PARBOABOA, Jakarta - Belakangan ini, isu mengenai retribusi kantin sekolah yang digagas oleh DPRD DKI Jakarta kian menjadi sorotan publik.
Gagasan ini menarik perhatian karena potensi besar yang dinilai ada di baliknya.
Menurut Sutikno, Wakil Ketua Komisi C DPRD, kantin-kantin sekolah negeri memiliki peluang untuk berkontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ia pun juga mengambil contoh dari SMAN 32 Jakarta, di mana setiap lapak kantin dikenai biaya sewa sebesar Rp. 5 juta per tahun.
Dengan adanya 14 lapak di sekolah tersebut, pendapatan yang bisa diperoleh hanya dari satu sekolah bisa mencapai Rp. 70 juta setiap tahunnya.
Melihat angka tersebut, Sutikno mendorong Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk segera melakukan pendataan menyeluruh terhadap semua kantin yang ada di 1.788 sekolah negeri di wilayah itu.
Menurutnya, langkah ini penting untuk menggali potensi PAD yang selama ini mungkin belum termanfaatkan dengan optimal.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan seperti ini membutuhkan dasar hukum yang kuat.
Pihak terkait pun juga telah meminta inspektorat untuk memastikan kebijakan ini dilengkapi dengan payung hukum yang jelas, agar semua pihak bisa mengikuti aturan tanpa merasa dirugikan.
Di sisi lain, usulan ini tidak disambut baik oleh semua pihak. Seperti, Ketua Fraksi PKB DPRD DKI Jakarta, M. Fuadi Luthfi, terang-terangan menolak gagasan tersebut.
Ia berpendapat bahwa fokus pemerintah daerah seharusnya diarahkan pada sektor-sektor ekonomi yang lebih besar, bukan pada UMKM kecil seperti kantin sekolah.
Pendapatan dari kantin sekolah itu terlalu minim untuk memberikan dampak signifikan pada peningkatan PAD, oleh karena itu, pemerintah sebaiknya lebih tegas dalam mengawasi dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar.
Fuadi juga mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan dampak langsung bagi siswa. Jika pengelola kantin dibebani retribusi, besar kemungkinan harga makanan akan naik.
Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat pendidikan yang seharusnya menjamin akses yang terjangkau bagi siswa.
Pada akhirnya, kebijakan ini bisa berdampak negatif, khususnya bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.Tak hanya itu, kritik serupa juga datang dari Fraksi Gerindra melalui Ali Lubis.
Menurutnya, APBD DKI Jakarta untuk tahun 2025 sudah cukup besar, sehingga menambah pendapatan dari kantin sekolah bukanlah prioritas utama.
Ia justru menekankan bahwa kantin sekolah harus dilihat sebagai fasilitas pendukung untuk kesejahteraan siswa.
“Kantin sekolah bukan sekadar tempat berjualan. Fokus kita seharusnya memastikan makanan yang dijual disana sehat, harganya terjangkau, dan lingkungannya bersih,” ujarnya.
Penolakan terhadap wacana ini pun tidak hanya datang dari DPRD saja, karena di tengah Masyarakat pun, isu ini juga memunculkan kekhawatiran.
Bagi banyak orang, kantin sekolah adalah bagian penting dari ekosistem pendidikan, bukan hanya tempat transaksi ekonomi.
Jika biaya operasional kantin meningkat akibat adanya retribusi, para pengelola mungkin akan menurunkan kualitas makanan atau menaikkan harga jual.
Hal ini juga dapat memberikan dampak langsung pada siswa, terutama yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi lemah.
Ada pula persoalan lain yang mencuat, yaitu kualitas makanan. Beban biaya tambahan bagi pengelola kantin berpotensi membuat mereka memilih bahan makanan yang lebih murah tetapi kurang sehat.
Padahal, sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk memastikan bahwa makanan yang tersedia di kantin tidak hanya terjangkau, tetapi juga aman dan bergizi.
Meski begitu, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan menyatakan bahwa wacana ini masih dalam tahap kajian.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Purwosusilo, menjelaskan bahwa regulasi yang jelas akan menjadi kunci dalam mengatur kebijakan ini.
Ia juga menekankan bahwa segala keputusan harus melalui koordinasi dengan Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) agar selaras dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Retribusi Daerah.
"Kami ingin memastikan bahwa kebijakan ini dapat dijalankan dengan profesional tanpa memberikan beban berat pada pengelola kantin," ujarnya.
Banyak juga pihak yang berharap bahwa jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, regulasi yang ada tetap berpihak pada kesejahteraan siswa dan keberlangsungan UMKM pengelola kantin.