parboaboa

Titik Nadir Pasar Central Medan: Terseok-seok di Tengah Gempuran Digitalisasi 

TIM Parboaboa | Liputan Unggulan | 13-11-2023

Kondisi kios-kios di Pasar Central Medan yang memilih tutup akibat sepi pembeli. (Foto: PARBOABOA/Susanna Hutapea)

PARBOABOA, Medan – Lorong-lorong Pasar Central atau lebih dikenal dengan Pajak Sentral di Kota Medan, Sumatra Utara, tampak lengang. Siang itu, awal November lalu, nyaris tidak ada pengunjung yang lalu-lalang. 

Suasananya benar-benar sepi. Sesekali saja keriuhan pecah ketika pengunjung masuk dari pintu utama di lantai 1. 

"Apa cari kak? Sini masuk dulu sayang,” kata seorang pedagang mencoba menarik perhatian seorang pengunjung yang baru saja masuk. 

Lalu pedagang lain menyahuti dengan kalimat yang kurang lebih sama, “Tanya-tanya dulu mari cinta. Kasih tahu kae, mau cari apa kak?"

Naik ke lantai 2 pasar, kondisinya lebih senyap lagi. Kios-kios di kanan-kiri beberapa lorong justru tutup tanpa ada aktivitas apa pun. 

Nyaris tidak ada denyut transaksi jual-beli di Pasar Central. Beberapa penjaga kios terkantuk-kantuk menjaga dagangannya. Sebagian lagi sibuk bercengkrama dengan sesama pedagang di sudut lorong. 

Yuli, seorang pegawai toko pakaian anak di lantai 2, menyebut kondisi ini sangat parah jika dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. 

Saat itu, tokonya bisa menghasilkan omzet mencapai Rp5 juta hingga Rp10 juta per hari. Namun kini, untuk mendapatkan Rp500 ribu per hari saja susahnya bukan main.

“Sering kami tidak ada buka dasar (penjualan pertama pada hari itu). Bulan ini saja kami sudah berapa kali, padahal ini baru tanggal 4," ujarnya dengan nada lesu.

Jelang Idulfitri tahun ini saja, pemasukan toko seret. Padahal momen hari raya biasa menjadi waktu para pedagang panen untung. 

Menurut Yuli, yang sudah menjaga toko di Pasar Central sejak lima tahun lalu, omzet toko ketika Idulfitri di masa pandemi dengan pembatasan sosial sedemikian rupa saja masih jauh lebih baik. 

Idulfitri tahun ini pedagang benar-benar apes. Alih-alih meraih untung, mereka malah buntung. 

"Kami bahkan harus nombok karena tidak capai target dan mengganti rugi akibat penjualan yang sangat sepi," Yuli memberikan gambaran kondisi toko di Idulfitri tahun ini.

Baginya, titik awal merosotnya arus kas toko terjadi ketika pandemi COVID-19. Sebelum pandemi COVID-19, bos Yuli memiliki 7 orang pegawai. 

Ketika pandemi menghantam Indonesia, pegawainya diberhentikan satu per satu. Beberapa ada pula yang mengundurkan diri ketika mendengar kabar toko akan ditutup. 

Sekarang tinggal Yuli satu-satunya karyawan yang tersisa. Toko tempat Yuli bekerja pun sudah beberapa kali pindah lokasi. 

Awalnya mereka menempati toko yang lebih luas. Kini toko pindah ke kios yang lebih kecil. 

Seorang penjual yang tengah duduk dan menunggu pembeli. (Foto: PARBOABOA/Susanna Hutapea)

Tak cuma pandemi yang memukul omset pedagang. Yuli menduga ada juga andil meningkatnya pamor platform jual-beli online

Dia sering melayani konsumen yang membanding-bandingkan harga dan barang dagangannya dengan produk serupa di toko online. Padahal, Yuli berani mengadu kualitas barangnya dengan yang dijual di lokapasar (marketplace). 

Itu sebabnya, wanita 40 tahun ini sempat ikut senang ketika salah satu aplikasi media sosial yang bisa dijadikan platform berjualan online, TikTok Shop, ditutup. Namun, penutupan TikTok Shop ternyata tidak berpengaruh banyak menggenjot penjualan di Pasar Central. 

Keluhan Yuli juga dirasakan Nani, bukan nama sebenarnya, pegawai di salah satu toko pakaian pesta di lantai 1 Pasar Central Medan. 

Ia menuturkan, pembukuan toko mulai goyah ketika pandemi menghantam. Saat ini, pembeli memang mulai ada, tapi tidak ramai seperti periode sebelum pandemi. 

Bos Nani punya dua toko di Pasar Central. Satu toko di lantai 1 dan toko lain di lantai 2. Nani bercerita, awalnya tiap toko dijaga oleh dua orang pegawai. 

Namun saat ini, hanya tinggal satu pegawai untuk satu toko. Sepinya penjualan di Pasar Central membuat sebagian pedagang putar otak untuk bertahan. 

Mereka mulai melirik penjualan online sebagai alternatif pos pemasukan. Namun, tidak semua berjalan mulus. Pengalaman Riko, bukan nama sebenarnya, seorang pemilik toko grosir pakaian laki-laki di lantai 2 Pasar Central Medan, bisa menjadi contoh. 

Ia mengaku kesulitan menjual pakaiannya secara online. Alasannya, jarang ada konsumen membeli dalam jumlah banyak atau grosir. Sehingga harus jualan secara eceran atau satuan. 

"Kan enggak mungkin di online kita tulis khusus grosiran, ambilnya seri. Mana mau ambil, karena kadang pembeli butuhnya satu saja," jelasnya kepada PARBOABOA.

Salah satu toko pakaian di lantai 2 Pasar Central yang masih buka. Toko ini berjualan pakaian dengan sistem grosir. (Foto: PARBOABOA/Susanna Hutapea)

Saat ini, toko Riko masih bertahan di salah satu lorong lantai 2 Pasar Central. Pedagang toko lain di lorong yang sama sudah menyerah dan memilih tutup. 

Riko sendiri mengelola toko milik orang tuanya tersebut sejak lima tahun lalu. Tiap hari ia membuka toko mulai pukul 09.00 hingga pukul 16.00 WIB.

"Kalau dulu bisa lebih lama lagi, karena sekarang situasinya kan udah sepi kali, jadi enggak lama-lama lagi," ungkapnya.

Di masa jayanya, saat toko masih dikelola orang tua Riko, transaksi penjualan tidak pernah berhenti.

Barang dari tokonya bahkan sampai dikirim ke luar Kota Medan seperti Sibolga, Sidikalang, Berastagi, Aceh dan lain sebagainya.

Riko juga menduga maraknya penjualan online jadi penyebab anjloknya transaksi. Kemungkinan lainnya, kata dia, karena daya beli yang memang sedang menurun. 

“Karena sekarang kan sembako-sembako naik harga, jadi pasti orang lebih memilih membeli pangan dulu daripada beli fashion," ungkapnya.

Pemasukan yang cekak membuat toko sudah dua kali pindah. Riko berencana untuk pindah ketiga kalinya supaya dapat menekan pengeluaran. 

Ia bercerita, pernah menyewa kios di lantai 1. Biayanya per tahun mencapai  Rp100 juta, di luar uang listrik.

Lantaran penjualan mulai berkurang, ia memutuskan pindah ke lantai 2 dengan uang sewa Rp30 juta per tahun, di luar uang listrik.

Kini, dalam waktu dekat, Riko akan pindah lagi ke Pasar Lama yang terletak di belakang Pasar Central. Di sana, biaya sewa jauh lebih murah dibandingkan Pasar Central.

"Saya kan mau tetap jualan. Barang saya ada, enggak mungkin saya enggak jualan," katanya.

Tiap bulannya, Riko merogoh kocek Rp1,9 juta untuk biaya listrik. Itu pun hanya untuk penggunaan 4 lampu dan 1 kipas angin. 

“Ya, makanya biaya di sini besarlah. Makanya kita mau pindah, karena kita tak sanggup," keluh Riko.

Ia mengatakan, banyak orang yang datang ke Pasar Central hanya sekadar lewat. Tak banyak yang datang dengan tujuan membeli pakaian.

"Bukan orang yang belanja. Kalau ada pun, orang nya lebih banyak jalan-jalan saja," ungkap Riko.

UMKM Diminta Adaptif

Dinas Perindustrian Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (DPPESDM) Provinsi Sumatra Utara meminta pelaku UMKM di Pasar Central Medan agar lebih adaptif mengikuti perkembangan.

"Sehingga produk yang mereka jual bisa masuk ke penjualan online dan offline," kata Analis Perdagangan Ahli Muda di DPPESDM Sumut, Iskandar Zulkarnaen saat dihubungi PARBOABOA.

Tidak hanya itu, Iskandar juga menyarankan UMKM bermitra dengan market place melalui sosialisasi atau pelatihan yang dilakukan DPPESDM Sumut, bekerja sama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Anggota Komisi III DPRD Kota Medan, Erwin Siahaan. (Foto: Dok DPRD Medan)

Sementara itu, Anggota Komisi III DPRD Kota Medan, Erwin Siahaan mengaku telah berulang kali menggelar rapat bersama PD Pasar. Salah satu agenda yang masuk pembahasan adalah strategi menghidupkan kembali Pasar Central.  

"Nah, yang perlu diperhatikan adalah penataannya, infrastrukturnya dan fasilitas kenyamanan dan keamanannya," jelasnya.

DPRD, lanjut Erwin, akan mendorong terobosan dari Dirut PD Pasar terhadap pengembangan Pasar Central Medan. Hanya saja, tidak adanya penyertaan modal dari APBD untuk PD Pasar jadi salah satu kendala yang menghambat ruang gerak. 

“Jadi mereka mengelola uang yang ada dulu. Nah, itu hambatan mereka," ungkap Erwin.

Dia juga meminta pemerintah kota memperkuat integrasi antara UMKM dengan teknologi. Misalnya, mendorong pelaku UMKM menggunakan digitalisasi baik itu dalam pemasaran, bertransaksi maupun laporan keuangan.

Apalagi pemanfaatan teknologi digital saat ini dapat membantu menaikkan kelas pelaku UMKM dalam memasarkan produk-produknya. Tidak hanya itu, DPRD juga mendorong Pemko Medan memikirkan cara agar UMKM bisa bekerja sama dengan industri. 

Erwin juga berharap Pasar Central bisa diperbaiki dan dijadikan sebagai salah satu pusat pariwisata di Kota Medan. 

PARBOABOA telah berupaya menghubungi dan menemui Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (PUD) Pasar Kota Medan. Namun hingga berita ini dibuat, belum ada jawaban dan konfirmasi dari yang bersangkutan.

Suasana lantai 1 pasar central Medan. (Foto: PARBOABOA/Susanna Hutapea)

Perlu Inovasi Selamatkan Pasar Tradisional

Minimnya minat masyarakat berbelanja di Pasar Central turut dikomentari Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin. Ia menilai, perlu inovasi untuk menyelamatkan pasar tradisional di Sumatra Utara, termasuk Pasar Central Medan.

Menurutnya, Pasar Central butuh perubahan radikal, tidak hanya sebagai pusat perbelanjaan, tapi bisa ditambahkan unsur hiburan di dalamnya. 

"Konsepnya ini perlu dikembangkan," ungkap Gunawan saat dihubungi PARBOABOA.

Ia menilai, memang terjadi perubahan lanskap di dunia perdagangan saat ini. Pandemi COVID memicu pergeseran perubahan perilaku masyarakat ke transaksi online. Hal itu berdampak pada saluran penjualan konvensional. 

"Di sini terjadi disrupsi pasar yang merugikan pedagang konvensional," jelas Gunawan.

Akademisi dari Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) ini berharap, pedagang konvensional di Pasar Central bisa beradaptasi dan mulai beralih ke transaksi digital.

Tidak hanya itu, pemerintah juga diminta melakukan pendampingan dan pembinaan agar transformasi pedagang konvensional ke digital bisa berjalan mulus.

Editor : Kurniati

Tag : #pasar central medan    #tiktok shop    #liputan unggulan    #belanja online    #medan    #digitalisasi   

BACA JUGA

BERITA TERBARU