PARBOABOA, Jakarta - Kesulitan mengakses air bersih kerap dirasakan warga di Kelurahan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Bahkan warga di pesisir utara Jakarta itu terbiasa hidup puluhan tahun tanpa kepastian air bersih.
Mereka juga tidak bisa memanfaatkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari mereka karena kondisinya yang bercampur dengan air laut. Akses air bersih warga satu-satunya hanya mengandalkan pasokan air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu pun bagi warga yang berlangganan saja.
Meskipun berlangganan, namun pasokan air dari PAM Jaya tak selalu lancar, bahkan lebih sering bermasalah atau mati, terutama tahun lalu.
Salah satunya yang terjadi di rumah Ratih, warga RW 17 Muara Baru. Ratih selalu mengeluhkan air PAM di rumahnya kerap mati.
“Pernah sampai tiga hari berturut-turut nggak keluar air,” ujar Ratih kepada Parboaboa, Selasa (18/7/2023).
Jika air tidak mengalir berhari-hari, pihak PAM Jaya menerjunkan truk tangki berisi air ke pemukiman warga dan biasanya, ia dan warga lainnya berebut mendapatkan air dari truk tangki tersebut. Bahkan kadang, Ratih terpaksa membeli air bersih di agen dengan harga Rp6 ribu untuk dua jeriken besar berukuran 30 liter.
“Enggak semua warga kebagian, itu kan siapa cepat dia dapat ya. Berebutan ngambilnya. Kalau geraknya cepat ya dapat banyak, kalau lambat ya udah enggak bakal dapat air,” ungkap Ratih.
Persoalan air bersih di Kelurahan Muara Baru, Jakarta Utara tak sampai di situ. Warga juga harus rela bergadang untuk menampung air karena air mengalir tak menentu. Kadang baru keluar pada siang hingga malam hari. Jika air mengalir, Ratih segera menampungnya di drum besar untuk persediaan kalau air di rumahnya tiba-tiba mati.
“Dari jam 5 subuh sampai jam 8 enggak ngalir sama sekali. Udah tiga hari nih kayak gitu. Kadang harus bergadang buat menunggu air,” ungkapnya.
Ratih juga menyebut air PAM tak bisa diminum, karena berbau lumpur dan kaporit. Ia pun hanya menggunakan air PAM untuk mandi, mencuci, kakus dan sesekali membilas sayur-mayur.
Tidak hanya itu, Ratih juga harus membeli air galon isi ulang seharga Rp5 ribu untuk minum dan kebutuhan masak air serta mencuci sayur.
Kondisi yang sama juga dialami Watiyah, warga Muara Baru lainnya. Bahkan, Watiyah mengaku telah merasakan kelangkaan air bersih sejak 2005. Sejak itu, air PAM di rumahnya sering mati.
“Pas zaman Pak SBY, tahun 2007-an itu mati sebulan, dua minggu, dan seminggu. Nanti bulan berikutnya nyala lagi, nanti mati lagi ya gitu dah kayak buat mainan,” ujarnya kepada Parboaboa.
Watiyah bahkan harus rela bergadang menunggu air mengalir karena biasanya mengalir pada malam hari. Itupun kadang hanya 20 menit, kemudian berhenti lagi.
Meski terus menerus mengalami kondisi seperti itu, Watiyah dan warga lainnya pelanggan PAM Jaya tetap harus membayar biaya langganan air mereka.
“Air mati itu kita tetap bayar loh. Bayar per bulan, tergantung pemakaian. Kalau keluarganya sedikit ya dikit bayarnya. Kalo saya sih bayar Rp150 ribu buat pemakaian 6 orang,” ucapnya.
Watiyah mengaku tak mengerti mengapa air di daerahnya sering mati, padahal mereka pelanggan PAM Jaya.
“Katanya alasannya, ada kebocoran pipa di mana gitu. Entar alasannya, ada yang digali, perbaikan di mana gitu, alasannya ya gitu ada perbaikanlah, pipa pecahlah,” jelasnya.
Bahkan, kata Watiyah, warga Muara Baru pernah melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Pusat PAM Jaya karena geram air kerap tak mengalir ke pemukiman warga, padahal mereka rutin membayar. Keluhan minimnya akses ke air bersih juga disuarakan warga Muara Baru kepada setiap pemimpin baru yang terpilih, seperti Gubernur dan Presiden.
“Kita dulu sering demo ke kantor pusat PAM Jaya. Siapapun presidennya kita menuntut ya ketersediaan air bersih,” tegas Watiyah.
Beruntung, sepanjang 2023 ini air mengalir dan belum pernah tidak mengalir seperti tahun sebelumnya, imbuh Watiyah.
Air Bersih Jadi Persoalan Serius Warga Jakarta
Ketersediaan air bersih memang menjadi persoalan serius warga Ibu Kota, terutama bagi mereka yang tinggal di pesisir utara Jakarta.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut, 80 persen air tanah di wilayah Jakarta tidak memenuhi standar Menteri Kesehatan Nomor 492 tahun 2010 tentang persyaratan kualitas air minum.
Apalagi di Jakarta bagian utara merupakan wilayah terparah di mana air tanahnya mengandung unsur besi dengan kadar tinggi serta kandungan natrium, klorida, Total Disolve Solid (TDS) dan Daya Hantar Listrik (DHL) akibat adanya pengaruh intrusi air asin.
Dampaknya, hanya 15 persen warga Jakarta yang bisa mengakses air bersih sebagai air minum setiap harinya. Sementara 85 persen warga kesulitan mengakses air bersih.
Padahal di 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat bahwa air bersih adalah hak asasi manusia dan menjadi kewajiban pemerintah.
“Setiap negara bertanggung jawab menyediakan air bersih untuk minum maupun sanitasi kepada semua warga mereka. Tanpa air maka hak asasi manusia lainnya tak bisa dijalankan,” bunyi Pasal I.1 keputusan PBB terkait akses air bersih di 2002.