KPU Batalkan Aturan yang Merahasiakan Ijazah Capres-Cawapres

Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang kerahasian dokumen pejabat publik resmi dibatalkan oleh Ketua KPU Mochammad Afifuddin (Foto: PARBOABOA/Bina Karos).

PARBOABOA, Jakarta - KPU resmi membatalkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan sejumlah dokumen persyaratan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebagai informasi publik yang dikecualikan. 

Aturan yang diteken Ketua KPU Mochammad Afifuddin pada 21 Agustus 2025 itu sempat menuai kontroversi karena memasukkan ijazah dalam daftar dokumen rahasia.

“Selanjutnya untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak yang kita anggap penting, misalnya Komisi Informasi Publik, kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025,” ujar Afifuddin di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025).

Afifuddin menegaskan, keputusan ini diambil setelah KPU menerima banyak masukan dari masyarakat. Rapat khusus juga digelar untuk membahas persoalan tersebut, sekaligus mengevaluasi kebutuhan transparansi informasi publik dalam penyelenggaraan pemilu.

Dalam keputusan yang kini dibatalkan itu, tercantum 16 dokumen yang ditetapkan sebagai informasi publik yang dikecualikan selama lima tahun, kecuali jika pemilik dokumen memberi izin tertulis atau pengungkapan dilakukan karena berkaitan dengan jabatan publik.

Beberapa dokumen yang masuk daftar antara lain fotokopi KTP elektronik, akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian, laporan harta kekayaan pribadi, hingga fotokopi ijazah. 

Ketentuan ini memicu perdebatan lantaran publik menilai data tersebut justru penting untuk menjamin keterbukaan informasi calon pemimpin negara.

Sejumlah legislator turut menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan KPU. Anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menilai aturan itu melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi.

Menurut Deddy, keterbukaan informasi dari pejabat publik bersifat "harus" karena warga negara berhak mengetahuinya. "Nggak membeli kucing dalam karung. Harusnya semua pejabat publik terbuka,” kata Deddy.

Pandangan serupa disampaikan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia. Ia mempertanyakan urgensi penerbitan aturan tersebut, terlebih pilpres berikutnya baru digelar 2029.

“Tentu kita mempertanyakan urgensinya. Kenapa tiba-tiba KPU menerbitkan PKPU, padahal pilpres berikut masih empat tahun lagi,” ujar Doli. 

Ia juga menyinggung bahwa biasanya penyusunan aturan teknis pemilu dilakukan melalui konsultasi bersama DPR.

Komitmen Transparansi

Menanggapi kontroversi tersebut, Afifuddin memastikan KPU akan menyesuaikan kembali pengelolaan dokumen syarat pencalonan capres-cawapres sesuai peraturan perundang-undangan.

“Kami akan berkoordinasi bagaimana kemudian kalau ada hal-hal yang kita anggap perlu dilakukan berkaitan dengan seluruh data dan informasi yang ada di KPU, termasuk dokumen-dokumen calon,” jelasnya.

Ia menambahkan, pembahasan pembatalan ini dilakukan secara internal dan tidak melibatkan pihak Istana maupun DPR. 

“Tidak ada diskusi dari pihak yang tadi disebutkan. Yang ada, ada istilah uji konsekuensi,” kata Afifuddin.

Dengan pembatalan aturan tersebut, dokumen seperti ijazah capres-cawapres kini tidak lagi dikecualikan dan tetap dapat diakses publik sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 

Keputusan ini diharapkan dapat mengembalikan prinsip transparansi dalam penyelenggaraan pemilu serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Flashback Polemik

Polemik mengenai keterbukaan ijazah calon presiden dan calon wakil presiden kembali menjadi sorotan publik pada Agustus 2025. 

Semuanya bermula ketika KPU menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang secara sepihak menetapkan sejumlah dokumen syarat pencalonan sebagai informasi publik yang dikecualikan.

Dalam daftar tersebut, ijazah capres-cawapres termasuk di antara 16 dokumen yang dinyatakan rahasia selama lima tahun. 

Ketentuan itu hanya memberi ruang terbuka bila pemilik dokumen mengizinkan secara tertulis atau jika ada kepentingan jabatan publik yang menuntut pengungkapan.

Sejak Pilpres 2019, isu ijazah capres sudah berulang kali memantik perdebatan. Keraguan, spekulasi, hingga gugatan hukum pernah muncul, meski tidak pernah terbukti. 

Karena itulah publik menilai ijazah bukan sekadar dokumen pribadi, melainkan bagian dari transparansi calon pemimpin negara.

Ketika KPU merilis aturan baru yang justru mengunci akses terhadap dokumen tersebut, gelombang kritik langsung menguat. 

Publik menilai keputusan itu seperti mundur dari semangat keterbukaan informasi yang selama ini digaungkan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS