PARBOABOA, Jakarta – Konflik di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, berawal dari upaya penegakan disiplin terhadap seorang siswa yang kedapatan merokok.
Insiden yang semula tampak sederhana itu berkembang menjadi polemik hingga akhirnya berujung damai setelah Gubernur Banten, Andra Soni, turun tangan langsung.
Pertemuan antara kepala sekolah dan siswa yang berselisih difasilitasi oleh Gubernur Andra Soni di ruang kerjanya, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kota Serang.
Momen perdamaian tersebut diumumkan melalui akun Instagram resmi gubernur pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Dalam pertemuan itu, baik Kepala Sekolah Dini maupun siswa berinisial ILP menyatakan saling memaafkan.
Sebagai konsekuensi, status nonaktif Dini dicabut dan ia akan segera kembali bertugas agar kegiatan belajar mengajar di sekolah tetap berjalan normal.
Sebelum mediasi dilakukan, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, sempat menyampaikan keprihatinan atas keputusan menonaktifkan Dini tanpa proses klarifikasi yang menyeluruh.
Menurutnya, setiap masalah di lingkungan pendidikan seharusnya disikapi dengan pembinaan dan klarifikasi yang proporsional, bukan dengan langkah administratif yang terburu-buru.
Latar Belakang Insiden
Peristiwa ini bermula pada Jumat, 10 September 2025, ketika Dini melihat ILP (19) tengah memegang rokok saat kegiatan Jumat bersih.
Saat dipanggil, siswa tersebut justru melarikan diri. Dini kemudian mengaku hanya menepuk punggung ILP tanpa ada unsur kekerasan fisik atau emosi berlebih.
Namun, orang tua siswa menilai tindakan itu sebagai kekerasan dan melaporkannya ke Polres Lebak.
Kabar pelaporan itu memicu reaksi besar di lingkungan sekolah. Sebanyak 630 siswa dari 19 kelas melakukan aksi solidaritas pada Senin, 13 Oktober 2025, dengan ancaman mogok belajar serta tuntutan agar kepala sekolah diberhentikan.
Menyikapi situasi yang memanas, Pemerintah Provinsi Banten melalui Sekretaris Daerah Deden Apriandhi kemudian memutuskan menonaktifkan Dini dari jabatannya.
Keputusan yang Dinilai Tergesa-gesa
Langkah penonaktifan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Pengamat pendidikan Universitas Serang Raya (Unsera), Rizal Fauzi, menilai keputusan tersebut terlalu tergesa tanpa investigasi mendalam.
Ia khawatir kebijakan sepihak seperti ini dapat mencederai wibawa pendidik dan justru memunculkan masalah baru, seperti aksi protes dari kalangan guru.
Rizal pun menyarankan agar gubernur turun langsung melakukan mediasi dan menggali keterangan dari semua pihak guna menemukan solusi yang adil dan edukatif.
Senada dengan itu, Hetifah Sjaifudian mengingatkan agar persoalan disiplin siswa tidak langsung dibawa ke ranah hukum.
Menurutnya, keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus semacam ini justru bisa memperkeruh suasana dan berdampak psikologis bagi siswa lain.
Ia menegaskan bahwa sekolah sebenarnya memiliki mekanisme internal, seperti tata tertib, dewan guru, dan komite sekolah, yang bisa menjadi wadah penyelesaian masalah secara mendidik.
Menjaga Iklim Edukatif di Sekolah
Hetifah juga menyinggung dasar hukum yang relevan. Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 secara tegas melarang segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan rokok di lingkungan sekolah, baik oleh siswa, guru, pegawai, maupun tamu.
Sementara itu, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 memang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, namun tidak secara spesifik mencakup pelanggaran disiplin seperti merokok jika tidak memenuhi unsur kekerasan.
Keputusan menonaktifkan kepala sekolah pun memicu gelombang reaksi di media sosial. Akun Instagram Gubernur Andra Soni dibanjiri komentar warganet yang menilai pemerintah terlalu reaktif terhadap kasus viral.
Banyak yang menuding perhatian pemerintah lebih terfokus pada citra publik ketimbang pembenahan persoalan mendasar, seperti kondisi ruang kelas yang rusak atau kesejahteraan guru honorer.
Beberapa warganet bahkan melontarkan kritik tajam, menyindir agar gubernur juga “dinonaktifkan” dan menanyakan mengapa masalah pendidikan yang lebih serius tidak segera diselesaikan.
Kini, setelah adanya mediasi dan pernyataan saling memaafkan, diharapkan kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak — bahwa penyelesaian secara dialogis dan edukatif adalah jalan terbaik untuk menjaga keharmonisan di lingkungan sekolah serta martabat dunia pendidikan.