PARBOABOA, Jakarta - Ketika alih fungsi lahan semakin menggerus ruang hijau di Bali, Gubernur Wayan Koster justru “jatuh cinta” dengan Israel sebagai negara dengan pertanian yang sangat sukses.
Negara gurun yang dikenal jago mengubah tanah kering dan tandus menjadi lahan produktif.
Koster yakin, teknologi pertanian dari Timur Tengah bisa jadi solusi agar Bali tidak kehabisan pangan.
Adapun, Koster mendorong Dinas Pertanian untuk belajar langsung ke Israel guna meningkatkan produktivitas lahan pertanian di Pulau Dewata.
Inovasi teknologi pertanian yang mampu mengubah lahan kering menjadi produktif dinilai sangat potensial diterapkan di Bali.
“Sekarang sudah banyak metode pertanian berbasis teknologi yang terbukti berhasil. Bukan lagi sekadar pertanian konvensional. Kalau perlu, kita belajar ke Israel,” ujar Koster dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kantor Gubernur Bali, Selasa (15/4/2025).
Meski saat ini Bali masih sanggup memenuhi kebutuhan pangan untuk 4,4 juta penduduknya, tren pertumbuhan produksi pertanian terus menurun.
Pada 2018, surplus beras Bali mencapai 100 ton. Namun, angkanya merosot menjadi hanya 53 ribu ton pada akhir 2024.
Koster pun menyuarakan kekhawatiran terhadap alih fungsi lahan yang kian masif. Setiap tahun, ribuan hektare lahan pertanian berubah fungsi demi pembangunan fasilitas wisata dan infrastruktur lainnya.
“Kalau tidak ditangani serius, kita bisa menghadapi kesulitan pangan. Sawah-sawah terus berkurang,” katanya.
Pemerintah Provinsi Bali kini tengah menyusun aturan untuk menekan laju konversi lahan produktif.
Israel Juara Pertanian Dunia
Di tengah tantangan alam yang ekstrim seperti kekeringan berkepanjangan dan keterbatasan lahan subur, Israel justru menjelma menjadi salah satu raksasa teknologi pertanian dunia.
Transformasi ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari strategi cerdas dan konsistensi dalam mengembangkan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.
Tiga pilar utama menjadi landasan kesuksesan pertanian Israel.
Salah satu pilar terkuat adalah kemampuannya mengubah keterbatasan menjadi kekuatan, terutama dalam hal pasokan air.
Di negara yang sebagian besar wilayahnya berupa gurun, air adalah sumber daya langka. Namun, Israel berhasil membalikan keadaan dengan menjadi pemimpin global dalam teknologi desalinasi, yaitu proses mengubah air laut menjadi air tawar yang layak konsumsi.
Lima fasilitas besar yang berjejer di sepanjang pantai Laut Mediterania mampu memproduksi sekitar 600 juta meter kubik air bersih setiap tahun.
Hebatnya lagi, biaya produksinya tergolong efisien—hanya sekitar 50 sen per meter kubik.
Berkat teknologi ini, Israel tak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestiknya, tetapi juga berbagi air dengan negara tetangga seperti Yordania dan Palestina.
Di balik teknologi maju tersebut, terdapat kekuatan besar lainnya: pendidikan. Lebih dari separuh populasi dewasa di Israel mengenyam pendidikan tinggi, dan hal ini memberikan fondasi kuat bagi lahirnya inovasi.
Institusi seperti Technion dan Hebrew University menjadi pusat riset terdepan dalam bidang pertanian, menghasilkan berbagai terobosan yang tidak hanya menguntungkan Israel, tetapi juga menjadi rujukan global.
Budaya berpikir kritis, eksploratif, dan riset sejak usia dini mendorong generasi mudanya untuk terus menciptakan teknologi yang menjawab tantangan dunia nyata.
Yang paling mengagumkan, tentu saja bagaimana Israel mampu menciptakan ladang hijau di tengah gurun.
Meski dua pertiga wilayah negaranya adalah padang pasir, Israel berhasil mencukupi sekitar 95% kebutuhan pangannya sendiri.
Tidak hanya itu, mereka bahkan mampu mengekspor produk pertanian berkualitas tinggi ke Eropa dan negara lainnya.
Teknologi seperti irigasi tetes—yang memungkinkan pemberian air langsung ke akar tanaman secara hemat—menjadi tulang punggung sistem pertanian mereka.
Selain itu, penggunaan air limbah yang telah didaur ulang dan pengembangan tanaman tahan kekeringan juga menjadi strategi utama.
Hasilnya, produk-produk seperti tomat cherry dan paprika Israel kini dikenal di seluruh dunia karena kualitasnya.
Tak heran jika banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, India, dan Vietnam, mengirimkan para petani dan ilmuwan untuk belajar langsung dari Israel melalui program pelatihan seperti MASHAV.
Mereka datang untuk menyerap ilmu dari negeri yang telah membuktikan bahwa keterbatasan alam bukanlah akhir dari segalanya—asal dihadapi dengan ilmu pengetahuan dan tekad kuat.
Berbagai teknologi pertanian unggulan yang dikembangkan Israel pun semakin menarik perhatian dunia.
Selain desalinasi dan irigasi tetes, ada pula teknologi rumah kaca pintar, sistem pertanian vertikal, sensor tanah dan cuaca berbasis IoT (Internet of Things), serta drone pertanian yang mampu memetakan lahan dan menyemprotkan pestisida secara presisi.
Semua teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan jangka panjang.
Inovasi demi inovasi dari Israel menjadi bukti bahwa masa depan pertanian bukan sekadar soal bertani, tetapi soal sains, teknologi, dan kemauan untuk terus belajar.