PARBOABOA, Jakarta - Gurauan yang terkesan sepele bisa berdampak besar, apalagi jika keluar dari mulut seorang pemimpin.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan imbauan serius kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar berhenti melontarkan candaan seksis, demi menghentikan normalisasi kekerasan verbal yang merendahkan martabat perempuan di ruang publik.
Khususnya dalam pelaksanaan tugas resmi maupun aktivitas keseharian sebagai pejabat publik. Seruan ini muncul usai insiden pada Rabu, 23 Juli lalu.
Saat itu, Dedi Mulyadi tertangkap kamera melempar candaan bernada seksis kepada ibu-ibu penerima bantuan saat mendampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau penanganan kusta di Puskesmas Sirnajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menekankan pentingnya kehati-hatian tutur kata para pejabat publik.
Baginya, pemimpin daerah adalah figur teladan yang ucapannya akan mudah ditiru oleh masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja.
“Kami mengimbau KDM (Kang Dedi Mulyadi) untuk berhenti dan tidak mengulangi candaan dan gurauan seksis yang ditujukan pada tubuh dan pengalaman perempuan,” kata Dahlia ketika di Jakarta, Sabtu, (26/07/2025).
Lebih jauh, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa humor seksis tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Dalam kerangka hukum Indonesia, candaan bernada seksual yang melecehkan atau merendahkan perempuan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Ini artinya, warga yang merasa direndahkan atau dilecehkan dengan gurauan seksis memiliki hak untuk melapor.
“Warga dapat saja melaporkan para pejabat negara yang tidak menjaga moral etisnya dalam menempatkan situasi yang seharusnya memberikan rasa aman, tetapi justru dapat menciptakan stereotipe buruk terhadap perempuan,” ujar Dahlia.
Ia menyoroti bagaimana candaan seksis, meski sering dianggap remeh, justru menanamkan rasa tidak nyaman pada perempuan sekaligus melegitimasi budaya patriarki yang sarat misogini.
Dahlia juga mengingatkan bahwa ucapan seorang pemimpin memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini dan norma sosial.
“Ucapan dan bahasa merupakan medium pikiran, ide, dan perasaan yang merefleksikan nilai-nilai sosial dan budaya serta pandangan seseorang. Candaan atau gurauan seksis justru dapat menjadi medium untuk memelihara pandangan-pandangan dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan,” tegasnya.
Fenomena humor seksis di ruang publik bukan hanya terjadi sekali dua kali. Survei Komnas Perempuan pada 2023 mencatat bahwa pelecehan verbal masih menjadi bentuk kekerasan berbasis gender yang paling banyak diterima perempuan Indonesia, baik di ranah privat maupun publik.
Candaan semacam ini, meski sering dinormalisasi, perlahan merusak rasa aman perempuan dan menormalisasi kekerasan verbal yang melecehkan.