PARBOABOA - Penggulingan Soekarno setelah peristiwa 30 September 1965 menandai perubahan mendasar peta bumi intelijen di negeri ini. Berbeda dengan Soekarno, Soeharto – jenderal yang sebenarnya tak punya latar belakang intelijen – sejak awal sangat menyadari nilai penting intelijen sebagai instrumen. Selama 32 tahun memerintah, Soeharto menjadikan intelijen sebagai salah satu pilar utama kekuasaannya.
Pada pertengahan 1970-an, seperti ditulis David Jenkins dalam bukunya, Suharto and His Generals – Indonesia Military Politics 1975-1983 (Cornell University, 1984), the Inner core group Soeharto yang terpenting ada empat. Yaitu Yoga Sugomo, Ali Moertopo, Benny Moerdani dan Sudomo. Tiga yang pertama berlatar belakang intelijen militer dan ada pertautan dengan Zulkifli Lubis.
Intelijen sudah berperan di negeri ini sejak zaman kolonial. Di zaman Hindia Belanda ada Politieke Inlichtengen Dienst (PID), sedangkan di masa Jepang Kotubetsu Koto Keisatsu (polisi tinggi khusus) dan Kenpetai (polisi militer). Kendati demikian, di masa revolusi tak banyak orang yang serius memikirkan konsep intelijen untuk Indonesia merdeka. Wajar saja, karena pikiran kaum revolusioner masih lebih terfokus pada pewujudan kemerdekaan.
Zulkifli Lubis merupakan kekecualian. Mewujudkan lembaga intelijen negara merupakan obsesinya sebaik mendengar Indonesia telah merdeka. Lantas, tak lama setelah proklamasi ia merekrut kader dan menggembleng mereka. Pelbagai kursus intelijen ia adakan. Anak didiknya kemudian menyebar ke mana-mana membangun jaringan macam sarang laba-laba. Beberapa dari mereka kemudian menjadi tokoh sentral intelijen negeri ini. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) legendaris Yoga Sugomo, misalnya.
Lubis yang mengirim Yoga belajar ke dinas intelijen Inggeris MI-6 di Maresfield. Yoga kelak berjasa besar dalam menaikkan Letkol Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro; antara lain ia yang melobi Wakil KSAD Zulkifli Lubis untuk minta restu. Jasa inilah yang membuat dia kelak menjadi orang kepercayaan yang sangat diandalkan Presiden Soeharto. Selain di Bakin Yoga pernah menjadi petinggi di Kopkamtib, Gabungan 1 (G-1) Hankam dan Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) Hankam. Kedekatan dengan Yoga Sugomo kemungkinan besar telah mendekatkan Soeharto ke dunia intelijen.
Zulkifli Lubis merekrut Yoga Sugomo. Yoga Sugomo merekrut Ali Moertopo. Ali Moertopo merekrut Benny Moerdani. Benny Moerdani merekrut para perwira yang kemudian menjadi motor BAIS (Badan Intelijen Strategis). Seperti dalam dunia persilatan, begitulah: para anak didik punya murid lagi. Begitu seterusnya.
Anak didik Lubis kemudian tak hanya berkarir sebagai militer. Mereka terjun juga ke pelbagai bidang termasuk seni-budaya. Mayor Usmar Ismail menjadi jurnalis sebelum berkutat sebagai sineas. WD Mochtar dan istrinya, Sofia WD, menggeluti dunia film. WD Mochtar mendirikan Persatuan Artis Filem Indonesia (Parfi) bersama Kapten Suryo Sumanto. Koleganya: Djamaluddin Malik, Dadung Djajakusuma, dan RM Sumardjono DW menjadi pegiat dunia layar lebar. Yang lain terjun ke dagelan Mataram, ketoprak atau sandiwara keliling.
Kader langsung Lubis menyebut anak didiknya Prajurit Perang Fikiran (PPF). Sebutan ini diambil dari nama doktrin yang diajarkan sang guru yang, menurut Ken Conboy, berwajah dan bersuara lembut serta berkulit putih laksana porselin. Penulis sempat berbincang dengan beberapa dari mereka ini yang berlatar belakang militer. Penuh respek dan kagum, begitulah nada bicara mereka tatkala bertutur tentang Zulkifl Lubis. Dalam penilaian mereka Lubis tak sekadar bos melainkan sahabat, guru, dan semacam pembimbing spiritual juga.
Seorang anggota sel binaan Lubis yang enggan disebut namanya mengatakan intelijen paling top yang pernah dimiliki Indonesia masih Zulkifli Lubis.
