Fotografer Sport yang menjadi Pembesar Media

Lukman Setiawan dan hasil jepretannya. (Foto: Ed Zulverdi, Mat Kodak)

Tulisan-1

PARBOABOA - Tiba-tiba saja ia muncul pada Sabtu siang itu. Kasual penampakannya: berkaus oblong, bercelana training, dan bersepatu kets. Tas kain berisi barang diselempangkannya. Kemerahan wajahnya lebih nyata dari yang biasa.

“Halo, Pak..Seger banget kelihatannya. Kapan pulang dari Amerika,” Hilda Sabri menyapa. Pengampu rubrik pariwisata yang kalau bicara selalu tanpa tedeng aling-aling itu berdiri dan menjabat tangan.

“Kemarin. Saya kangen sama kalian sehingga langsung ke sini tadi,” jawab bos kami, Lukman Setiawan, sembari tersenyum.

Setelah disalami yang lain, Pak Lukman (begitu kami menyebutnya) lantas menjambangi meja yang satu dan yang lain. “Sedang menulis apa” itu kalimat yang selalu diucapkannya sebelum memelototi layar personal computer (PC). Seperti biasa, ia selalu menyimak dengan saksama saat yang bertanya menerangkan. Ada kalanya ia menimpali atau melontarkan ide.

Saat mendekati diriku, isi tas kain dikeluarkan dan ditaruhnya di mejaku. Meski tak pernah membeli, Harper’s Bazaar, ElleVogue, Cosmopolitan, dan yang serba tebal itu tak asing bagiku. Di toko buku besar ada kalanya halamannya kubalik-balik.

“Has, coba you perhatikan apa yang menarik di sini,” ucapnya sembari menunjuk majalah.

Cover-nya bagus. Disain grafisnya kuat. Modelnya serba seksi. Dan, iklannya banyak,” kataku seusai memeriksa.

“Betul. Tapi apa lagi yang hebat? Lihat lagi dong...”

Kali ini kuperhatikan dengan lebih saksama.

“Wangi. Aroma parfum ada di sana-sini.”

You jeli. Saya senang. Sekarang you coba pikir bagaimana cara membuat majalah wangi seperti ini. Seharusnya kita bisa. Kita kan punya Temprint [percetakan]...”

Di paruh pertama 1990-an itu di Indonesia sudah ada Femina, Kartini, Sarinah, Mode, dan yang lain. Halaman-halamannya bau kertas dan tinta belaka; tiada aroma parfum meski iklannya ada juga termaktub di sana.

“Pikirkan, ya. Kita mesti terus berkreasi dan berinovasi,” ucapnya saat pamit dari lantai 6 Gedung Bisnis Indonesia (kini menjadi Wisma Slipi) yang hari itu berpenghunikan kami awak redaksi Bisnis Indonesia Minggu (BIM) saja. Kru harian sedang libur dan baru masuk esoknya.

Pernah juga kupikirkan permintaan Pak Lukman itu. Kukira, itu tak sulit. Semprotkan saja halaman iklan dengan parfum yang akan dipromosikan di sana. Lantas, lapisi dengan bahan khusus. Tapi, itu tak pernah ditanyakannya lagi dan pula tak pernah kusampaikan. Alhasil, sebentar saja gagasan itu sudah menjauh dari jagat ingatanku.

Selain pikiran yang bercabang-cabang, minat yang kurang pada bisnislah penyebabnya. Meski sedari bocah telah terbiasa berjualan minyak (BBM) di Parapat yang berbibirkan Danau Toba, entah mengapa diri ini tetap saja tak meminati dunia dagang.

Adapun Pak Lukman, menurutku, dia lain. Kendati berlatar jurnalis—fotografer olah raga dan penulis cekatan yang sebelumnya berkarir di Kompas dan majalah Tempo—dia visioner dan punya naluri bisnis yang tajam. Kami orang redaksi terkadang tak mampu mengimbangi kembara pikirannya terlebih yang berdimensi cuan.

Data Bisnis

Mendirikan sebuah unit bisnis berbasis data di lingkungan Bisnis Indonesia merupakan gagasan Lukman Setiawan. Seperti yang pernah dikisahkannya ke diriku, dialah yang meyakinkan dan membawa pulang Alexander Irwan (Alex) dari AS ke Indonesia setelah anak muda itu mendoktor.

Alex yang merupakan mahasiswa sosiologi, bersama temannya sesama fungsionaris Senat di Fakultas ilmu-ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia—Rafendi Djamin, Widi Krastawan, dan Verdi Jusuf—dipecat oleh Rektor Mahar Mahardjono karena menghadirkan sastrawan utama Pramoedya Ananta Toer dalam diskusi di kampus mereka di Rawamangun pada 25 September 1981.

Lelaki Tionghoa berpembawaan lembut itu kemudian berpaling ke negeri Paman Sam. Rafendi Djamin sendiri pergi ke Belanda dan pulang sebagai pegiat demokrasi-HAM terkemuka. Adapun Widi Krastawan, kelak ia menjadi pembesar di lingkungan Kompas-Gramedia Grup (KKG). 

Di Bisnis Indonesia Alexander Irwan ditugasi Pak Lukman membangun data base bisnis. Dari sana diharapkan akan lahir puspa produk yang bisa digunakan sendiri serta dikomodifikasi. Data bisnis yang dibutuhkan industri, analisis, profil perusahaan, direktori, buku, dan peringkat korporasi per sektor yang diterbitkan secara periodik, antara lain yang bisa dikomersialkan.
hilda sabri

Hilda Sabri dan Lukman Setiawan di masa senja. (Foto: koleksi Hilda Sabri).

Seperti yang pernah diungkapkannya kepada diriku, yang diharapkan Pak Lukman adalah out put yang lebih kaya dan hebat dari yang dihasilkan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) milik sahabatnya, Christianto Wibisono.

Sesuatu yang sangat mungkin sebenarnya karena Bisnis Indonesia yang merupakan media massa terkemuka di zaman itu memiliki data bisnis serta jaringan narasumber yang luar biasa. Lagi pula, saingannya hampir tidak ada. Pemain data bisnis di masa itu cuma dua yakni PDBI dan CISI-nya Wilson Nababan.

Di lantai 6 yang dihuni awak redaksi, Alex diberi ruangan khusus yang terbilang wah. Tentu ada pertimbangan khusus sehingga ia tak ditaruh di lantai 5 yang merupakan habitat unsur non-redaksi Bisnis Indonesia.

Entah mengapa proyek Alexander Irwan tak berjalan seperti yang diharapkan Pak Lukman. Hasilnya bahkan terlalu minim. Tampaknya ia kurang mendapat dukungan dari redaksi. Kecuali jurnalis muda bernama Yosef Ardi, waktu itu kami umumnya belum bisa membayangkan bahwa data yang diolah bisa menjadi sumber uang-besar. 

Alex yang berlatar aktivis mahasiswa itu kemudian berpaling ke dunia NGO dan berkibar di sana. Berkarir di Ford Foundation Indonesia sejak 2006, ia kini menjadi regional director di lembaga donor tersebut.

Pak Lukman yang merupakan salah satu pendiri majalah Tempo (1971) dan koran Bisnis Indonesia (14 Desember 1985) juga motor utama, kalau bukan pencetus, Indonesia Business Weekly (IBW). Majalah berbahasa Inggris ini merupakan anak usaha yang juga kurang didukung oleh kami awak Bisnis Indonesia.

Berkantor di lantai 5 Gedung Bisnis Indonesia, redaktur pelaksana IBW adalah Taufik Darusman. Abang musisi Chandra Darusman dan adik politisi Marzuki Darusman ini tadinya redaktur di Media Indonesia.

Reporternya termasuk Savitri Setiawan (Vivi; putri Pak Lukman yang menjadi jurnalis sepulang bersekolah di AS), Rin Hindryati, Her Suharyanto, Winfred Hutabarat, dan Thomas Djiwandono (Tommy, kini menjadi Wakil Menteri Keuangan).

Tak sempat besar terbitan yang dipimpin Pak Lukman ini saat ditutup tahun 1996. Usianya cuma 4 tahun.

Mien Uno dan La Rose

Di suatu Sabtu siang yang lain Pak Lukman mendatangi mejaku. Seusai bertanya sedang menulis apa, ia menyoal sesuatu yang tak pernah kupikirkan. Tentu bukan ihwal ide membuat majalah wangi.

“Has, you ada apa masalah apa dengan Bu La Rose dan Bu Mien Uno?”

Begitu kukatakan tidak ada masalah apa-apa, ia langsung masuk ke inti masalah. “Kalau begitu kenapa you nggak mau menurunkan tulisan mereka? Turunkanlah...”

Sebelumnya, dari beberapa sejawat di Bisnis Indonesia Minggu (senior: Hilda Sabri dan Mardiana Noerdjali alias Mamay) sudah kudengar permintaan senada. Pula, salam dan permintaan untuk bertemu dari kedua kolumnis tersohor.

“Bu Mien Uno dan Bu La Rose menghubungi Pak Lukman?”

“Betul. Mereka kan kenalan lama.”

Kujelaskan sebab apa tulisan-tulisan sang novelis (La Rose) dan sang pakar kepribadian yang merupakan pengajar di John Robert Power, Jakarta (Mien Uno) tak satu pun yang kuturunkan. “Temanya nggak ada yang baru. Lagi pula, teknik menulisnya payah. Padahal, mereka penulis tersohor. Saya masih menunggu tulisan mereka yang bagus.”

Penjelasanku rupanya berterima di benaknya.

“Kalau topiknya basi memang berat. Kalau masalahnya cuma di penulisan masih lumayan. Tinggal you edit aja. Tapi mengherankan juga ya....mereka kan penulis terkenal.”

Kukira urusan artikel tamu ini sudah klar. Ternyata, pada Sabtu siang yang lain Pak Lukman datang lagi untuk menyoal hal yang sama. 

“Saya dihubungi lagi oleh Bu La Rose dan Bu Mien Uno. Katanya, tulisannya belum ada yang turun juga.”

Sebaik kukatakan artikel mereka belum ada yang kuat, nada suaranya menjadi tak sabar. “Mereka orang terkenal dan peminatnya banyak. Editlah biar menarik. Mereka aset penting kita.”

Sewaktu kuucapkan berat menyuntingnya, ia pun menawarkan jalan keluar. “Kalau begitu jangan you lagi yang menangani tulisan mereka. Orang lain saja.”

Sangat setuju aku. 

Begitulah: sejak minggu depannya tulisan La Rose (nama aslinya Jenny Mercelina Laloan: 22 Desember 1932 – 22 November 2003) dan Mien Uno (nama aslinya dan Mien Uno, ia ibunda Sandiago Uno) rutin lagi hadir di Bisnis Indonesia Minggu. Tak lama berselang, aku sendiri ditarik kembali ke edisi harian. Bagiku itu solusi yang mengenakkan semua.

Kudeta Pemred

Hubunganku sendiri dengan Pak Lukman baik-baik belaka setelah diriku pindah dari Bisnis Indonesia Minggu. Hanya saja kami menjadi sangat jarang berinteraksi sebelum sebuah gejolak terjadi.

alumni bisnis indonesia

Alumni Bisnis Indonesia bercengkrama dalam reuni akbar 2024. (Foto: Rahmi Hidayati)

Suatu waktu bos Sahid Grup, Sukamdani Sahid Gitosardjono (Pak Kamdani), melepaskan jabatan pemimpin redaksi Bisnis Indonesia yang dipegangnya sejak 1987. Ia menggantikan Amir Daud, wartakan kawakan (pernah bekerja di majalah TIME) yang tak selalu sudi berkompromi dengan owner.

Pengganti Pak Kamdani adalah satu dari dua wakil Pemred. Sosok yang baru berpromosi itu ternyata lekas tak disukai oleh para karyawan sebab bakat otoriternya langsung mencuat. “Tak pecat you nanti” itu kalimat kesukaannya sebaik menjadi orang nomor satu di redaksi.

Kami yang seangkatan dan menamai diri ‘Majelis Reboan’ (karena saban Rabu malam senang kelayapan ke tempat hiburan) pun menyahuti keadaan.

Setelah mempelajari aspirasi kawan-kawan yang kian resah-gelisah, kami—Muhaimin, Bambang Natur Rahadi, Ahmad Jauhar, Meirizal, Toto Imam Suparto, Santoso, Karyanto, dan yang lain—pun melangsungkan ‘rapat-rapat gelap’ di luar kantor. Buahnya adalah draf mosi tak percaya terhadap Pemred baru. Tanda tangan mulai kami himpun.

Rupanya, Pak Lukman mengendus gerakan ini. Tiba-tiba saya ia mengundangku makan siang di luar kantor. Undangan kupenuhi setelah bertukar pikiran dengan sejawat di Majelis Reboan.

Dalam pertemuan di sebuah restoran Tionghoa di bilangan Jl. Latumeten itu ia menggali informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi. Semua kuceritakan apa adanya. Hasil pertemuan itu kulaporkan kemudian ke kawan-kawan. Koordinasi dengan mereka selalu kulakukan.

Di luar dugaan kami, gerakan ini rupanya didukung dan dikobarkan juga oleh para senior. Alhasil, sebagian besar karyawan (redaksi dan non-redaksi) PT Jurnalindo Aksara Grafika yang merupakan penerbit Bisnis Indonesia membubuhkan tanda tangan di lembar pernyataan yang menuntut penggantian Pemred.

Pak Lukman kembali mengajakku makan pada sebuah siang yang lain. Dengan restu Majelis Reboan, aku kembali bermuka-muka dengan dia tapi di restoran yang berbeda. Ia menanyakan perkembangan terkini. Kembali aku berkisah apa adanya.

“Kalau kalian menolak Pemred sekarang lalu siapa gantinya?” ucap dia sambil bersantap.

Begitu kubilang “Pak Banjar” (Banjar Chaeruddin), ia seperti tersedak. Sendok diletakkannya.

“Tapi, owner kita nggak suka Mas Banjar...”

“Harus Pak Banjar! Nggak boleh orang lain. Itu asprasi kami semua.”

Kesepakatan kami di Majelis Reboan memang demikian. Pak Banjar sendiri sudah kami hubungi sebelumnya. Mantan redaktur pelaksana yang jago menembus sumber dan pandai memimpin tersebut sudah beberapa lama digeser dari redaksi ke perusahaan karena ‘sulit diatur’ oleh owner. Berkantor di lantai 5, ia sedang disekolahkan di program MBA Prasetya Mulya, Jakarta.

pendiri majalah tempo

Pendiri majalah Tempo yang menjadi pewarta dari negeri orang. (Foto: Tempo edisi Nomor Perkenalan)

Awalnya Pak Banjar ragu saat kami minta untuk menjadi Pemred pengganti. “Saya kan nggak disukai pemilik,” begitu alasannya. Tapi, begitu kami tegaskan bahwa hanya dia yang kami maui, ia pun berujar, “Kalau begitu, saya ikut apa kata kawan-kawan saja.”

Pak Lukman masih berusaha menawar. “Di kantong saya sebenarnya sudah ada beberapa nama. Ashadi Siregar termasuk.”

“Nggak bisa, harus Pak Banjar.”

“Kalau bos-bos kita nggak setuju?”

“Karyawan akan mogok!”

“Jangan begitu doong...”

Sendok-garpu diletakkannya.

“Begitu keputusan kami.”

Semua ucapanku itu memang merupakan hasil kesepakatan di Majelis Reboan. Tak ada yang kutambahi atau kukurangi.

“Terima kasih karena sudah mau berbagi informasi. Nanti aspirasi kalian ini akan saya sampaikan ke pimpinan kita.”

Lelaki bertubuh tinggi, agak gemuk, rambutnya sudah mulai keperakan dan oleh kawan-kawan lamanya dikenal sebagai ‘Aluk’ berpengaruh besar.

Berjabatan wakil pemimpin umum, dalam keseharian dialah yang menjembatani karyawan dengan pemilik Bisnis Indonesia—Ciputra, Anthony Salim, Sukamdani Sahid Gitosardjono—yang muncul hanya pada saat-saat penting atau genting. Berindukkan PT Jurnalindo Grafika Aksara, surat kabar ini lahir pada 14 Desember 1985 sebagai sinergi tiga konglomerat terkemuka.

Mosi tak percaya kami ternyata diterima oleh para pemilik Bisnis Indonesia. Pemred diberhentikan. Penggantinya adalah Banjar Chaeruddin. Tentu saja kami para peneken mosi girang karena seorang pimpinan baru yang ternyata sangat berbakat menjadi tiran telah tumbang.

Tak lama berselang, diriku sendiri digusur dari redaksi Bisnis Indonesia. Begitu dipecat oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya lewat SK yang diteken Tarman Azzam (Ketua) dan Marah Sakti Siregar (Wakil Sekretaris) pada 17 Maret 1995, kami ber-13 yang merupakan deklarator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) —Happy Sulystiadi, Ardian T Gesuri, Diah Purnomowati, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Budiman S Hartoyo, Toriq Hadad, Jopie Hidayat, Moebanoe Moera, Eros Djarot, Satrio Arismunandar, Josep Adi Prasetyo (Stanley), dan P. Hasudungan Sirait—tidak boleh lagi bekerja di redaksi mana pun. 

Sehari setelah berita pemecatan muncul di media massa, aku digusur dari redaksi ke Litbang tanpa pekerjaan yang jelas.

