PARBOABOA, Jakarta - Angka perceraian di Indonesia terus mengalami lonjakan dalam tiga tahun terakhir.
Dalam acara Islami Festival di Redtop Hotel, Jakarta, pada Sabtu (10/6/2023), Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamarrudin Amin, mengungkapkan, pada tahun 2022, terdapat lebih dari 516.000 kasus perceraian di Indonesia.
Angka ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik yang mencatat 516.344 kasus perceraian pada tahun 2022. Ini merupakan jumlah tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Angka perceraian tahun 2022 meningkat sekitar 15,31 persen jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Sementara pada tahun 2020, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 291.677.
Penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran. Namun, faktor-faktor yang memicu konflik ini bervariasi, salah satunya adalah alasan ekonomi.
Pakar Kebijakan Publik dari UPN 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulisnya menyatakan, satu dari empat perceraian disebabkan oleh isu-isu keuangan. Tekanan ekonomi yang berkelanjutan sering kali memicu konflik dalam keluarga.
Hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi pascapandemi belum merata dalam memberikan manfaat kepada semua pihak, termasuk keluarga. Tingginya angka perceraian mencerminkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelangsungan hubungan pernikahan.
Penyebab Lain Perceraian di Indonesia
Namun, tidak hanya masalah ekonomi yang menjadi penyebab tingginya angka perceraian di Indonesia. Perubahan sosial, termasuk penelantaran, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan poligami juga merupakan faktor yang mencerminkan keretakan dalam norma-norma sosial.
Kemudahan akses ke media sosial dan informasi seringkali mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pernikahan dan komitmen dalam hubungan.
Dalam konteks ini, pengaruh tokoh masyarakat dan media sosial dapat berperan besar dalam membentuk norma sosial. Keputusan tokoh publik untuk bercerai bisa mengirimkan pesan bahwa perceraian adalah pilihan yang wajar dan dapat diterima.
Achmad mengungkapkan bahwa inti dari fenomena ini adalah ketidakseimbangan yang signifikan antara struktur ekonomi dan sosial. Meskipun pemulihan ekonomi terjadi, perubahan sosial yang cepat akibat teknologi dan informasi semakin mengkomplekskan tantangan dalam mempertahankan hubungan.
Solusi dari masalah ini, menurut Achmad, tidak hanya terletak pada individu saja, tetapi juga memerlukan pembaruan dalam sektor ekonomi dan transformasi sosial.