PARBOABOA, Pematang Siantar - Kebijakan pemerintah melarang TikTok Shop nyatanya telah memicu pro dan kontra di kalangan pedagang di Pematang Siantar, Sumatra Utara (Sumut).
Poltak Pasaribu (47), seorang pedagang konvensional di Pasar Horas yang telah berjualan selama lebih dari 20 tahun, mengaku mendukung sepenuhnya larangan tersebut.
Menurutnya, keberadaan TikTok Shop telah menggerus pendapatannya selama ini. Dimana para pembeli lebih nyaman berbelanja melalui handphone (HP) daripada mengunjungi pasar.
Selain itu, ia mengaku kesulitan bersaing dalam hal harga yang kompetitif dengan penjual online di aplikasi.
Pasalnya, pedagang online mampu menawarkan produk dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang bisa dia tawarkan secara tradisional.
“Gimana gak lari semua pembeli saya?” katanya kepada PARBOABOA, Kamis (28/9/2023).
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari Emily Grace (33), seorang pedagang online di Pematang Siantar.
Baginya, kebijakan pemerintah untuk melarang pedagang online berjualan di TikTok terkesan terburu-buru dan kurang didukung oleh penelitian yang memadai sebelumnya.
Ia juga menilai kebijakan ini hanya bertujuan untuk menghibur pedagang konvensional, tanpa memberikan solusi untuk akar masalah yang sebenarnya.
Akar masalah yang dimaksud oleh Emily bukanlah terletak pada aplikasi TikTok itu sendiri, tetapi pada kemauan pedagang konvensional untuk beradaptasi dengan teknologi modern dalam menjalankan usaha mereka.
“Harusnya pemerintah bukan mengambil kebijakan seperti itu (melarang aplikasi TikTok) tapi melatih para pedagang konvensional untuk jualan secara profesional menggunakan teknologi seperti TikTok, Facebook, dan lain-lain,” kata Emily kepada PARBOABOA.
Dengan cara ini, semua pihak, baik pedagang maupun pembeli, dapat merasakan manfaat dari keuntungan berbelanja secara online.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Monalisa (27), seorang pengguna aplikasi TikTok. Baginya, berbelanja online melalui aplikasi semakin memudahkan proses memilih barang tanpa perlu menghadapi intimidasi yang seringkali dialaminya ketika berbelanja di pasar konvensional.
“Kalau kita lama lihat barang barangnya kadang itu disinisin sama pedagangnya. Belum lagi, banyak pedagang di pasar yang kalau kita gak pakai bahasa batak ngomongnya langsung dinaikin harganya,” ungkapnya.
Respons Pengamat
Sementara itu, Darwin Damanik, Pengamat Ekonomi Universitas Simalungun, menilai bahwa langkah pemerintah dalam mengeluarkan regulasi pelarangan terhadap TikTok Shop adalah hal yang wajar.
Penggabungan media sosial dengan perdagangan elektronik (E-commerce) telah menyebabkan penurunan pendapatan bagi pedagang konvensional.
Bahkan, banyak kios di pasar induk dan pasar sentral di Jakarta dan daerah lainnya harus gulung tikar karena perubahan pola belanja masyarakat yang beralih ke online.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurutnya, adalah bahwa situasi ini telah memberikan keuntungan kepada perdagangan dari China.
Hal ini disebabkan oleh harga yang ditawarkan yang jauh lebih murah serta dapat melakukan pembayaran melalui COD (cash on delivery) ataupun kredit.
“Karena perang dagang akan selalu terjadi, Amerika Serikat aja bisa kalah dengan China dalam hal perang dagang,” ungkapnya kepada PARBOABOA melalui pesan singkat, Kamis (28/09/2023).
Untuk itu, Darwin menekankan bahwa pentingnya rasa cinta atas produk lokal sehingga barang-barang dari dalam negeri dapat memiliki daya saing yang baik.
Darwin menegaskan bahwa mengingat persaingan global yang terus berlanjut, penting bagi kita untuk memiliki rasa cinta terhadap produk lokal.
Hal ini akan membantu produk-produk dalam negeri untuk tetap memiliki daya saing yang kuat, bahkan dalam situasi persaingan internasional seperti perang dagang yang terus berlangsung.