Hanya beberapa bulan bertahan, akhirnya aku mengundurkan diri dari Bisnis Indonesia. Setelah mendapat pesangon (Rp 20 juta), aku pamit secara khusus ke Pak Lukman. Soalnya, bagiku ia sosok yang istimewa.

Dialah orang Bisnis Indonesia pertama yang kukenal. Pasalnya, ia yang datang ke Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y, berdiri tahun 1977), di Sekip, Blimbing Sari, Yogyakarta, pada 1989 saat kami berlima diterima di sana sebagai peserta pendidikan 6 bulan yang dibiayai koran bisnis terkemuka tersebut. 

Entah mengapa, akulah yang diajaknya hari itu naik becak dari LP3Y ke kampus UGM di Bulak Sumur. Duduk bersebelahan sambil bercakap di kendaraan yang dikayuh, awalnya membuat diri ini rikuh. Namun, kehangatannya yang alami sontak meluruhkan segala.

Setelah menjadi wartawan Bisnis Indonesia, tetap kurasakan juga perhatian yang diberikannya ke aku, jenis manusia pemberontak.

“Saya sedih sebenarnya karena you harus keluar sekarang. Tapi, you sudah memilih dan itu saya hargai. Kalau masih di media, kontak-kontak, ya...juga kalau perlu sesuatu.

Dunia wartawan kita itu sempit. Kita masih akan saling bertemu,” demikian pesannya saat kami berjabat tangan di saat perpisahan.

Terharu aku karena ia masih saja hangat dan kebapakan.

Sejuta Rupiah

Sebaik pindah ke koran Neraca yang dinakhodai Masmimar Mangiang, praktis aku tak pernah berinteraksi lagi dengan satu pun orang Bisnis Indonesia. Begitu juga setelah berpaling ke D&R (majalah yang diawaki orang-orang Tempo) tak lama setelah Peristiwa 27 Juni 1996. Sesungguhnya, sama sekali tiada rasa sakit hatiku.

Soalnya, aku tahu betul bahwa sebagian besar awak Bisnis Indonesia menyayangi diriku sejak kami masih berkantor di sebuah rumah lawas di Kramat V (dekat ‘Kremlin’ yang merupakan tempat penyekapan musuh-musuh Orde Baru) hingga pindah ke sebuah gedung megah yang terletak persis di seberang Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

karangan bunga

Karangan bunga untuk Lukman Setiawan. (Foto: Banjar Chaeruddin)

Pula, kutahu bahwa persis bahwa Pak Banjar Chaeruddin menggusurku ke Litbang karena keterpaksaan semata. Sebelumnya, dalam pertemuan enam mata atau empat mata ia beberapa kali memintaku tiarap kalau memang tak bisa mundur dari AJI. Itu kutolak.

Terakhir, ia meminta diriku membuat surat pernyataan tertulis yang isinya tidak bergiat lagi di AJI. Itu juga kutampik karena diri ini malah sedang aktif betul karena berposisi sebagai ketua divisi program. Penolakan itu ternyata membuat dirinya terjepit. Rekomendasi untuknya sebagai Pemred digantung terus oleh PWI (Jaya dan Pusat) dan Departemen Penerangan. Tanpa surat itu ia tak akan bisa menjalankan tugas secara penuh.

Setelah bertahun-tahun putus kontak, tiba-tiba Pak Lukman dan istri muncul di rumah kami di Bogor pada satu pagi menjelang siang. Naik sedan Honda biru, pasangan itu datang untuk melongok anak pertama kami yang baru saja lahir: Kei. Tentu saja diri ini sangat surprised dan terharu. Apa lagi setelah sosok yang kuhormati itu memberi angpau sejuta rupiah.

Saat itu ia minta maaf karena tak bisa datang ke pesta perkawinan kami di Gedung Balivet (balai penelitian penyakit ternak), Bogor, pada Maret 2003. Rin Hindryati (istriku) dan diriku memang bekas anak buahnya.

Sesudah kunjungan mendadak ke rumah kami itu, aku masih akan bertemu lagi pada beberapa kesempatan dengan Pak Lukman. Termasuk di Rukun Senior Living, Kawasan Dharmawan Park, Sentul.

Saat ini diriku mengajar di kelas Writer Camp di ruang yang persis di sebelahnya. Ia sendiri sedang menjajaki untuk menjadi penghuni di panti jompo khusus untuk kalangan orang berada tersebut. 

Bersambung...

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS