PARBOABOA - Bagi Ramini (50), Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, adalah kehidupan. Kehadiran PLTU membajak separuh nasibnya sebagai petani.
Hasil panen padi tak lagi sebanyak dulu. Kontur tanah yang mulai mengering di area persawahan membuat semuanya hancur. Desa Mekarsari kini benar-benar berubah.
“Sekarang kalau mau menanam padi, airnya cepat kering di sawah,” cerita Ramini kepada Parboaboa, awal pekan lalu.
Sudah bertahun-tahun, Ramini mengandalkan lahan sawah yang luasnya tak seberapa, demi menyambung hidup. Lokasinya yang berada tak jauh dari PLTU berdampak langsung pada kondisi tanaman padi miliknya.
Secara administratif, wilayah PLTU Indramayu berada di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra. Debu polutannya bertebaran hingga ke Desa Tegal Taman dan Mekarsari.
Anak usaha PT PLN (Persero) itu telah beroperasi sejak tahun 2010. Setelah melalui beberapa fase percobaan, akhirnya pada tahun 2012, mimpi buruk warga dimulai.
Tiga tahun berselang, tepat pada tahun 2015, warga mulai merasakan penurunan hasil produksi pertanian mereka. Padi menjadi berwarna kemerahan, batangnya mengering, dan daun-daunnya digerogoti ulat.
Sebelum PLTU 1 Indramayu masuk ke jantung desa, lahan pertanian begitu subur. Para petani jarang menghadapi krisis. Siklus tanam pun bervariasi: mereka bisa menanam hortikultura di sawah selepas panen padi.
“Alhamdulillah, [dulu] bagus banget. Enggak ada gangguan, sangat subur. Enggak ada masalah ini itu, enggak ada. Pokoknya baguslah dulu sebelum ada PLTU 1,” cerita Ramini.
Pembakaran batu bara sebagai sumber energi listrik memang berdampak pada produktivitas hasil pertanian, apalagi bagi daerah di sekitar lokasi PLTU.
Mengutip Heavy Metals Contamination and Tolerance in Plants - Environmental Pollution (2012), proses pembakaran bahan bakar fosil itu melepaskan logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd) yang mencemari tanah dan air.
Penumpukan logam berat di tanaman dapat mengganggu proses fisiologis, mengakibatkan gejala seperti daun menguning, pertumbuhan yang terhambat, dan penurunan hasil panen.
Selain itu, pembakaran batubara bisa menghasilkan gas-gas asam seperti sulfur dioksida (SO₂) dan nitrogen oksida (NOx) yang dapat menyebabkan hujan asam.
Hujan asam bisa menurunkan pH tanah, merusak akar, dan mengganggu penyerapan nutrisi, sehingga mengurangi hasil produksi tanaman.
Di sisi lain, partikel debu dan polutan dari pembakaran batubara, merujuk jurnal Effects of Air Pollution on Crop Yields and Quality yang dipublikasikan dalam Agricultural and Forest Meteorology (2010), juga dapat mengurangi efisiensi fotosintesis pada tanaman.
Penurunan fotosintesis menyebabkan daun padi menguning sebelum waktunya. Pertumbuhan dan kesehatan tanaman secara keseluruhan ikut terganggu.
Mimpi buruk Ramini belum berakhir. Rencana pembangunan PLTU II Indramayu yang pernah bergulir pada 2015 silam membuatnya gelisah.
Saat itu, pemerintah berencana membangun mega proyek berkapasitas 1x1000 MW di lokasi yang hanya berjarak beberapa kilometer dari PLTU I.
Mengejar kebutuhan 35.000 GW untuk memenuhi pasokan listrik bagi masyarakat Jawa hingga Bali, menjadi alasan di balik skema ekspansi ini.
Lahan pertanian warga yang berdiri di atas tanah PLN mulai diratakan untuk membangun proyek ambisius itu.
Warga Desa Mekarsari kemudian membentuk Jaringan Tanpa Asap Batu Bara di Indramayu (Jatayu) sebagai alat protes. Ramini ada di barisan itu.
Ia merekam semangat perlawanan menolak PLTU II yang menggebu-gebu 9 tahun lalu. Sama seperti warga lainnya, Ramini tetap konsisten berdiri di garis perjuangan.
“Saya tetap akan menggarap di lahan itu. Jangan sampai diganggu-ganggu!” ungkapnya penuh gairah.
Perjuangan warga memang berhasil. PLTU II gagal dibangun. Namun, Ramini belum bisa bernapas lega. Tak ada yang bisa memastikan bahwa negara dengan seluruh perangkat kekuasaannya bakal tunduk pada tekanan warga.
“Kalau ada PLTU II, Masya Allah gimana nanti kehidupan masyarakat, warga makan. [Lingkungan] tercemar lebih besar, itu yang saya takuti,” ujarnya.
Semilir angin meniup pelan daun-daun padi. Sunardi menatap hamparan sawah yang membentang di hadapannya. Pria berusia 53 tahun itu terdiam sejenak.
Ingatannya kembali pada kondisi lahan pertanian di desanya puluhan tahun silam, sebelum PLTU beroperasi. Kadar humus yang tinggi membuat para petani saat itu tak begitu rumit melakukan perawatan.
“Dulu tanah itu asal bisa dikasih air saja. Asal bisa air masuk, bisa disiram. Itu enggak masalah. [Tanaman bisa hidup dan bagus tumbuhnya],” kata Sunardi.
Musim kemarau bahkan menjadi berkah bagi para petani Desa Mekarsari. Mereka mampu memproduksi hasil pertanian dengan kualitas terbaik.
Dalam satu hektare lahan bisa menghasilkan 6 ton padi untuk sekali panen. Keadaan semua berubah. Hasil garapan para petani menurun tajam. Hama tanaman dengan mudah menyerang.
“Para petani semua pada ngeluh. Karena hasilnya itu selalu turun, turun, dan turun,” ungkap Sunardi.
Warnoto, anggota Komunitas Jatayu, mengungkap keresahan warga di seputaran lokasi PLTU sudah berlangsung lama. Terlebih setelah hasil pertanian mereka yang mulai menurun drastis.
Napas perekonomian para petani pun ikut terdampak. Hasil panen padi yang hanya 5 ton per hektare, tak bisa lagi dijual ke luar desa sama seperti dulu.
Laba kotor yang diterima petani hanya sekitar 25 juta rupiah. Belum lagi jika dikurangi ongkos operasional, mulai dari pembibitan, perawatan hingga panen.
“Nah, sekarang untuk mencapai panen 5 ton saja per bau (hektare) itu sudah berat sekali. Berat," katanya.
Para petani juga kehilangan sumber pendapatan dari tanaman kelapa. Ratusan pohon kelapa yang dulu memenuhi desa-desa di sekitar PLTU I, kini semuanya lenyap.
Padahal, buah kelapa merupakan salah satu sumber penghasilan bagi warga. Setiap hari, mobil-mobil datang mengambil buah kelapa. Roda ekonomi berputar di sana.
“Kalau yang muda dulu dihargai per biji itu Rp5.000. Sekarang kita beli bisa sampai Rp15.000. Kalau yang tua itu sekitar 7 ribu sampai 8 ribu rupiah per biji. Sekarang, buahnya sudah ludes,” ungkapnya.
Berdasarkan laporan Walhi Jawa Barat dan Jatayu dalam publikasi berjudul Memadamkan Bara (2022), hadirnya PLTU di Desa Mekarsari berkontribusi pada perubahan fungsi lahan di daerah tersebut.
Lahan pertanian produktif seluas 327 hektare telah dialihfungsikan untuk pembangunan PLTU. Lahan ini sebelumnya digunakan oleh petani lokal untuk menanam padi dan tanaman palawija. Hasil panen cukup untuk mendukung kehidupan ekonomi masyarakat.
Kehilangan lahan pertanian ini tak hanya mengurangi pendapatan warga yang 91,9% adalah petani, tetapi juga memaksa mereka untuk mencari sumber penghasilan alternatif.
Laporan Walhi Jabar dan Jatayu juga menunjukkan adanya gangguan terhadap ekosistem lokal, termasuk penurunan kualitas tanah dan air akibat aktivitas industri.
Selain itu, pencemaran air yang dihasilkan dari limbah industri PLTU dapat mengganggu sumber air bersih bagi masyarakat dan mempengaruhi produksi pertanian.
Di sisi lain, kehadiran PLTU Indramayu rupanya tak hanya berdampak pada ekosistem pertanian, tetapi juga kesehatan warga.
Asap yang dihasilkan, mengacu laporan tersebut, mengandung partikel berbahaya seperti SOx, NOx, PM10, dan PM2.5, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan memperburuk kualitas hidup masyarakat setempat.
Data dari Dinas Kesehatan Indramayu menunjukkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kecamatan Patrol dan Sukra, tempat PLTU Indramayu beroperasi.
Pada tahun 2019, Kecamatan Patrol mencatat 145 kasus ISPA, yang meningkat menjadi 301 kasus pada 2020 dan 289 kasus pada 2021. Di Kecamatan Sukra, kasus ISPA meningkat dari 181 pada 2019 menjadi 183 pada 2020 dan 186 pada 2021.
Di level nasional, jumlah kematian dini akibat polusi batubara, merujuk riset kolaborasi Universitas Harvard dan Greenpeace Indonesia, mencapai 6.500 per tahun.
Penyebab kematian pun beragam, seperti stroke (2.700 orang), jantung iskemik (2.300), kanker paru-paru (300 orang), penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya mencapai 1.200 orang.
Riset yang berjudul Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) itu juga memprediksi, di masa yang akan datang total kematian dini di Indonesia mencapai 15.700/tahun.
Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, tak menampik bahwa emisi hasil pembakaran memang berdampak serius pada kesehatan warga sekitar area PLTU.
Bahkan, “emisi pembakaran biomassa seperti sawdust dapat lebih buruk 2,8 kali dibandingkan dengan batu bara.”
Amalya merujuk pada penelitian yang dilakukan Huy Tran, Edie Juno, dan Saravanan Arunachalam bertajuk Emissions of Wood Pelletization and Bioenergy Use in the United States.
Riset tersebut memperkirakan bahwa sekitar 2,3 juta orang yang tinggal dalam jarak 2 kilometer dari industri biomassa mengalami dampak kesehatan buruk akibat emisi tersebut.
Emisi yang dimaksud dalam penelitian itu, kata Amalya, mencakup tidak hanya karbon, tetapi juga gas rumah kaca (GRK) secara keseluruhan.
“Kalau GRK itu kan ada beberapa nih. Yang paling besar dan paling berpengaruh memang karbondioksida,” ujarnya kepada Parboaboa.
Reporter: Anna Desliani, Calvin Vadero Siboro, Rahma Dhoni
Editor: Andy Tandang