PARBOABOA - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi ditetapkan menjadi 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Kenaikan ini akan dikenakan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah atau dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, seperti jasa pendidikan internasional, layanan rumah sakit kelas VIP, hingga makanan impor dengan harga premium.
Meski begitu, terdapat sejumlah barang dan jasa yang akan dibebaskan dari PPN, seperti daging, telur, ikan, dan susu, jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi, dan pemakaian air.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan ini diproyeksikan menambah penerimaan negara hingga Rp200 triliun per tahun.
Dana tersebut rencananya dialokasikan untuk berbagai kebutuhan negara, termasuk pembangunan infrastruktur, digitalisasi layanan publik, dan pembiayaan proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Namun, langkah ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak yang mengkhawatirkan dampak domino dari kenaikan PPN ini, terutama daya beli masyarakat dan keberlangsungan usaha kecil menengah.
Apakah kenaikan ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi rakyat atau justru menambah beban hidup sehari-hari?
Saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas nasional. Proyek-proyek besar seperti jalan tol, transportasi massal, bendungan, hingga Ibu Kota Nusantara (IKN) terus digalakkan dengan harapan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dalam APBN 2023, alokasi anggaran untuk infrastruktur mencapai Rp392 triliun, sekitar 18,5% dari total belanja negara. Dana ini digunakan untuk membangun fasilitas transportasi seperti kereta api, bandara, dan pelabuhan.
Kenaikan PPN menjadi 12% pun diharapkan dapat menambah sumber daya untuk menyelesaikan proyek-proyek yang saat ini tengah berlangsung, termasuk IKN yang membutuhkan total investasi Rp466 triliun.
Namun, efektivitas dari pembangunan infrastruktur ini kerap dipertanyakan. Contohnya proyek LRT Jabodebek yang menghabiskan anggaran Rp32,6 triliun namun hanya memiliki tingkat keterisian 30% pada awal peluncuran. Proyek ini dinilai lebih menguntungkan masyarakat perkotaan dibandingkan pedesaan.
Di sisi lain, banyak wilayah di Indonesia masih kekurangan infrastruktur dasar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 31% jalan di wilayah pedesaan Indonesia dalam kondisi rusak atau rusak berat pada 2023.
Di Kabupaten Nias Selatan, warga bahkan menggunakan rakit darurat untuk menyeberangi sungai karena tidak adanya jembatan permanen.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa dana dari kenaikan PPN tidak akan dialokasikan secara merata untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar.
Selain infrastruktur, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi sektor yang paling rentan terdampak kenaikan PPN.
Dengan kontribusi sekitar 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja, UMKM menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Kenaikan PPN menjadi 12% akan memengaruhi struktur biaya operasional UMKM, terutama bagi yang bergantung pada bahan baku dan jasa transportasi yang dikenakan pajak.
Survei Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) pada 2023 menunjukkan bahwa 42% pelaku UMKM merasa kesulitan menaikkan harga produk mereka karena khawatir kehilangan pelanggan.
Dengan margin keuntungan yang tipis, sebagian besar UMKM harus menyerap kenaikan biaya sendiri, yang pada akhirnya menurunkan laba usaha mereka.
Selain itu, banyak UMKM yang belum sepenuhnya memahami regulasi terkait pajak. Kurangnya edukasi membuat mereka tidak memanfaatkan skema insentif seperti pajak final 0,5% yang ditawarkan pemerintah.
Ketua Umum Akumindo, Ikhsan Ingratubun, menyebut bahwa kenaikan PPN ini akan lebih membebani UMKM informal yang belum terdaftar secara resmi. Mereka terjepit di antara kenaikan harga bahan baku dan daya beli masyarakat yang melemah.
Kenaikan ini juga berpotensi menghambat pertumbuhan UMKM digital yang sedang berkembang pesat. UMKM yang bergabung di platform e-commerce seperti Shopee atau Tokopedia, harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, yang sering kali memiliki margin lebih besar untuk menyesuaikan harga.
Di sisi lain, kenaikan PPN berdampak langsung pada ekonomi masyarakat. Meski ada jaminan bahan pokok bebas PPN, tarif ini tetap akan memengaruhi sektor lain seperti transportasi dan distribusi. Akibatnya, harga barang kebutuhan sehari-hari berpotensi ikut naik.
Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022 memicu inflasi sebesar 0,18%. Dengan tarif baru yang lebih tinggi, risiko inflasi diperkirakan meningkat.
Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, memperingatkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan lebih terasa dampaknya pada masyarakat menengah ke bawah.
Menurutnya, biaya hidup mereka naik lebih cepat dibanding pendapatan. Meski bahan pokok tidak dikenakan PPN, kenaikan di sektor lain akan merambat pada harga barang secara keseluruhan.