49 Pekerja Migran NTT Pulang Tak Bernyawa, PADMA Desak Tindakan Nyata Pemerintah

Ilustrasi Tewas atau Jenazah atau Jasad. (Foto: Dok. shutterstock)

PARBOABOA, Jakarta - Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT, Suratmi Hamida, melaporkan bahwa sejak Januari hingga April 2025, terdapat 49 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT yang meninggal dunia dan telah dipulangkan ke tanah air.

Yang mengkhawatirkan, dari jumlah tersebut, hanya empat orang yang tercatat berangkat melalui jalur resmi.

Sisanya adalah PMI nonprosedural alias ilegal, yang bekerja tanpa dokumen dan perlindungan hukum memadai.

"Semua PMI yang meninggal telah dipulangkan dan dimakamkan di daerah asal masing-masing. Tidak ada yang dimakamkan di luar negeri," ujar Suratmi.

Data menunjukkan bahwa korban terbanyak berasal dari Kabupaten Ende (11 orang), disusul Malaka (9 orang), dan Flores Timur (8 orang). Angka ini menunjukkan pola yang mengarah pada wilayah-wilayah kantong migran rawan.

Komnas HAM mencatat, dalam lima tahun terakhir (2018–2023), ada 2.793 korban perdagangan orang di NTT.

Lima kabupaten paling terdampak adalah Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, dan Flores Timur. Wilayah-wilayah ini kini berada dalam status darurat perdagangan manusia.

"Kelima daerah itu sudah masuk kategori darurat perdagangan orang," kata Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, pada 26 Mei 2023.

Faktor pemicunya tak jauh dari kemiskinan struktural, akses pendidikan yang terbatas, serta lemahnya penegakan hukum.

Modus-modus perekrutan ilegal pun semakin canggih—mulai dari pemalsuan dokumen, transit antar kota seperti Batam dan Surabaya, hingga pengiriman ke negara tujuan seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan.

Sebagai respons terhadap makin masifnya perdagangan orang, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang kini sudah naik status menjadi kementerian meluncurkan satuan tugas “Sikat Sindikat” di NTT pada November 2023.

Satgas yang terdiri dari 61 orang ini beranggotakan aparat penegak hukum dan unsur masyarakat sipil, dengan mandat utama: menutup jalur-jalur ilegal dan mengamankan calon pekerja migran dari eksploitasi.

Namun di lapangan, tantangan besar tetap hadir. Dugaan keterlibatan oknum aparat dan pejabat lokal dalam jaringan sindikat menambah rumit upaya pemberantasan.

Desakan Keras dari PADMA

Sebelumnya, PADMA Indonesia menyuarakan kemarahan terhadap lambannya tindakan nyata pemerintah dalam memberantas praktik perdagangan orang.

Dalam pernyataannya, Ketua Dewan Pembina PADMA, Gabriel Goa, mendesak Presiden Prabowo beserta aparat negara untuk segera bertindak menghadapi jaringan mafia human trafficking yang kian merajalela, bahkan telah menyusup hingga ke pelosok kampung-kampung di Nusa Tenggara Timur (NTT).

 “Fakta di lapangan menunjukkan kejahatan ini terus berkembang tanpa adanya langkah konkret dari pihak berwenang,” tegas Gabriel.

PADMA juga meminta agar pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memberikan perlindungan khusus kepada para korban dan calon pekerja migran.

Selain itu, mereka mendorong Menteri Imigrasi untuk mengeluarkan kebijakan pemberian paspor secara gratis bagi warga NTT yang memenuhi syarat sebagai pekerja migran legal.

Tidak hanya itu, PADMA juga menyerukan agar Kapolri menindak tegas para pelaku dan otak intelektual di balik perdagangan orang, termasuk mereka yang memanfaatkan jalur migrasi ilegal untuk kepentingan pribadi.

Di sisi lain, PADMA memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah positif yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum di Kabupaten Ngada, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri setempat, yang menunjukkan kerja sama dalam memberantas kasus perdagangan orang.

Meski demikian, perjuangan masih jauh dari kata selesai. Para pelaku utama di balik jaringan kejahatan ini sebagian besar masih bebas dan belum tersentuh hukum.

Oleh karena itu, PADMA bersama para pegiat kemanusiaan menyerukan agar pemerintah tidak berhenti pada retorika, tetapi mulai menunjukkan komitmen melalui aksi nyata yang berdampak langsung bagi perlindungan masyarakat.

Dengan meningkatnya angka perdagangan manusia dan kematian pekerja migran, NTT kini berada di titik kritis.

“Masa depan generasi mudanya dipertaruhkan jika tidak ada langkah drastis dan menyeluruh dari negara,” tutup Gabriel.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS