Pengurangan Hukuman Setya Novanto: Babak Baru Drama E-KTP

Setya Novanto. (Foto: Dok. Antara)

PARBOABOA, Jakarta - Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung terhadap Setya Novanto menandai babak baru dalam salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia.

Mantan Ketua DPR RI yang sebelumnya divonis 15 tahun penjara, kini mendapat keringanan hukuman menjadi 12 tahun 6 bulan.

Dengan beragam novum dan alasan yuridis yang diajukan tim pengacara, cerita panjang tentang korupsi e-KTP kembali menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan sedang ditegakkan, atau justru direduksi?

Dalam putusan terbaru yang diunggah pada laman Informasi Perkara MA dan dibacakan pada Rabu (4/6/2025), hukuman Setya dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.

Tak hanya itu, pidana denda pun diubah menjadi Rp500 juta, dengan ancaman 6 bulan kurungan jika tidak dibayar.

Amar putusan yang tercantum dalam dokumen Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 menyebutkan bahwa Setya Novanto tetap terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain hukuman pokok, MA juga memutuskan agar Setya membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta, yang dikompensasi dengan titipan dana sebesar Rp5 miliar.

Sisa kewajiban keuangan sebesar Rp49,05 miliar akan digantikan dengan pidana tambahan selama 2 tahun jika tidak dibayarkan.

Tak hanya itu, Setya juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama dua tahun enam bulan, terhitung setelah ia selesai menjalani masa pidana pokok.

Putusan ini dipimpin oleh Hakim Agung Surya Jaya, dengan dua anggota majelis, Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono.

Novum ala Setnov

Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail, menyebut sejumlah novum yang diajukan dalam permohonan PK sebagai dasar pengurangan hukuman kliennya.

Salah satu yang paling disorot adalah kesaksian agen FBI Jonathan E. Holden dalam sidang pengadilan di Amerika Serikat.

Holden menyebut bahwa tidak ada dana yang dikirim dari Johanes Marlim—salah satu pihak yang terlibat dalam skandal e-KTP—kepada Setnov.

Tak hanya itu, tim hukum juga membawa bukti transaksi keuangan antara Anang Sugiana Sudihardjo dan Made Oka Masagung senilai USD 3,5 juta.

Maqdir menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak melibatkan Setya Novanto secara langsung, sehingga tidak semestinya dijadikan dasar tuduhan korupsi terhadap kliennya.

Ia juga menyinggung posisi Setya saat proyek e-KTP berlangsung: sebagai anggota Komisi III DPR, yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Kementerian Dalam Negeri sebagai pihak pelaksana proyek.

Dari sini, Maqdir berargumen bahwa kliennya seharusnya tidak bertanggung jawab atas proyek pengadaan tersebut.

Menurut Maqdir, dengan pengurangan hukuman ini, Setya seharusnya sudah layak bebas secara bersyarat karena telah menjalani lebih dari dua pertiga masa hukumannya sejak ditahan pada 2017.

Ia menyebut, dengan remisi dan perhitungan administratif, Setnov seharusnya bebas dalam waktu dekat.

Menuju Dinding Penjara

Pada tanggal 17 Juli 2017, publik dikejutkan oleh langkah tegas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).

Tuduhan yang dialamatkan bukan perkara sepele—Setya diduga berperan aktif dalam mengatur alokasi anggaran proyek bernilai fantastis Rp 5,9 triliun.

Bersama rekannya, Andi Narogong, ia dituduh merekayasa lelang demi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Dampaknya? Negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,3 triliun, angka yang mengoyak kepercayaan rakyat pada pengelolaan keuangan negara.

Namun Setya tak tinggal diam. Ia memilih untuk melawan balik lewat jalur hukum dengan mengajukan gugatan praperadilan pada 4 September 2017.

Dalam waktu singkat, langkahnya membuahkan hasil. Pada 29 September, Hakim Cepi Iskandar menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak sah.

Alasannya: tindakan itu dianggap prematur dan hanya bersandar pada bukti-bukti lama.

Keputusan ini sempat membuat publik geram dan KPK dalam posisi yang sulit, meski hanya sementara.

Tidak mau menyerah, KPK segera membuka penyidikan baru. Meski dua kali dipanggil untuk diperiksa, Setya memilih untuk tidak hadir.

Ketidakhadirannya menjadi sinyal kuat bahwa ia mencoba menghindari proses hukum. Akhirnya, pada 10 November 2017, KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka.

Surat panggilan resmi dikirim ke rumahnya, namun respons yang diberikan bukan klarifikasi, melainkan upaya penghindaran hukum yang semakin mencolok.

Panggung Drama

Periode 15 hingga 17 November menjadi salah satu babak paling dramatis dalam perjalanan kasus ini.

Setelah tiga kali mangkir dari panggilan KPK, Setya resmi dinyatakan buron. Pada malam 15 November, petugas KPK menggerebek kediamannya, namun tak menemukan dirinya di sana.

Kejutan datang keesokan harinya—mobil yang ditumpangi Setya menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau.

Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tampak lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Namun drama itu tak bertahan lama. Pada 17 November 2017, KPK resmi menahan Setya Novanto, mengakhiri pelariannya yang penuh intrik.

Tak mau memperpanjang penantian, KPK menyelesaikan berkas perkara dengan cepat. Pada 5 Desember, berkas dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan.

Praperadilan kedua yang sempat diajukan pun menjadi tidak relevan ketika sidang pokok perkara resmi dimulai pada 13 Desember 2017.

 Hukum akhirnya bergerak dengan pasti, membawa Setya ke pengadilan yang selama ini ia hindari.

Hakim Menolak Eksepsi

Pada 4 Januari 2018, tim hukum Setya mencoba menggugurkan dakwaan melalui eksepsi. Tapi upaya itu kandas.

Hakim menyatakan bahwa dakwaan yang diajukan oleh jaksa telah sesuai hukum dan layak dilanjutkan ke proses pembuktian di persidangan.

Keputusan ini menjadi pukulan telak bagi tim pembela dan membuka babak baru dalam pertarungan hukum yang semakin memanas.

Ketika sidang memasuki tahap saksi, atmosfer politik nasional mendadak memanas.

Pada 25 Januari 2018, nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul dalam kesaksian Mirwan Amir atas dorongan pengacara Setya.

Tudingan ini memicu kemarahan Partai Demokrat, yang segera melaporkan pernyataan tersebut sebagai bentuk pencemaran nama baik.

Kontroversi pun meluas ke luar ruang sidang, mengguncang opini publik dan menambah kompleksitas perkara.

Pada Februari hingga Maret 2018, Setya Novanto tampil berbeda. Ia tampak mencatat banyak nama di ruang sidang—dari M. Nazaruddin hingga Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).

Pada 22 Maret, ia bahkan menitikkan air mata, menyampaikan permintaan maaf ke publik dan menawarkan diri sebagai justice collaborator.

Ia menyebut nama-nama penting seperti Puan Maharani dan Pramono Anung. Sayangnya, jaksa menolak permohonannya karena dinilai tak memberikan informasi baru yang substansial untuk pengembangan kasus.

Tuntutan dan Puisi

Jaksa menuntut Setya dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar pada 29 Maret.

Dalam nota pembelaannya, Setya mencoba menarik simpati dengan menyebut bahwa mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, memiliki peran yang lebih besar.

Ia juga membacakan puisi berjudul “Di Kolong Meja” karya Linda Djalil—sebuah simbolisasi perjuangan, pengakuan, dan keputusasaan yang tak berhasil menyelamatkannya dari vonis berat.

Pada 24 April 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, serta kewajiban mengembalikan uang negara sebesar USD 7,3 juta.

Vonis ini menjawab rasa penasaran publik sekaligus mengukuhkan bahwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek e-KTP.

 Ini menjadi momen penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun episode belum berakhir. Pada 14 Juni 2019, publik kembali dikejutkan oleh aksi nekat Setya yang "melarikan diri" dari RS Santosa Bandung, tempat ia dirawat dengan alasan membayar tagihan.

Ia tertangkap kamera sedang belanja bahan bangunan di Padalarang bersama sang istri.

Kejadian ini memicu kemarahan masyarakat dan membuat Setya segera dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur, sebuah penjara dengan tingkat pengamanan super maksimum.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS