PARBOABOA, Jakarta - Sudah 8 tahun kasus Vina Cirebon belum berakhir bahkan masih menjadi topik yang banyak diperbincangkan sampai saat ini, terutama terkait proses hukum yang dihadapi oleh para terpidana.
Pembunuhan yang melibatkan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky (Eky) di Cirebon, Jawa Barat, pada tahun 2016 menjadi salah satu peristiwa kriminal yang mencuri perhatian publik dan media.
Kejadian ini tak hanya memunculkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga membuka perdebatan panjang mengenai sistem peradilan hukum di Indonesia. Dengan melibatkan tujuh terpidana yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan satu terpidana dibawah umur yang menjadi sorotan penting dalam kasus ini.
Berikut adalah ulasan mendalam tentang kronologi kasus dan perkembangan Peninjauan Kembali (PK).
Kronologi Kasus
Pada malam tanggal 23 September 2016, Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky (Eky) ditemukan tewas dengan luka tusuk di sebuah lokasi terpencil di Cirebon. Penemuan ini segera memicu pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan intensif.
Berdasarkan bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dan keterangan saksi, penyelidikan mengarah pada keterlibatan sejumlah orang yang diduga terlibat dalam perencanaan dan eksekusi pembunuhan tersebut.
Setelah penyelidikan yang panjang, delapan orang terlibat dalam kasus ini akhirnya ditangkap dan diadili. Pada tahun 2018, Pengadilan Negeri Cirebon menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup kepada tujuh orang terpidana, sementara Saka Tatal, yang pada saat kejadian masih berusia anak-anak, dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.
Hukuman terhadap Saka Tatal menarik perhatian karena ia merupakan salah satu dari sedikit terpidana anak yang dihukum dalam kasus besar seperti ini.
Peninjauan Kembali (PK)
Pada 16 Desember, delapan terpidana dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), dengan harapan agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan dapat diubah atau dibatalkan.
Permohonan PK ini diajukan dalam dua perkara terpisah, yang masing-masing menyertakan alasan-alasan khusus dari para terpidana.
PK Nomor 198 diajukan oleh dua terpidana, Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya Wardana. Mereka berharap agar MA mempertimbangkan kembali keputusan pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman berat kepada mereka.
Dalam permohonan tersebut, Eko dan Rivaldi mengajukan argumen bahwa terdapat faktor-faktor tertentu yang mungkin belum sepenuhnya dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya, seperti keadaan mental atau faktor lainnya yang bisa mempengaruhi keputusan hukum.
Sementara, dalam PK Nomor 199, lima terpidana lain yaitu: Supriyanto, Jaya, Sudirman, Hadi Saputra, dan Eka Sandy juga mengajukan permohonan serupa.
Mereka berharap agar MA memberikan keringanan hukuman atau bahkan membatalkan putusan yang telah dijatuhkan. Dalam permohonan mereka, para terpidana ini mengajukan alasan yang lebih berkaitan dengan penyesalan mendalam atas tindakan mereka, serta harapan untuk mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup setelah menjalani proses hukum yang panjang.
Saka Tatal juga melakukan hal yang sama, permohonan PK dengan harapan untuk mempertimbangkan sebagai seorang anak pada saat peristiwa tersebut menjadi dasar bagi MA untuk memberikan keringanan atau bahkan pembebasan lebih awal.
Ia mengajukan argumen bahwa pada saat itu, ia belum sepenuhnya mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya secara penuh, mengingat usianya yang masih muda dan fakta bahwa ia berada dalam pengaruh orang dewasa yang lebih berpengaruh dalam perencanaan pembunuhan tersebut.
Namun, meskipun permohonan PK ini diajukan dengan harapan besar, MA menolak seluruh permohonan tersebut.
Pada 16 Desember 2024, MA menegaskan bahwa tidak terdapat kekhilafan atau kesalahan dalam putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya, dan status hukum para terpidana tetap berlaku sesuai dengan keputusan yang telah dibuat.
Keputusan MA untuk menolak permohonan PK ini menandai berakhirnya proses hukum yang panjang, dan menjadi titik akhir dari dinamika hukum dalam kasus yang menggemparkan Cirebon.
Meski demikian, bagi para terpidana, penolakan tersebut membawa kekecewaan yang mendalam, namun juga mempertegas bahwa keadilan hukum di Indonesia harus ditegakkan dengan penuh integritas dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.