PMKRI Desak Investigasi PT TPL: Kriminalisasi Adat, Krisis Ekologi

Roymundus Tolok (PGK PP PMKRI), Parlin Tua Sihaloho, Kristina Elia Purba, Joel Mahendra Tampubolon (PP PMKRI, Putra/Putri Batak). (Foto: Dok. PMKRI)

PARBOABOA, Jakarta – Konflik berkepanjangan antara masyarakat adat di kawasan Danau Toba dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mencuat ke permukaan.

Kali ini, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengambil langkah serius dengan mendesak investigasi terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah ulayat, hingga kerusakan ekologi yang ditimbulkan oleh perusahaan industri pulp tersebut.

Sejak lama, masyarakat adat di sekitar Danau Toba menuntut pemerintah untuk menutup operasional PT TPL.

Desakan ini muncul bukan tanpa alasan. Warga menilai aktivitas perusahaan telah merusak hutan adat yang menjadi sumber kehidupan, budaya, dan identitas mereka.

Pembukaan lahan skala besar untuk perkebunan eukaliptus dinilai merusak ekosistem, memperparah erosi tanah, serta menurunkan kualitas air Danau Toba yang menjadi nadi kehidupan masyarakat Batak.

Tidak hanya itu, dampak sosial-ekonomi juga menjadi keluhan utama. Janji kesejahteraan dan lapangan pekerjaan yang digadang-gadang perusahaan dianggap tidak sebanding dengan kerugian ekologis maupun hilangnya ruang hidup masyarakat adat.

Sebaliknya, kehadiran perusahaan justru menimbulkan gesekan dengan warga, aparat keamanan, hingga pemerintah daerah.

Situasi ini membuat masyarakat semakin gencar menuntut penutupan TPL demi menjaga lingkungan, hak adat, serta keadilan sosial di Tanah Batak.

Langkah Tegas PMKRI

Menyikapi situasi tersebut, PMKRI pada tahun ini secara resmi melayangkan surat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman Republik Indonesia.

Mereka menuntut adanya investigasi independen terkait praktik kriminalisasi tokoh adat, perampasan tanah ulayat, serta kerusakan hutan yang semakin meluas akibat aktivitas perusahaan.

Menurut catatan PMKRI, eskalasi konflik terus memburuk. Kasus kriminalisasi yang menimpa tokoh adat Sorbatua Siallagan menjadi bukti nyata bagaimana hukum kerap dijadikan alat untuk membungkam perlawanan masyarakat.

Pembabatan hutan warisan leluhur pun semakin memperparah kerusakan ekosistem Danau Toba, sehingga masyarakat adat kehilangan akses terhadap pangan dan lahan hidup.

PT TPL sendiri diketahui mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 167 ribu hektare di Tapanuli.

Perusahaan ini merupakan bagian dari Royal Golden Eagle (RGE), konglomerasi milik taipan Sukanto Tanoto, yang sejak masa Orde Baru kerap dituding sebagai penyebab deforestasi besar-besaran di Sumatera Utara.

PMKRI menilai praktik PT TPL jelas bertentangan dengan sejumlah aturan hukum. Di antaranya, UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.

Bahkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa pengelolaan hutan harus memberi manfaat optimal bagi rakyat, bukan merampas ruang hidup mereka.

Ketua Lembaga ESDM PP PMKRI, Parlin Tua Sihaloho, menegaskan langkah menyurati Komnas HAM dan Ombudsman merupakan dorongan moral, bukan sekadar mencari sensasi.

“Negara tidak bisa terus-menerus berpihak pada korporasi. Jika investigasi menyeluruh tidak segera dilakukan, hukum hanya akan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tegas Parlin.

PMKRI meminta Komnas HAM segera membentuk Tim Investigasi Ad Hoc yang turun langsung ke lapangan untuk mendengar suara korban kriminalisasi.

Kepada Ombudsman, mereka mendesak adanya pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan kelalaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Sumut, hingga aparat penegak hukum yang dianggap melakukan pembiaran.

Surat resmi ini juga menjadi bagian dari gerakan nasional yang digalang PMKRI. Mereka menyerukan solidaritas mahasiswa lintas organisasi, lintas agama, dan lintas daerah dalam perjuangan bersama dengan slogan: “Tutup TPL, Pulihkan Hutan, Bebaskan Masyarakat Adat.”

Joel Mahendra Tampubolon, pengurus pusat PMKRI, mengingatkan bahwa jika pemerintah terus mengabaikan persoalan ini, potensi konflik horizontal semakin sulit dihindari.

“Jangan biarkan masyarakat hidup tidak tenang di atas tanahnya sendiri. Pemerintah tidak boleh abai, apalagi ikut memelihara konflik di Tanah Batak,” tegasnya.

Kristina Elia Purba, aktivis perempuan PMKRI asal Toba, juga menyuarakan penolakan keras. Ia menekankan bahwa Danau Toba bukan sekadar objek wisata, melainkan warisan leluhur, ruang spiritual, serta sumber penghidupan masyarakat Batak.

“Ketika hutan gundul, sungai tercemar, dan tanah adat dirampas, yang terluka bukan hanya bumi, tetapi martabat kami sebagai orang Batak,” seru Kristina.

Sementara itu, Raymundus Yoseph Megu, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, mengungkap temuan mengejutkan: sekitar 28% konsesi TPL atau setara 52.668 hektare ternyata berada di luar izin legal, termasuk di kawasan hutan lindung dan hutan produksi tetap.

“Operasi TPL bukan hanya praktik bisnis, melainkan bentuk kolonialisme agraria yang difasilitasi negara. Aparat hukum berpihak pada modal, bukan rakyat,” ujarnya lantang.

Di akhir pernyataan, PMKRI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini bersama masyarakat adat Batak.

Mereka menyatakan siap berdiri di garda depan dalam memperjuangkan keadilan ekologis dan hak-hak masyarakat yang selama puluhan tahun dirugikan.

“Dengan tegas kami sampaikan, PP PMKRI siap berjuang bersama orang tua dan saudara kami di Tanah Batak, Sumatera Utara,” pungkas Raymundus.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS