PARBOABOA, Jakarta - Sebagai ibukota negara yang penuh dinamika dan hiruk-pikuk aktivitas modern, ternyata Jakarta menyimpan ruang waktu yang mampu membawa kita kembali menelusuri jejak masa lalu.
Di balik gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk modernitas, masih ada sudut kota yang menyimpan napas masa lalu: Kota Tua Jakarta. Dulu dikenal sebagai Batavia, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan Hindia Belanda.
Kini, ia berubah menjadi kawasan wisata sejarah yang menawan. Aksesnya pun sangat mudah, cukup naik KRL dan turun di Stasiun Jakarta Kota, kita langsung disambut oleh aura klasik yang seolah membawa kita kembali ke abad ke-18.
Langkah pertama ketika memasuki area ini pasti akan mengarah ke Taman Fatahillah, pusat aktivitas utama di Kota Tua.
Di taman ini, nuansa kolonial begitu terasa. Banyak pengunjung menyewa sepeda ontel berwarna cerah untuk berkeliling, atau sekadar duduk menikmati suasana tempo dulu.
Di sisi taman berdiri kokoh Museum Fatahillah, yang dulunya adalah Balai Kota Batavia atau Stadhuis. Dibangun pada tahun 1710, museum ini menyimpan banyak artefak sejarah, termasuk ruang tahanan bawah tanah yang dipercaya menyimpan banyak cerita kelam perjuangan rakyat di masa penjajahan.
Tak jauh dari taman, Museum Wayang pula menyambut dengan wajah barunya pasca renovasi. Museum yang dulunya terasa padat dan klasik, kini tampil lebih rapi dan modern.
Koleksi wayang dari berbagai daerah hingga mancanegara dipamerkan dengan pencahayaan menarik. Bahkan ada ruang interaktif dengan VR, AR, dan hologram yang membuat pengalaman belajar sejarah wayang jadi lebih menyenangkan.
Anak-anak pun bisa mewarnai gambar dan melihat hasil karyanya muncul di layar hologram. Tiketnya sangat terjangkau, hanya sekitar Rp. 10.000 untuk dewasa, bahkan lebih murah untuk pelajar dan anak-anak.
Bangunan Tua dan Cerita yang Tak Pernah Usang
Melangkah sedikit lebih jauh, sebuah bangunan merah mencolok berdiri di tepi Kali Besar: Toko Merah.
Dibangun pada 1730 oleh Gustaf Willem Baron van Imhoff, tempat ini awalnya merupakan rumah tinggal pejabat VOC.
Namun, seiring waktu, tempat ini berganti fungsi berkali-kali. Kini, sebagian bangunannya menjadi cafe yang estetik dan sering dijadikan lokasi foto.
Meski terlihat tenang, bangunan ini menyimpan cerita kelam. Konon, tragedi Geger Pecinan pernah terjadi di sekitar tempat ini, di mana darah yang mengalir menjadi asal muasal nama "merah" pada bangunannya. Legenda atau fakta, kisah ini menambah nilai historis bangunan yang sudah berusia hampir tiga abad.
Tak jauh dari sana, sebuah coffee shop unik bernama Babah Koffie yang memikat perhatian. Berlokasi di bangunan yang dahulu dijuluki “The Forbidden House of Batavia”, tempat ini sekarang menjadi surga pecinta kopi dan sejarah.
Interiornya memadukan gaya peranakan Jawa-Tionghoa yang elegan. Pengunjung bisa mencicipi kopi dari Kawisari, perkebunan kopi tertua di Jawa, sambil duduk di ruangan penuh karya seni yang mengingatkan pada masa kolonial.
Bahkan, ada ruang VIP cantik untuk fine dining dan area outdoor yang nyaman untuk bekerja atau sekadar menikmati sore hari.
Melanjutkan perjalanan, Jembatan Kota Intan menjadi saksi bisu masa kejayaan Batavia. Dibangun pada 1628, jembatan jungkit ini dahulu digunakan kapal dagang yang hilir mudik di kanal.
Sampai kini, struktur kayunya masih kokoh, dan walaupun tidak semua bisa melewatinya, jembatan ini tetap menjadi objek menarik bagi pecinta sejarah dan fotografi.
Tak lengkap rasanya menjelajahi Batavia tanpa singgah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sudah eksis sejak abad ke-12 dan menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara.
Kini, pengunjung bisa menyewa perahu dengan tarif sekitar Rp. 100.000 dan menikmati semilir angin serta sunset yang memesona.
Pemerintah pun tengah mengembangkan kawasan ini sebagai destinasi wisata maritim, termasuk untuk kapal pesiar dan kapal penumpang.
Suasana klasik pelabuhan tua ini masih terjaga dengan baik, membuatnya jadi tempat pas untuk mengisi sore dengan nuansa romantis dan historis.
Penjelajahan ditutup di Museum Bahari, meskipun saat itu museum sudah tutup. Dulunya merupakan gudang penyimpanan rempah VOC, gedung ini dibangun pada 1652 dan mengalami renovasi berkala hingga abad ke-18.
Di halaman museum terdapat berbagai replika perahu nelayan, lengkap dengan ukuran dan fungsinya. Tiket masuknya pun juga sangat ramah di kantong.
Kota Tua Jakarta bukan sekadar destinasi wisata biasa. Ini adalah ruang waktu yang membawa pengunjung pada jejak-jejak masa lalu.
Dari arsitektur kolonial hingga aroma kopi di rumah tua, dari museum imersif hingga pelabuhan tua yang hidup kembali, dan setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap langkahnya menyentuh sejarah.