“Saya mengenalnya dengan baik. Ia seorang pekerja keras, pemikir yang tangguh dan taat beragama. Ia benar-benar mampu membentuk kader dan menanamkannya. Satu hal yang tak pernah lupa adalah prinsipnya tentang pengertian negara kesatuan dan persatuan bangsa. Ia seorang nasionalis,” dia mengenang.
Militer Jepang
Zulkifli Lubis lahir di Kutaraja (kini: Banda Aceh), 26 Desember 1923, anak kelima (dari 10 bersaudara: tujuh perempuan dan tiga laki-laki) dari pasangan Aden Lubis gelar Sutan Sarialam dan Siti Rewan Nasution). Ayahnya seorang guru yang kemudian menjadi klerk di kantor gubernur. Ibunya juga guru tetapi tak mengajar lagi setelah menikah. Sebagai anak laki-laki dalam keluarga yang mayoritas perempuan, ungkap dia kepada Tempo (edisi 29 Juli 1989) ia mendapat perhatian dan kasih sayang istimewa dari orang tua serta kakek-neneknya.
Bersekolah HIS dan MULO di Aceh, sekitar tahun 1941 pria yang suka membaca ini melanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) bagian B di Yogyakarta. Prestasinya di AMS-B sebenarnya sedang-sedang saja, kecuali untuk mata pelajaran aljabar.
Tahun 1942, Jepang masuk Yogyakarta. Situasi di kota pelajar itu segera menjadi tak menentu. Sekolah banyak yang tutup atau diliburkan. Saat nasib sekolahnya tak menentu remaja Zulkifli Lubis mendaftar di Seinen Kurenso (Tempat Latihan Pemuda) di Asrama Pingit, Yogyakarta bagian utara. Pendaftaran dibuka satu-dua bulan setelah Jepang masuk. Instruktur di lembaga yang mengajarkan pokok-pokok kemiliteran ini orang Jepang, sedangkan asisten instrukturnya adalah orang sebangsa yang didatangkan dari Seinen Kurenso Jakarta. Di antaranya Kemal Idris, Kusno Wibowo, Rukminto Hedranigrat, dan Marbangun. Mereka merangkap siswa juga. Peserta pendidikan banyak dari AMS dan MULO.
Baru dua bulan Lubis di Seinen Kurenso ada tawaran program khusus untuk pendidikan perwira militer di Seinan Dojo (Gemblengan Pemuda), di Tangerang. Ratusan orang mendaftar tapi hanya segelintir yang lolos. Dari 50 peserta Seinen Kurenso Pingit, lima orang kemudian terpilih. Zulkifli Lubis dan Kemal Idris di antaranya.
Di asrama Seinen Dojo Tangerang sekitar awal 1943 mereka berkumpul dengan peserta dari daerah lain. Di sini Lubis menjadi tiga sekawan dengan Kemal Idris dan Daan Mogot. “Lubis itu orangnya baik dan pintar. Kita sama-sama sekolah di Yogya dan sama-sama dipilih masuk Seinan Dojo,” kenang Kemal Idris saat berkisah kepda penulis.
Asrama Tangerang ini lokasinya terisolir. Peraturan di sana ekstra ketat. Peserta dilarang keluar asrama. Latihannya spartan. Seinan Dojo ini terdiri dua kamar, yang pertama disebut Ichihan dan yang kedua Nihan. Merupakan jalur bagi lulusan terbaik, Nihan juga dikenal sebagai kamar terbaik dari segi ilmu, latihan militer dan olah raga sumo. Zulkifli Lubis dan Kemal Idris ikut di kamar ini. Sementara Daan Mogot masuk Ichihan.
Program khusus bernama Seinan Dojo ini, menurut Lubis, merupakan sekolah akademi intelijen yang langsung berada di bawah Markas Besar Intelijen Jepang. “Itulah pertama kali saya belajar intelijen, sekitar awal 1943, tetkala saya masih berumur 19 tahun,” ucap Lubis kepada Tempo.
Persepsi Kemal Idris tentang Seinan Dojo Tangerang lain. Dia mengatakan Seinan Dojo bukan lembaga pendidikan intelijen kendati dua instruktur utamanya, Mayor Murazaki dan Letnan Yanagawa, dari badan intelijen Jepang. Hanya pendidikan biasa yang merupakan permulaan dari Pembela Tanah Air (PETA).
“Merupakan percobaan apakah bangsa Indonesia bisa melaksanakan latihan militer yang begitu keras. Saya dengar latihannya lebih keras dari yang ada di Jepang,” lanjut Kemal Idris.
Setelah enam bulan Lubis di Seinan Dojo nasib lembaga ini terancam sehubungan dengan kemunduran pasukan Jepang di front Pasifik dan Asia Tenggara. Markas Besar Perang Rahasia (Sambo Bepan) yang membawahi Seinen Dojo Tangerang berniat menghentikan pendidikan tersebut. Tapi rencana ini ditentang oleh Kepala Pusat Seinen Dojo Tangerang Kapten Maruzaki. Alasan dia, kalau sekolah ditutup para siswa yang sudah terlatih itu akan terlantar. Kalau sampai terlantar mereka potensial menjadi ancaman bagi Jepang. Bisa senjata makan tuan.
PETA
Sebuah perkembangan kemudian muncul. Usulan tokoh Bogor Gatot Mangkupradja untuk mendirikan pasukan pertahanan rakyat pribumi disetujui oleh Panglima Pasukan Kekaisaran Jepang XVI di Pulau Jawa, Letjen Harada, awal 1943. Siswa Seinen Dojo Tangerang pun dikerahkan untuk membentuk pasukan seperti yang diinginkan Gatot. Mereka dibagi menjadi dua grup (masing-masing grup terdiri dari 25 orang). Satu grup dikirim ke Cimahi dan satu grup lagi Magelang untuk menjadi asisten instruktur. Lubis ke Magelang. Di sana ia mengajar di Asrama Tugu. Siswanya antara lain Ahmad Yani dan Basuki Rachmat.
Tiga bulan berdinas, Lubis dan yang lain ditarik sebentar ke Seinen Dojo Tangerang. Dari sana mereka ditempatkan di Renseitai Bogor untuk menangani pendidikan perwira lanjutan. Pendidikan akbar pertama yang dibuka tahun 1943 ini nantinya dikenal sebagai pendidikan PETA. Tingkatannya ada tiga yaitu daidancho (calon komandan batalyon, umumnya para tokoh masyarakat), chudancho (calon komandan kompi, umumnya sarjana atau pernah di perguruan tinggi) dan shodancho (calon komandan pleton, umumnya dari pelajar). Siswanya termasuk Soeharto, Djatikusumo, dan Basuki Rachmat. Di Renseitai Bogor Lubis bersahabat dan sekamar dengan Suprijadi. Kelak, Februari 1945, Surijadi memimpin pemberontakan PETA di Blitar dan setelah itu hilang selamanya.
Setelah tiga bulan dididik, Desember 1943 para shodancho PETA dilantik. Mereka kemudian dikembalikan ke daerah asal masing-masing. Sesudah itu Sambo Bepan membentuk pasukan gerilya. Untuk itu 150 lulusan shodancho angkatan kedua yang direkrut. Mereka ini kemudian disebut shodancho yugekitai.
Alumni Seinan Dojo Tangerang (50 orang) selanjutkan dikirim ke Pusat Latihan Pemuda Lembang, Salatiga, Nongkojajar (Jatim) untuk mendidik calon komandan pleton pasukan gerilya. Lulusan pendidikan ini dikirim ke kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa, Madura, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Mereka inilah yang nantinya menjadi sel-sel jaringan intelijen Lubis.
Tiga sekawan Daan Mogot, Kemal Idris, dan Zulkifli Lubis kemudian ditempatkan di Sambo Bepan yang berkantor di bilangan Gambir, Jakarta.
Pertengahan 1944 Lubis dibawa komandan Seinen Dojo ke Malaysia. Di Singapura ia lantas berkesempatan bertemu dengan Myor Ogi, seorang intelijen Jepang legendaris yang saat itu tengah mengaktifkan operasi intelijen di Vietnam untuk mengatasi Perancis. “Saya tidur satu kamar dengannya,” ungkap Lubis kepada Tempo. Dari Mayor Ogi, ungkap dia, dirinya menimba banyak ilmu intelijen. Juga dari sang komandan Seinen Dojo.
Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom, Jepang menyerah kepada Sekutu, 14 Agustus 1945. Saat itulah Zulkifli Lubis terdorong untuk membentuk badan intelijen sendiri. Alasannya sederhana: untuk setiap gerakan apa pun, intelijen penting dan harus ada. Pengalaman yang pernah diterimanya ketika ia menjadi intel di satuan militer Jepang di Singapura dan pendidikan soal informasi, sabotase dan psy-war ingin segera ia tularkan di Indonesia.
Bersambung...