PARBOABOA, Jakarta - Kasus kekerasan dan intoleransi kembali mencederai kehidupan beragama di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Terbaru, kegiatan ibadah retret pelajar Kristen di sebuah vila di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga pada Jumat (27/6/2025).
Tidak hanya dibubarkan, para peserta juga diintimidasi dan simbol-simbol keagamaan mereka dirusak.
Video yang beredar luas di media sosial menunjukkan bagaimana ratusan warga mengepung lokasi, merusak meja, kursi, hingga benda ibadah menyerupai kayu salib.
SETARA Institute, dalam siaran persnya pada Senin (30/6/2025), mengecam keras kejadian ini sebagai bentuk kekerasan berbasis agama yang melanggar hak konstitusional warga negara.
“Peristiwa ini tidak hanya menyakiti umat Kristen, tapi juga menampar wajah kebhinekaan yang seharusnya dijaga bersama,” tegas SETARA Institute.
Ironisnya, pembubaran tersebut dilakukan dengan dalih tidak adanya izin kegiatan keagamaan. Padahal, dalam negara hukum seperti Indonesia, kegiatan ibadah seharusnya tidak membutuhkan izin.
Konstitusi, khususnya Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, menjamin kebebasan tiap warga negara untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya.
SETARA menyoroti bahwa tindakan intoleran semacam ini bukan peristiwa tunggal. Jawa Barat disebut sebagai “zona merah” pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), dengan 38 peristiwa pelanggaran sepanjang 2024.
Di tahun yang sama, total tercatat 260 kasus pelanggaran KBB secara nasional, atau meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya.
Kasus-kasus lain di Jawa Barat, seperti pembubaran acara Ahmadiyah di Kuningan dan penyegelan masjid di Banjar, menunjukkan pola kekerasan sistemik yang terus berulang.
Respons Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), dinilai tak menyentuh akar persoalan. Ia memang memberikan santunan pribadi sebesar Rp 100 juta untuk memperbaiki kerusakan.
Namun, tindakan itu lebih dilihat sebagai aksi filantropi demi konten media sosial, bukan langkah nyata sebagai kepala daerah yang wajib menjamin hak konstitusional warganya.
“Alih-alih menyelesaikan akar persoalan, bantuan tersebut hanya mempertegas absennya negara dalam menjamin prinsip non-diskriminasi dan pencegahan keberulangan,” kata SETARA.
Karena itu, SETARA mendesak Presiden Prabowo untuk menunjukkan keberpihakan tegas terhadap prinsip konstitusi.
Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, juga diminta menjatuhkan sanksi tegas terhadap Gubernur Jawa Barat yang dianggap gagal mengantisipasi dan menangani kasus intoleransi.
“Intoleransi yang dibiarkan hanya akan menjadi bom waktu yang menghancurkan kebhinekaan dan memperlemah fondasi sosial bangsa,” tutup SETARA.