Kabinet Merah Putih, Tantangan Efisiensi dan Risiko Anggaran Negara

Kabinet Merah Putih. (Foto:Instagram/@prabowo)

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan Presiden Prabowo  membentuk kabinet gemuk menuai perhatian masyarakat.

Diketahui Prabowo Subianto resmi melantik Kabinet Merah Putih di Istana Negara pada Senin (21/10/2024).

Kabinet ini mencakup 48 menteri, 56 wakil menteri, serta beberapa pejabat setingkat menteri dan pimpinan badan.

Termasuk dalam struktur ini adalah ketua lembaga-lembaga vital seperti Ketua Mahkamah Agung, Ketua Lemhannas, penasihat presiden, dan staf khusus.

Secara keseluruhan, Prabowo melibatkan 136 pejabat dalam kabinet ini.

Walau demikian, Prabowo beralasan, jumlah tersebut diperlukan untuk mengelola negara yang sangat luas, dengan perbandingan bahwa wilayah Indonesia sebanding dengan Eropa.

“Eropa butuh 27 menteri keuangan dan 27 menteri dalam negeri untuk 27 negara. Indonesia, sebagai satu negara seluas itu, tentu butuh sumber daya lebih banyak,” ujar Prabowo dalam rapat kabinet perdananya, Rabu (23/10/2024).

Namun, menurut Prabowo, ukuran besar kabinet bukan masalah selama para pejabat bekerja secara efisien dan fokus pada kepentingan rakyat.

Karena itu, ia menekankan pentingnya efisiensi anggaran agar setiap belanja negara benar-benar diarahkan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam rapat tersebut juga, Prabowo meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran menteri koordinator untuk meninjau kembali anggaran 2025 yang tercantum dalam APBN dan DIPA.

Ia menegaskan agar pengeluaran seremonial dan perjalanan luar negeri dikurangi.

“Kita harus fokus pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Jangan ada studi banding Pramuka ke luar negeri. Saya minta efisiensi,” tegasnya.

Sri Mulyani merespons arahan ini dengan melakukan rencana restrukturisasi RKAKL dan DIPA untuk 2024-2025.

Ia juga akan menata aset negara guna menyesuaikan dengan kebutuhan kabinet baru. Penataan ini dinilai mendesak karena jumlah kementerian dan lembaga meningkat drastis.

Potensi Pembengkakan Anggaran

Center of Economic and Law Studies (Celios)) memperingatkan bahwa kabinet besar ini berpotensi membebani anggaran negara.

Laporan Celios memperkirakan tambahan anggaran hingga Rp1,95 triliun dalam lima tahun ke depan, belum termasuk biaya pembangunan kantor atau fasilitas baru.

“Pengeluaran kementerian melonjak dari Rp684,2 triliun pada 2016 menjadi Rp1.198,9 triliun di 2024,” ungkap peneliti Celios, Achmad Hanif Imaduddin.

Belanja pegawai diproyeksikan mencapai Rp91,52 miliar hingga Rp390 miliar per tahun, termasuk gaji staf khusus dan fasilitas untuk pejabat tinggi.

Achmad juga menilai bahwa argumen Prabowo terkait kebutuhan kabinet besar tidak sepenuhnya relevan.

Ia mencontohkan, negara seperti Amerika Serikat dan Cina dengan luas wilayah dan populasi lebih besar memiliki kabinet lebih ramping masing-masing memiliki 15 dan 21 kementerian.

Sementara Manager Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi, turut mengingatkan bahwa kabinet besar ini dapat memperparah defisit APBN.

Pada 2025, jelasnya, defisit diproyeksikan mencapai Rp616,2 triliun. Jika penerimaan negara tidak memenuhi target, pemerintah mungkin harus menambah utang untuk menutup kekurangan.

Padahal, utang Indonesia sudah mencapai Rp8.461,93 triliun per Agustus 2024, dengan rencana penerbitan utang baru sebesar Rp775 triliun tahun depan.

Sedangkan, Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai peningkatan beban utang dan anggaran publik yang terbatas berpotensi menghambat program keberpihakan pada masyarakat miskin.

“Sebagian besar anggaran mengalir ke kelompok elite dan ke luar negeri, sehingga menekan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Data Next Policy menunjukkan bahwa bunga utang yang semula Rp150 triliun pada 2015 kini melonjak menjadi Rp 500 triliun dalam APBN 2024.

Dengan hampir 25% penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utang, ruang fiskal bagi program sosial menjadi semakin sempit.

Yusuf menekankan pentingnya disiplin fiskal agar hutang tidak terus bertambah. “Defisit tidak boleh melebihi 3% dari PDB, dan monetisasi utang oleh bank sentral harus dihindari.”

Koordinasi dan Efisiensi Kabinet

Penambahan jumlah kementerian juga memunculkan kekhawatiran terkait koordinasi dan efisiensi.

Adinova Fauri dari CSIS menyoroti risiko tumpang tindih kewenangan antar-kementerian.

“Beberapa kementerian mungkin memiliki fokus yang mirip, dan ini bisa memperlambat pengambilan keputusan,” ungkapnya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (25/10/2024).

Adinova juga menilai bahwa perubahan struktural ini akan mempengaruhi birokrasi di daerah. “Restrukturisasi bukan hanya terjadi di pusat, tetapi juga berdampak hingga dinas-dinas di daerah, termasuk dalam hal regulasi dan perizinan,” ujarnya.

Ia mencontohkan Kementerian Lingkungan Hidup yang kini berada di bawah koordinasi Kemenko Pangan.

“Hubungan antara kementerian ini perlu diperjelas karena Kementerian Lingkungan Hidup memiliki agenda penting terkait penurunan emisi dan gas rumah kaca pada 2030,” tambah Adinova.

Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, kabinet ini diharapkan mampu mengelola Indonesia yang luas dan kompleks.

Namun di sisi lain, struktur yang besar ini dapat memperumit koordinasi dan meningkatkan risiko pemborosan anggaran.

Dengan utang negara yang terus meningkat dan ruang fiskal yang semakin terbatas, pemerintah harus cermat dalam mengalokasikan anggaran.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS