarakat sipil dalam memantau kepatuhan perusahaan atau komoditas terhadap aturan. Akibatnya, keakuratan data dan informasi dalam sistem tersebut patut dipertanyakan.
Karena itu, ia menyimpulkan Dasbor Nasional tidak transparan dan gagal menjamin perusahaan atau komoditas benar-benar bebas deforestasi.
"Jelas di sini bahwa, Dasbor Nasional tidak transparan", padahal masyarakat sipil, lanjutnya, "kepastian data dan informasi yang diinput dalam sistem tersebut bukanlah data yang salah dan menjamin bahwa perusahaan atau komoditas apapun tidak melakukan deforestasi dan telah melakukan uji tuntas dengan baik."
Overlapping dalam Pembentukan Informasi
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menilai Dasbor Nasional berpotensi tumpang tindih dengan berbagai sistem informasi yang sudah ada di sejumlah kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Pertanian, Kehutanan, dan ATR/BPN.
Menurut Achmad, sistem ini juga patut dipertanyakan. Contohnya, SIPERIBUN, yang seharusnya membantu pelaku usaha melakukan self-reporting, justru belum berjalan optimal.
Masyarakat saat ini, kata dia, belum merasakan manfaat nyata dari sistem tersebut. Padahal, jika sistem informasi berjalan baik, pemerintah bisa mengevaluasi perizinan dan hak atas tanah, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap data dan dapat menyelesaikan konflik lahan dari perusahaan yang melebihi konsesi HGU mereka.
Daripada membangun sistem baru, ia menilai pemerintah sebaiknya fokus memperbaiki tata kelola sawit dengan memberdayakan petani swadaya.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat data dan legalitas petani, membentuk kelembagaan petani yang kuat, memperbaiki tata niaga komoditas dengan kemitraan yang adil antara petani dan pabrik, serta mendukung pengembangan pabrik kelapa sawit mini yang dikelola profesional oleh petani swadaya.
Sementara itu, akademisi STHI Jentera, Grahat Nagara menyatakan bahwa sistem informasi seperti Dasbor Nasional harus diawasi ketat agar tidak menjadi celah bagi moral hazard di birokrasi.
Ia menyoroti banyak sistem informasi yang gagal menjadi instrumen tata kelola. Hingga saat ini, tidak ada sistem informasi berbasis ketelusuran yang terbuka untuk publik dan dapat dijadikan dasar uji akuntabilitas.
Kasus ekspor ilegal minyak sawit, menurutnya, adalah contoh nyata bagaimana pemerintah gagal memanfaatkan teknologi untuk mengatasi asimetri informasi.
Grahat menyebut bahwa tugas pemerintah adalah memastikan informasi terbuka luas bagi publik, bukan menutupinya.
Kebijakan seperti SK Sekjen Kementan Nomor 19 Tahun 2022 yang menutup data perizinan dan peta perkebunan justru merugikan masyarakat.
Dengan alasan melindungi kekayaan alam, kata dia, kebijakan ini membatasi akses publik terhadap informasi penting. Padahal, publik yang terdampak kebijakan eksploitasi sumber daya alam semestinya memiliki hak untuk mengetahui informasi tersebut.