PARBOABOA, Jakarta - Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, memiliki 16,8 juta hektar perkebunan sawit.
Industri ini menjadi pilar ekonomi dengan kontribusi ekspor sebesar US$ 37,76 miliar pada 2022 dan US$ 29,54 miliar pada 2023.
Meski luas lahan sudah besar, ekspansi tetap berlangsung untuk memenuhi permintaan global dan mendukung Program Biodiesel dalam negeri.
Apalagi, dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya swasembada pangan dan energi, dengan salah satu upayanya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel.
Adapun pengembangan biodiesel B40 hingga B50 yang saat ini tengah dirancang untuk mendukung program tersebut di atas, membutuhkan tambahan perluasan lahan perkebunan sawit.
Peneliti Lokahita, Jesika Taradini meminta agar rencana perluasan ini dipertimbangkan kembali karena perkebunan sawit yang ada sekarang sudah over kapasitas.
Mangacu pada penelitiannya, ia menyoroti kondisi perkebunan sawit di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua, telah melampaui batas yang seharusnya.
"Melihat fakta bahwa sawit di 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah melewati ambang batas," kata Jesika dalam keterangan pers belum lama ini.
Karena itu, alih-alih membuka perkebunan baru fokus seharusnya, kata dia, mesti dialihkan pada pemulihan kondisi lingkungan di wilayah-wilayah tersebut.
Ia menambahkan, di tingkat nasional, kebutuhan minyak sawit masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terpenuhi dengan luas perkebunan yang ada saat ini.
Penambahan lahan sawit baru, tegasnya hanya cenderung menguntungkan pelaku usaha besar, sementara dampaknya terhadap masyarakat dan pendapatan negara sangat terbatas.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, perluasan perkebunan sawit menciptakan potensi besar terjadinya "deforestasi" dan "mengancam eksistensi lahan sumber pangan."
Penelitian yang dilakukan oleh Dyah Wulan Sari dan tim dari Universitas Airlangga pada 2021 menunjukkan bahwa perluasan lahan kelapa sawit memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, terutama terkait deforestasi.
Penelitian itu mencatat, kehilangan hutan hujan di Indonesia sejak 1990 hingga 2015 mencapai sekitar 25 persen, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan sawit.
Deforestasi ini berimbas pada berkurangnya keanekaragaman hayati dan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Bahkan beberapa spesies asli Asia, seperti orangutan, harimau Sumatera, gajah, dan beruang madu, mengalami tekanan populasi yang serius akibat hilangnya habitat.
Sementara itu, praktik pembukaan lahan dengan cara membakar hutan memperparah masalah dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Pembakaran lahan, terutama lahan gambut, menciptakan kabut asap yang menyebar ke seluruh Asia Tenggara, mengancam kesehatan pernapasan masyarakat di wilayah tersebut.
Dyah juga menulis, meskipun area perkebunan kelapa sawit terus bertambah setiap tahun, produktivitas per hektar di Indonesia masih di bawah Malaysia.
Data menunjukkan rata-rata produktivitas di Indonesia hanya mencapai 17 ton per hektar, sedangkan Malaysia mampu menghasilkan 21 ton per hektar.
Dari hasil penelitian lapangan di Sumatera dan Kalimantan, perkebunan petani kecil di Indonesia menghasilkan sekitar 11 ton per hektar, sementara sektor swasta mampu mencapai 30 ton per hektar.
Moratorium
Achmad Surambo mengusulkan, daripada memperluas lahan perkebunan sawit, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kebijakan moratorium.
Apalgai, hasil kajian ekonomi dan analisis ambang batas menunjukkan bahwa penghentian pemberian izin baru untuk perkebunan sawit menjadi sangat mendesak.
Dengan menerapkan moratorium, kata dia, ekspansi sawit yang tak terkendali dapat dihentikan, sehingga membuka jalan bagi praktik yang lebih berkelanjutan, serta memastikan pengelolaan yang adil dan transparan yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Surambo menekankan pentingnya upaya peremajaan atau replanting terhadap perkebunan sawit yang sudah ada. Ia percaya bahwa kombinasi antara penghentian izin baru dan peremajaan lahan dapat membawa dampak positif bagi perekonomian.
Dengan luas lahan sawit yang telah mendekati ambang batas, langkah ini dianggap sebagai solusi yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara perkembangan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Nailul Huda, ekonom dari Center of Economics and Law Studies (Celios), juga menilai bahwa kebijakan moratorium sawit dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan, terutama jika dikombinasikan dengan program replanting.
Menurutnya, implementasi kebijakan tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan output ekonomi senilai Rp 28,9 triliun, menambah produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 28,2 triliun, serta meningkatkan pendapatan masyarakat hingga Rp 28 triliun.
Selain itu, surplus usaha bisa mencapai Rp 16,6 triliun, penerimaan pajak bersih sebesar Rp 165 miliar, ekspor senilai Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 761.000 orang.
Dibandingkan dengan kondisi tanpa moratorium, yang justru berdampak negatif pada berbagai aspek, kebijakan ini, tegasnya, dianggap sangat penting untuk diadopsi.
Sementara itu, Senior Campaigner dari Kaoem Telapak, Olvy Tumbelaka mengatakan, Indonesia perlu menghidupkan kembali moratorium perizinan baru kelapa sawit yang lebih kuat dari kebijakan sebelumnya, yakni Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018.
Ada beberapa alasan utama di balik pentingnya moratorium tersebut. Pertama, untuk melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah-wilayah kritis seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua dari ancaman deforestasi.
Kedua, memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh pasar internasional, seperti regulasi anti-deforestasi yang diberlakukan oleh Uni Eropa, Inggris, dan China.
Ketiga, kebijakan ini diperlukan untuk melindungi kesejahteraan petani kecil, masyarakat lokal, dan komunitas adat melalui tata kelola perkebunan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Pembatasan ekspansi perkebunan sawit sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2019 mengenai Penundaan Izin dan Evaluasi Perkebunan Sawit, yang lebih dikenal sebagai Moratorium Sawit.
Namun, implementasi kebijakan ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Karena itu, koalisi Moratorium Sawit menekankan, kebijakan ini harus didukung dengan analisis ekonomi dan lingkungan yang menyeluruh, termasuk penilaian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).
Langkah ini penting untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi yang diusung oleh industri sawit dan perlindungan lingkungan agar tetap berkelanjutan.
Editor: Gregorius Agung