PARBOABOA, Jakarta - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali mencuri perhatian publik lewat kebijakan barunya yang tergolong kontroversial dan inovatif.
Ia menggagas sebuah langkah radikal dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan menekan laju pertumbuhan penduduk: vasektomi dijadikan sebagai syarat bagi warga prasejahtera yang ingin menerima bantuan sosial.
Kebijakan ini langsung memicu perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pasalnya, isu yang disentuh tak main-main—kemiskinan, keluarga berencana, hingga tanggung jawab sebagai orang tua.
Gagasan ini menjadi refleksi keberanian pemerintah daerah untuk mengambil pendekatan berbeda dalam menyelesaikan persoalan klasik yang selama ini membelenggu lapisan masyarakat bawah.
Dedi Mulyadi menilai bahwa pengendalian jumlah anggota keluarga dapat menjadi kunci dalam memperbaiki kualitas hidup keluarga miskin. Karena itu, ia menawarkan solusi yang tak lazim: vasektomi, metode kontrasepsi permanen untuk pria.
Lebih dari sekadar syarat, pemerintah juga menyediakan insentif sebesar Rp 500 ribu bagi pria yang bersedia menjalani prosedur ini. Insentif ini merupakan sebuah bentuk dukungan nyata bagi mereka yang ikut serta dalam program ini.
Dalam penjelasannya, Dedi mengungkap realitas yang ia temui di lapangan: banyak warga yang meminta bantuan biaya persalinan hingga puluhan juta rupiah.
“Lahiran itu enggak tanggung-tanggung loh, 25 juta, 15 juta karena rata-rata caesar dan itu rata-rata anak keempat, anak kelima,” ujarnya dalam rapat di Depok, Selasa, (29/04/ 2025).
Dedi menegaskan bahwa setiap orang yang menikah harus mampu menanggung beban ekonomi dari kehamilan, kelahiran, hingga pendidikan anak.
Bila belum siap secara finansial, kata dia, lebih baik menunda memiliki anak. Maka dari itu, ia mendorong KB pria sebagai bentuk tanggung jawab, bukan semata-mata paksaan.
“Saya harapkan suaminya atau ayahnya yang ber-KB, sebagai bentuk tanda tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan,” tegasnya.
Dedi menyebutkan bahwa program vasektomi ini bukan sekadar wacana. Di Bandung, misalnya, kegiatan vasektomi rutin digelar setiap Rabu, dan peserta langsung mendapatkan insentif dari pemerintah provinsi.
“Yang divasektomi dikasih insentif Rp 500 ribu oleh gubernur,” katanya.
Sebagai informasi, vasektomi adalah prosedur kontrasepsi permanen yang tidak memengaruhi hormon pria, gairah seksual, maupun kemampuan ereksi. Pria tetap bisa mencapai orgasme dan ejakulasi, meskipun tanpa sperma.
Gebrakan-Gebrakan Lain
Dedi Mulyadi bukanlah sosok pemimpin yang berjalan di jalur aman. Ia kerap menabrak pakem demi membawa perubahan, bahkan jika harus menuai badai kritik.
Gebrakan-gebrakan yang dilakukannya bukan sekadar pencitraan, tetapi bentuk keberanian mengambil risiko atas nama kepentingan publik.
Salah satu keputusan kontroversialnya adalah pelarangan kegiatan study tour di sekolah. Kebijakan ini muncul setelah kecelakaan bus pelajar menelan korban dan banyaknya keluhan soal biaya mahal yang membebani orang tua.
Meski menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk pengusaha transportasi, sekolah, bahkan pejabat tinggi negara, Dedi tetap teguh pada pendiriannya. Ia menilai keselamatan dan keadilan jauh lebih penting daripada tradisi jalan-jalan tahunan itu.
Tak kalah heboh, ia juga memerintahkan pembongkaran tempat wisata Hibisc Fantasy di kawasan Puncak. Tempat ini dituding sebagai biang kerok banjir akibat kerusakan lingkungan di sekitarnya.
Meskipun pengelola tempat itu sudah mengantongi izin resmi, Dedi tetap membongkarnya tanpa kompromi. Aksi tegasnya langsung mengundang reaksi keras dari berbagai tokoh, termasuk dari Menteri Pariwisata hingga kalangan pengacara.
Menjelang Lebaran 2025, langkah berani kembali ditunjukkan saat Dedi menertibkan delman dan angkutan umum agar tak beroperasi demi mengurai kemacetan.
Sebagai bentuk tanggung jawab, ia mengganti penghasilan mereka dengan uang kompensasi.
Sayangnya, penyaluran dana ini sempat tercoreng oleh ulah oknum yang melakukan pemotongan, membuat niat baiknya nyaris gagal.
Tak tinggal diam terhadap premanisme terselubung, Dedi membentuk Satgas Antipremanisme untuk memberantas pungli dan permintaan THR liar dari oknum LSM serta ormas. Namun, tindakan ini membuat sebagian ormas merasa tersinggung.
Bahkan, GRIB Jaya Jabar terang-terangan menantangnya secara terbuka, merasa nama mereka tercemar.
Dalam upaya menjaga keselamatan pengguna jalan, Dedi juga melarang penggalangan dana di jalan raya—termasuk sumbangan untuk pembangunan masjid.
Meski didasari niat baik, kebijakan ini justru mengundang kritik karena dianggap mengekang aktivitas sosial masyarakat yang sudah mengakar.
Kebijakan lainnya yang juga menimbulkan polemik adalah larangan pelajar membawa motor ke sekolah. Langkah ini diambil untuk menanamkan kedisiplinan dan menjaga keselamatan generasi muda.
Bahkan, Dedi tak segan mengeluarkan siswa yang nekat melanggar. Reaksi masyarakat pun beragam; ada yang memuji keberaniannya, namun tak sedikit pula yang menilai terlalu keras.
Merespons bencana banjir di daerah padat penduduk seperti Bekasi dan Karawang, Dedi menawarkan solusi tak biasa: rumah panggung setinggi 2,5 meter.
Gagasan ini dianggap lebih realistis dan manusiawi dibanding relokasi besar-besaran yang cenderung menyulitkan warga.
Untuk mengurai kemacetan dan membangkitkan kembali sektor pariwisata, Dedi menghidupkan jalur-jalur kereta api lama yang sempat mati suri.
Reaktivasi lintasan Banjar-Pangandaran, Bandung-Ciwidey, hingga Bogor-Sukabumi menjadi simbol kebangkitannya transportasi publik sekaligus membuka peluang ekonomi baru di wilayah-wilayah tersebut.