PARBOABOA, Jakarta - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, melakukan kunjungan ke Gedung Putih pada Senin (7/7/2025) dan bertemu langsung dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut, keduanya membahas berbagai isu strategis, mulai dari konflik di Timur Tengah hingga masa depan rakyat Palestina.
Salah satu agenda yang dibahas adalah perkembangan terbaru di Iran. Trump secara terbuka menyatakan kebanggaannya atas kolaborasi militer dengan Israel, menyusul serangan terhadap sejumlah fasilitas nuklir Iran yang terjadi pada Juni lalu.
Ia menggambarkan kerja sama tersebut sebagai pencapaian besar, hasil dari “kerja keras” yang menurutnya telah membawa hasil signifikan dalam upaya melucuti kemampuan persenjataan nuklir Iran.
Netanyahu menanggapi dengan penuh pujian, di mana ia menyebut Amerika Serikat sebagai kekuatan yang membawa perubahan strategis di kawasan Timur Tengah.
Namun, isu yang paling sensitif dalam pertemuan tersebut adalah agresi militer Israel ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023. Trump secara terbuka mendesak Netanyahu untuk mengakhiri operasi militer di wilayah Palestina.
Ia juga mengungkapkan bahwa perwakilan Hamas telah menyatakan keinginan untuk melakukan pertemuan dan membahas gencatan senjata, yang ia sebut sebagai "pertanda positif bagi proses perdamaian."
Meski begitu, Trump enggan memberikan pernyataan jelas terkait dukungannya terhadap solusi dua negara sebagai kerangka yang selama ini diandalkan menjadi jalan damai antara Israel dan Palestina.
Sementara Trump berbicara soal deeskalasi, Netanyahu justru menyampaikan rencana kontroversial terkait relokasi warga Palestina dari Gaza.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah Israel, bersama Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, tengah menjajaki kemungkinan memindahkan warga Gaza ke wilayah lain di luar Palestina.
Netanyahu mengklaim ada negara-negara yang bersedia menampung dan menyediakan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Di tengah pertemuan yang sarat kontroversi itu, Netanyahu juga membawa agenda lain berupa rekomendasi resmi kepada Komite Nobel yang menominasikan Trump sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Ia menyatakan bahwa mantan presiden AS itu layak menerima penghargaan bergengsi tersebut atas perannya dalam mendorong perdamaian di Timur Tengah, terutama terkait hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
Trump, yang tidak mengetahui sebelumnya soal surat tersebut, tampak tersentuh dan menyampaikan terima kasih kepada Netanyahu. Ia menyebut nominasi itu sebagai "kejutan yang menyenangkan di tengah pertemuan penting mereka."
Pertemuan yang berlangsung saat negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas ini memperlihatkan betapa kompleks dan kontradiktif arah diplomasi Israel-AS di bawah figur Trump dan Netanyahu.
Di satu sisi, terdapat ambisi perdamaian dan pencitraan global dan di sisi lain, muncul rencana relokasi dan kebijakan militer yang terus menimbulkan gejolak di kawasan yang sudah lama dilanda krisis kemanusiaan.