Jakarta, PARBOABOA – Di tengah berbagai tantangan ekonomi global, Indonesia mencatatkan kabar menggembirakan dengan jumlah penduduk miskin kembali menurun pada Maret 2025.
Penurunan ini tidak hanya memperlihatkan hasil kerja keras berbagai program penanganan kemiskinan, tetapi juga menunjukkan tren positif dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.
Hal ini terungkapa melalui Badan Pusat Statistik (BPS) dengan merilis data terbaru yang menunjukkan bahwa pada Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 23,85 juta orang.
Angka ini menurun sekitar 200.000 orang dibandingkan September 2024, menandai penurunan konsisten dalam beberapa tahun terakhir.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa persentase penduduk miskin terhadap total populasi nasional juga mengalami penurunan.
Pada Maret 2025, angka kemiskinan Indonesia tercatat di level 8,47%, turun tipis 0,10% dari posisi September 2024 yang masih berada di angka 8,57%.
Angka Kemiskinan dalam Lima Tahun Terakhir
Ateng menyoroti bahwa tren penurunan angka kemiskinan sejak 2020 patut diapresiasi. Pada puncak pandemi COVID-19, tepatnya September 2020, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta orang atau sekitar 10,19% dari populasi nasional.
Perlahan, angka tersebut mulai bergerak turun: pada Maret 2021 tercatat 27,54 juta orang (10,14%), September 2021 turun menjadi 26,50 juta orang (9,71%), dan Maret 2022 kembali berkurang menjadi 26,16 juta orang (9,54%).
Namun, laju penurunan sempat terhenti pada September 2022, ketika angka kemiskinan sedikit naik menjadi 26,36 juta orang (9,57%).
Beruntung, tren penurunan berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Maret 2023 angka kemiskinan menurun ke 25,90 juta orang (9,36%), Maret 2024 menjadi 25,22 juta orang (9,03%), September 2024 turun lagi menjadi 24,06 juta orang (8,57%), hingga akhirnya Maret 2025 mencapai titik terendah pascapandemi, yakni 23,85 juta orang (8,47%).
Pencatatan angka kemiskinan ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), sebuah survei besar yang rutin dilakukan BPS dua kali setahun pada Maret dan September.
Untuk Susenas Maret 2025, pendataan dilaksanakan pada Februari 2025. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias data akibat pola konsumsi rumah tangga yang berubah selama bulan Ramadan.
Pada periode ini, BPS berhasil mengumpulkan data dari 345.000 rumah tangga di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Hasil Susenas bukan hanya memotret kondisi kemiskinan, tetapi juga menghasilkan indikator penting lainnya seperti tingkat kemiskinan ekstrem, rasio gini, hingga indeks modal manusia, yang menjadi tolok ukur penting bagi arah kebijakan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025–2029.
Walau tren penurunan angka kemiskinan layak disambut baik, pemerintah diingatkan untuk tidak lengah.
Tantangan global seperti potensi resesi, perubahan iklim, dan ketidakpastian harga pangan bisa memengaruhi capaian ini.
Menurut World Bank, Indonesia termasuk negara dengan ketimpangan pendapatan menengah: rasio gini per Maret 2025 tercatat 0,375, menurun tipis dari 0,380 pada 2024.
Pemerintah pun didorong untuk terus memperkuat jaring pengaman sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat berpendapatan rendah, agar penurunan angka kemiskinan dapat dipertahankan bahkan diturunkan lebih drastis.
Turunnya angka kemiskinan Indonesia patut menjadi semangat baru untuk mewujudkan target Indonesia Emas 2045: masyarakat sejahtera, ketimpangan rendah, dan kualitas hidup yang lebih baik bagi semua warga.