PARBOABOA, Pematangsiantar - Tak semua informasi mudah diakses, sebab selalu ada narasumber yang enggan bicara. Bagi jurnalis, menembus narasumber sering kali menjadi tantangan pertama sekaligus yang paling menyita waktu dan energi dalam proses peliputan.
Di lapangan, pewarta kerap berhadapan dengan narasumber yang curiga, menjaga jarak, bahkan menolak memberikan keterangan sama sekali. Persoalannya bukan sekadar akses, tetapi juga soal membangun kepercayaan, memahami posisi narasumber, hingga menjaga etika saat harus menggali informasi sensitif.
Sementara, keterangan narasumber penting untuk menghasilkan berita berimbang, sebagai bagian dari profesionalisme jurnalisme—yang memberi ruang bagi semua pihak. Namun tak sedikit narasumber mengira kehadiran wartawan hanya untuk mencari celah, bukan membangun pemahaman publik.
Inilah alasan pentingnya bagi jurnalis memahami cara mendekati narasumber dengan tepat. Persoalan ini menjadi fokus dalam kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa pada Jumat pagi (16/5/2025), dengan tema 'Menembus Narasumber'. Materi ini dibawakan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Tonggo Simangunsong.
Tonggo pernah bekerja sebagai reporter ‘Medan Bisnis’ sebelum menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Ia terpilih Januari 2025. Statusnya sudah bukan wartawan organik melainkan ‘freelancer’. Ia kontributor untuk sejumlah media dalam dan luar negeri termasuk ‘The Jakarta Post’, ’ Mongabay’, ‘Project Multatuli’, ‘The South China Morning Post’, ‘VICE’, ‘Al Jazeera’, ‘New Naratif’, ‘China Dialogue’, dan ‘DestinAsia’. Gemar mengerjakan liputan mendalam dan semi investigasi, fokusnya pada isu lingkungan, HAM, budaya, dan sosial.
"Sering kali jurnalis dilihat narasumber hanya sebagai pemburu berita, padahal tujuan utama kita adalah membantu mereka menyampaikan informasi secara tepat," jelasnya dalam kelas.
Karena itu, kepada para peserta, Tonggo menerangkan pentingnya jurnalis menyampaikan argumen kuat agar narasumber paham bahwa kehadiran jurnalis bukan semata menulis berita, tetapi untuk membangun pemahaman publik yang adil.
Ia membagikan pengalamannya bagaimana menghadapi kebuntuan dalam praktik jurnalistik. Diskusi juga terbangun lewat sesi berbagi pengalaman antara pemateri dan peserta, sehingga kelas terasa hidup dan relevan dengan situasi di lapangan.
"Banyak teori tentang cara menembus narasumber, namun praktik di lapangan sering tak sejalan. Jadi materi ini perlu disampaikan dengan pendekatan berbagi pengalaman jurnalis," jelasnya pada Parboaboa, Jumat (16/5/2025).
Karena menembus narasumber merupakan keterampilan penting bagi jurnalis, kemampuan ini perlu diasah melalui kombinasi antara teori dan pengalaman lapangan agar benar-benar dapat diterapkan.
Tonggo menjelaskan bahwa semua keterampilan tumbuh dari pengalaman. Menulis, menembus narasumber, dan membangun jejaring bukan semata soal bakat, tetapi juga soal keberanian. Dalam hal ini, pemahaman teori bisa menjadi salah satu sumber keberanian tersebut.
"Dengan memahami teori, jurnalis setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang harus dilakukan sebelum turun ke lapangan. Sebagai bekal awal agar tidak kebingungan ketika menghadapi situasi nyata dalam peliputan," terangnya.
Namun bagi jurnalis junior, menurutnya, keberanian saja belum cukup. Kolaborasi menjadi kunci. Perlu bekerja sama dengan yang berpengalaman atau yang memiliki jejaring luas, agar lebih mudah menghadapi kendala di lapangan. Di situlah proses belajar terus berlangsung.
Sehingga dalam praktiknya, jelas Tonggo, membangun koneksi juga menjadi bagian penting dari kerja jurnalistik. Jika seseorang meliput isu lingkungan, ia harus aktif menjalin komunikasi dengan para pegiat dan komunitas lingkungan.
Begitu pula ketika menyusun laporan tentang masyarakat adat, jurnalis perlu membaur dengan masyarakat, serta menjalin hubungan dengan organisasi seperti AMAN atau KSSPM. Dari sana, informasi bisa digali lebih dalam dan sudut pandang berita dapat ditemukan dengan lebih tajam.
Selain itu, hal penting lain yang ingin ditanamkan Tonggo dalam materi ini adalah pemahaman terhadap medan liputan. Seorang jurnalis perlu memetakan siapa saja aktor yang terlibat dalam isu yang hendak diliput, dan merancang siapa yang bisa diwawancarai terlebih dahulu.
Persiapan juga mencakup pencarian referensi sebelum turun ke lapangan. Medan liputan juga bukan hanya soal lokasi, tetapi juga tentang memahami konteks sosial, politik, hingga psikologis narasumber yang bisa memengaruhi proses pengumpulan informasi.
"Sebagai calon jurnalis muda, yang harus tetap diingat mereka dalam materi ini adalah mengasah kemampuan membangun argumen kuat. Sebab dari situlah kepercayaan narasumber bisa tumbuh sehingga keterbukaan bisa terbentuk," tutupnya.
Belajar dari Lapangan
Sebelumnya, pada 1–10 Mei 2025, peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa telah turun ke lapangan secara berkelompok untuk mengasah insting jurnalis melalui reportase dan interaksi langsung dengan narasumber. Pengalaman lapangan menjadi konteks penting yang mempermudah peserta memahami materi di kelas.
Salah satu peserta, Indah Cahyani (20), mahasiswa UIN Sulthan Thaha Saifuddin, menceritakan pengalamannya saat pertama kali terjun ke lapangan. Bersama kelompoknya, ia melakukan reportase tentang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Pematangsiantar dan bagaimana peran pemerintah dalam menangani isu tersebut.
Ia menceritakan bahwa saat pertama kali bertemu narasumber, mereka datang terlambat sekitar empat puluh menit. Keterlambatan itu membuat narasumber menilai mereka kurang disiplin, dan situasi tersebut sempat membuat suasana menjadi canggung.
"Setelah menyimak materi yang disampaikan pagi tadi, saya menyadari bahwa kedisiplinan juga kunci penting dalam membangun kepercayaan dengan narasumber. Tindakan kecil seperti datang tepat waktu bisa berdampak terhadap proses wawancara," ungkapnya pada Parboaboa, Jumat (16/5/2025).
Ia juga mengingat pengalamannya saat menemui Kepala Dinas Sosial Pematangsiantar. Pada awalnya, kepala dinas enggan memberikan informasi. Namun, setelah mengetahui bahwa salah satu anggota kelompok ternyata sudah dikenalnya, ia mulai membuka diri untuk berbicara lebih banyak.
Dari materi yang disimaknya, Indah kembali menyadari pentingnya koneksi dalam dunia jurnalistik. Memiliki jejaring atau relasi dapat membuka akses informasi dan memperlancar proses peliputan di lapangan.
Hal lain yang ingin terus diingatnya dari materi tersebut adalah pentingnya melakukan riset sebelum turun ke lapangan. Karena saat repostase berlangsung, kelompoknya merasa kebingungan akibat minimnya pemahaman awal terhadap isu yang mereka angkat.
"Padahal, riset seharusnya menjadi langkah awal yang tak boleh diabaikan. Ke depan jangan sampai itu terlupakan, karena riset dapat memberi arah dan kejelasan pada proses peliputan," ungkap Indah.
Begitu juga cerita peserta lainnya, Michael Josua Robert Sijabat (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Ia bersama kelompoknya melakukan reportase tentang Kampung Ulos di Samosir, dengan menggali sisi sejarah dan dampak ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah kampung itu direnovasi Presiden Jokowi.
Mereka diterima dengan baik oleh warga setempat karena membawa nama pelatihan jurnalistik Parboaboa. Namun, proses menembus narasumber tak selalu berjalan mulus. Salah satu penenun sempat mengulur waktu dan belum bersedia diwawancarai, sehingga mereka harus menunggu hingga narasumber tersebut merasa siap.
Beruntung, mereka sudah mengenal ketua pengelola wisata kampung tersebut. Pertemuan dengannya menjadi kunci. Ketua wisata membantu membuka jalan dengan berbicara langsung kepada ibu penenun itu, hingga akhirnya wawancara pun dilakukan.
"Mengingat itu, saya merasa materi tentang membangun koneksi terasa relevan. Memiliki koneksi dapat mempermudah melakukan proses wawancara. Jika tidak mengenal ketua wisata, mungkin kami harus menunggu lebih lama," ungkapnya pada Parboaboa, Jumat (16/5/2025).
Dari materi yang disimak, hal lain yang ingin ditanamkannya dalam praktik jurnalistiknya adalah pentingnya kejujuran kepada narasumber. Kejujuran dapat membangun rasa percaya dan membuat narasumber merasa nyaman saat berbagi informasi.
Editor: Rin Hindryati