Anggaran Makan Pejabat Membengkak, Lima Kali Lipat dari Konsumsi Rakyat

Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Foto: Instagram/@smindrawati)

PARBOABOA, Jakarta – Di tengah seruan efisiensi dan tekanan ekonomi rakyat, anggaran konsumsi rapat pejabat negara justru melonjak tajam.

Tak tanggung-tanggung, lima kali lipat dari pengeluaran makan rata-rata masyarakat. Ada apa dengan logika anggaran negara kita?

Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan untuk Tahun Anggaran 2026.

Salah satu yang paling mencolok dari regulasi ini adalah biaya konsumsi rapat pejabat tinggi negara yang mencapai Rp171 ribu per orang untuk satu kali rapat.

Angka tersebut terdiri atas makan siang senilai Rp118 ribu dan kudapan senilai Rp53 ribu.

Biaya ini berlaku khusus untuk rapat koordinasi yang melibatkan menteri, wakil menteri, pejabat eselon I, dan pejabat setara, dengan durasi minimum dua jam, serta harus dilakukan secara luring (offline).

Ketentuan ini sontak menimbulkan perbincangan. Bagaimana tidak? Biaya makan rapat pejabat bisa mencapai lima kali lipat dari pengeluaran makan harian masyarakat biasa, yang menurut data Susenas Maret 2024 hanya sekitar Rp25 ribu per orang per hari.

Bahkan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk siswa hanya dijatah Rp10 ribu per anak.

Sementara itu, standar konsumsi rapat di daerah lain juga menunjukkan disparitas yang besar. Untuk daerah Papua Pegunungan, biaya makan tertinggi ditetapkan Rp93 ribu, sedangkan kudapan di Papua Selatan dan Papua Pegunungan mencapai Rp42 ribu.

Pada kegiatan diklat, angka tertinggi untuk makan adalah Rp74 ribu di Papua Pegunungan, dan kudapan Rp32 ribu.

Kritik Mengalir

Kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang selama ini digaungkan pemerintah.

Manajer Riset FITRA, Badiul Hadi, menyebut angka Rp171 ribu per rapat sebagai “sangat tinggi” dan tidak selaras dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tertekan.

Menurutnya, ketetapan ini tidak hanya membuka celah pemborosan, tapi juga menjadi simbol ketidakpekaan negara terhadap realitas sosial.

Ia menekankan bahwa alokasi makan untuk peserta musyawarah desa saja hanya berkisar Rp20–30 ribu. “Ada jurang yang sangat lebar antara meja makan pejabat dan rakyat,” ujarnya, Rabu (4/6/2025).

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memperingatkan bahwa tahun 2025 akan menjadi masa sulit bagi masyarakat Indonesia.

Lonjakan angka PHK dan melemahnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan penurunan kemampuan konsumsi masyarakat.

Namun, di tengah situasi itu, pemerintah malah menetapkan standar konsumsi rapat yang lebih tinggi. Badiul pun menyarankan agar Kementerian Keuangan meninjau ulang kebijakan ini dan menyusun standar biaya berdasarkan prinsip efisiensi, keadilan sosial, dan kebutuhan nyata.

Sementara, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menegaskan pentingnya pengendalian belanja aparatur dan mengalihkan fokus ke belanja publik yang lebih produktif, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

“Biaya makan rapat seharusnya tidak menjadi stimulan konsumsi internal birokrasi, tapi justru harus dikendalikan untuk memastikan fokus utama negara tetap pada pelayanan kepada rakyat,” pungkas Badiul.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS