Polemik Tambang Disinyalir Jadi Akar Perpecahan di Tubuh PBNU

Pemberhetian Gus Yahya dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU disinyalir memiliki kaitan dengan polemik pengelolaan tambang di internal organisasi (Foto: PARBOABOA/Defri)

PARBOABOA, Jakarta - Ketegangan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki fase baru setelah dinamika internal organisasi mencuat ke ruang publik. 

Perbedaan pandangan terkait tata kelola organisasi, dugaan intervensi politik, hingga isu pengelolaan sumber daya alam menjadikan masa akhir kepengurusan sebagai periode paling krusial.

Situasi memanas setelah terbitnya Surat Edaran PBNU Nomor 1310/B.I.32/11/2025 yang menyatakan pemberhentian Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum PBNU. 

Surat itu ditandatangani oleh Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir dan Katib Aam KH Ahmad Tajul Mafakhir, serta mencantumkan waktu efektif pemberhentian mulai 26 November 2025 pukul 00.45 WIB. 

Dokumen tersebut menegaskan bahwa seluruh kewenangan, hak, dan fasilitas Ketua Umum tidak lagi melekat pada diri Gus Yahya. Pihak internal PBNU membenarkan adanya surat tersebut, meski sebagian sumber menyebutnya masih berupa draf. 

Surat tersebut juga menugaskan pelaksanaan rapat pleno untuk membahas pemberhentian dan pengisian jabatan, sesuai Peraturan Perkumpulan NU Nomor 10/2025, Nomor 13/2025, dan Peraturan PBNU 01/X/2023.

Langkah ini langsung memantik perdebatan, terutama karena sebagian pengurus menilai keputusan tersebut tidak sah secara struktural maupun prosedural. 

Perbedaan tafsir mengenai kewenangan Syuriyah dan Tanfidziyah kembali membuka ketegangan lama dalam tubuh PBNU.

Di tengah keributan tersebut, Mahfud MD melalui podcast Terus Terang pada Selasa (25/11/2025) memberikan gambaran lebih utuh tentang akar persoalan. Ia menyebut persoalan tambang sebagai pemantik utama gesekan di antara elite PBNU.

“Saya sudah bicara ke dalam asal mulanya soal pengelolaan tambang,” ungkap Mahfud, menegaskan bahwa pertentangan tersebut lahir dari perbedaan kepentingan di lingkaran pimpinan.

Mantan Menkopolhukam di era Presiden Joko Widodo itu menyesalkan perpecahan yang mengemuka ketika masa khidmat kepengurusan tersisa satu tahun lagi menuju 2027. 

Menurutnya, isu tambang tidak semestinya menjadi pemicu keretakan organisasi yang memiliki peran besar sebagai penyangga moral dan kebangsaan. Namun demikian, ia mencatat isu serupa bukan hal baru bagi PBNU maupun Muhammadiyah. 

Ia mengenang kembali momen ketika Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk menggugat Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001.

“Mereka datang untuk menggugat ketidakadilan dalam pengelolaan tambang, bukan untuk meminta jatah,” kata Mahfud.

Ia juga menyinggung putusan MK tahun 2012 yang membubarkan BP Migas karena tumpang tindih kewenangan dan potensi korupsi yang begitu besar. 

“Antara pengatur dan pelaksana sama. Korupsinya banyak sekali,” ujarnya.

Pernyataan tersebut memberi konteks bahwa persoalan tambang selalu membawa sensitivitas tersendiri dalam relasi antara negara, masyarakat sipil, dan organisasi keagamaan.

Jalur Penyelesaian Formal

Di tengah meningkatnya spekulasi publik, PBNU sebenarnya memiliki mekanisme penyelesaian konflik internal melalui Majelis Tahkim. 

Lembaga ini, yang diketuai KH Miftachul Akhyar dan disekretariati KH Abdul Ghofur Maimoen, bertugas menyelesaikan seluruh perselisihan di lingkungan PBNU. Setiap sengketa wajib melalui tahkim dan tidak boleh dibawa ke ranah peradilan umum.

Keberadaan mekanisme ini menunjukkan bahwa PBNU memiliki kanal resolusi masalah yang jelas, namun efektivitasnya kembali dipertanyakan ketika konflik telah menyebar dan menjadi konsumsi publik.

Di tengah perdebatan mengenai keabsahan pemberhentian Gus Yahya, nama Prof Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan Nasional sekaligus mantan Menteri Komunikasi dan Informatika muncul sebagai kandidat penjabat sementara Ketua Umum PBNU.

Dukungan terhadap Nuh datang dari sejumlah kiai, termasuk KH Imam Jazuli. 

“Beliau memiliki kombinasi kepemimpinan teknokratis dan legitimasi kultural,” ujar Imam Jazuli pada Selasa (26/11/2025).

Penetapan resmi mengenai pengisian jabatan akan diputuskan melalui rapat pleno PBNU, yang menjadi titik penting untuk menilai arah konsolidasi organisasi dalam setahun terakhir menuju akhir masa khidmat.

Rentetan peristiwa ini menunjukkan bahwa PBNU sedang menghadapi ujian besar. Persoalan kepemimpinan, perbedaan kepentingan, serta isu tambang yang sarat tarik-menarik pengaruh telah memunculkan perpecahan di tubuh organisasi.

Namun, keberadaan Majelis Tahkim, tata aturan organisasi, serta tradisi musyawarah seharusnya menjadi bekal penting bagi PBNU untuk meredakan ketegangan dan mengembalikan fokus pada agenda besar keumatan dan kebangsaan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS