Konflik India-Pakistan Memanas: Dampak Ekonomi Mengancam Indonesia

Situasi India-Pakistan terus memanas, berdampak pada aktivitas ekonomi global termasuk Indonesia. (Foto: Dok. AFP)

PARBOABOA, Jakarta – Ketegangan memuncak di Asia Selatan. India dan Pakistan terlibat saling serang dalam konflik militer yang menggetarkan kawasan.

Pemicunya adalah serangan berdarah yang terjadi pada 22 April 2025 di Kashmir, wilayah sengketa yang dikuasai India.

Aksi kekerasan itu menewaskan 26 turis, sebagian besar warga India, dan segera menyulut bara permusuhan.

India langsung menuding Pakistan sebagai dalang di balik serangan tersebut. Namun, Islamabad menepis tuduhan itu dan justru mendorong investigasi terbuka oleh komunitas internasional.

Alih-alih menunggu hasil penyelidikan, India mengambil langkah ofensif. Pada Rabu (7/5) dini hari, Negeri Bollywood melancarkan serangan besar ke wilayah Pakistan.

Serangan ini menewaskan 31 warga sipil dan melukai puluhan lainnya. Pemerintah Pakistan menyebut India meluncurkan 26 serangan di enam titik berbeda, melibatkan 80 unit jet tempur.

Tak tinggal diam, Pakistan melancarkan serangan balasan. Lima pesawat tempur India berhasil dijatuhkan, termasuk MiG-29 dan Su-30 buatan Rusia, serta Rafale asal Prancis. Situasi kian panas dan membahayakan stabilitas kawasan.

Wilayah pegunungan Himalaya ini memang sudah lama jadi sumber konflik India dan Pakistan. Terbagi dua, sebagian dikontrol India dan sisanya oleh Pakistan, Kashmir menyimpan luka panjang yang tak kunjung sembuh.

Langkah Antisipatif

Di tengah konflik tersebut, Indonesia pun diminta waspada. Peneliti Senior dari CSIS, Deni Friawan, menyebut bahwa pemerintah harus menyiapkan langkah antisipatif menghadapi potensi rambatan dari perang tersebut.

Menurutnya, jika eskalasi terus meningkat, dampaknya akan sangat terasa ke ekonomi nasional. Pasalnya, India dan Pakistan adalah mitra dagang penting bagi Indonesia, terutama untuk ekspor crude palm oil (CPO) dan batu bara.

“India tercatat sebagai negara tujuan ekspor terbesar keempat Indonesia, menyumbang sekitar 9 persen dari total ekspor nasional. Sementara Pakistan, meski porsinya lebih kecil di angka 1,9 persen, tetap menjadi pasar yang signifikan,” ungkap Deni melalui keterangannya, Jumat, (09/05/2025).

Namun ancaman tak hanya soal gangguan ekspor ke India dan Pakistan. Deni menilai konflik ini bisa melumpuhkan jalur perdagangan global dan mengacaukan rantai pasok internasional yang selama ini menopang ekspor Indonesia secara keseluruhan.

Situasi semakin pelik karena Indonesia juga tengah menghadapi tekanan eksternal lain: tarif balasan dari Amerika Serikat sebesar 32 persen, ditambah ketegangan dagang antara AS dan China yang belum juga reda.

Dampaknya, menurut Deni, bisa terasa langsung di pasar keuangan global. Ia memprediksi terjadinya flight to safety—fenomena di mana investor memindahkan aset ke instrumen atau negara yang dinilai lebih aman.

Arus modal yang berbalik arah ini akan memperlemah aliran investasi langsung asing (FDI) ke Indonesia.

Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan, memperumit tantangan dalam pengelolaan moneter dan fiskal di tengah besarnya utang jatuh tempo dan defisit anggaran.

Karena itu, Deni menekankan pentingnya menjaga kebijakan makroekonomi yang hati-hati dan kredibel.

Ia mewanti-wanti agar pemerintah tidak mengambil langkah kebijakan yang bisa memperparah ketidakpastian yang sudah ada.

Sementara itu, dari sudut pandang pangan, Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M Rizal Taufikurahman, mengingatkan bahwa konflik ini tak bisa dianggap jauh dari Indonesia. Dampaknya bisa sangat terasa di meja makan rakyat.

Rizal mencatat bahwa meski perdagangan langsung Indonesia dengan India dan Pakistan tergolong kecil, efek tidak langsung seperti kenaikan harga pangan, khususnya beras, bisa menjadi masalah serius.

“Tingginya ketergantungan Indonesia pada impor beras dan lemahnya rupiah terhadap gejolak global membuat harga pangan sangat rentan terguncang, membebani daya beli masyarakat,” jelanyanya.

Konflik ini juga ungkapnya, berpotensi menghambat konsumsi domestik yang kini sedang melambat, menambah tekanan terhadap anggaran subsidi, dan merusak persepsi investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia dan kawasan secara umum.

Untuk itu, Rizal mengajukan tiga jurus ampuh bagi Presiden Prabowo dan tim ekonominya.

Pertama, mempercepat transformasi ketahanan pangan lewat peningkatan produktivitas, digitalisasi distribusi, dan insentif swasembada komoditas strategis.

Kedua, memperkuat koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan demi menjaga stabilitas rupiah serta membangun kepercayaan pasar terhadap kekuatan fiskal nasional.

Ketiga, diplomasi ekonomi harus lebih aktif membuka alternatif jalur perdagangan dari negara-negara di luar zona konflik, sekaligus menggunakan forum regional untuk meredam eskalasi lebih lanjut.

Menurut Rizal, dengan strategi yang tepat dan terukur, Indonesia justru bisa menjadikan krisis ini sebagai momentum memperkuat pondasi ekonomi yang lebih tahan banting dan adaptif terhadap guncangan global.

Kaji Dampak Konflik

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa ketegangan antara India dan Pakistan tidak berdampak pada kelancaran ekspor batu bara Indonesia. India sendiri masih menjadi pelanggan setia dan terbesar bagi komoditas energi andalan Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir.

“Enggak ada masalah (konflik India dan Pakistan),” ujar Bahlil saat ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (8/5/2025), seperti dikutip dari Antara.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tiga negara tujuan ekspor terbesar Indonesia saat ini adalah Cina, Amerika Serikat, dan India. Dari berbagai komoditas, batu bara tetap menjadi andalan utama dalam kontribusi ekspor nasional.

Pada tahun 2023, nilai ekspor batu bara Indonesia tercatat mencapai 34,5 miliar dolar AS. Meski mengalami sedikit penurunan volume sebesar 0,79 persen, India tetap menduduki peringkat pertama sebagai pasar utama dengan total impor sebesar 108,07 juta ton. Nilai ekspornya pada tahun 2024 tercatat sebesar 6,25 miliar dolar AS, atau sekitar Rp102,34 triliun, turun 13,93 persen dibandingkan sebelumnya.

“Nah, pasti mereka (India) butuh batu bara kita, kan? Nggak ada masalah,” ujar Bahlil menutup pernyataannya dengan nada optimistis.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS