PARBOABOA, Medan – Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pasal 103 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 itu menyebut soal upaya kesehatan sistem reproduksi anak sekolah. Anak usia sekolah dan remaja diwajibkan mendapat edukasi kesehatan reproduksi mulai dari mengetahui sistem, fungsi, hingga proses reproduksi.
Selain itu, anak usia sekolah dan remaja juga diminta mendapatkan edukasi mengenai perilaku seksual berisiko serta akibatnya.
Tidak hanya itu, anak dinilai penting mengetahui pentingnya keluarga berencana sampai kemampuan melindungi diri dari tindakan hubungan seksual atau mampu menolak ajakan tersebut, hal ini dituliskan dalam ayat 2.
Advokat dan Aktivis Perempuan, Siska Barimbing mengatakan hak atas kesehatan reproduksi adalah hak semua orang laki-laki dan perempuan.
Seorang anak di usia dini seharusnya sudah mulai diajarkan tentang tubuhnya dan reproduksi. Menurutnya, masyarakat Indonesia harus mengubah cara pandang.
Saat ini angka penularan HIV Aids dan penyakit seksual di Indonesia semakin tinggi. Perilaku orang melakukan hubungan seks di Indonesia semakin tinggi. Di mana sebagian lainnya dilakukan oleh anak-anak di bawah umur.
“Mau nggak mau, fakta itu tidak boleh disingkirkan begitu saja. Ada persoalan tentang kesehatan reproduksi. Pemerintah harus melakukan antisipasi,” ucap Siska Barimbing kepada PARBOABOA, Rabu (07/08/2024).
Siska Barimbing menegaskan, ketika pemerintah mengeluarkan peraturan ini jangan dikatakan seolah-olah negara memfasilitasi free sex atau seks secara bebas.
Patut diketahui, angka perkawinan anak di Indonesia semakin tinggi. Biasanya, perkawinan anak ini terjadi karena sudah hamil duluan atau sudah terlanjur melakukan hubungan seksual.
Siska Barimbing menjelaskan bahwa dirinya pernah menulis kajian tentang berapa banyak angka permohonan perkawinan anak.
“Itu perkawinan anak sangat tinggi. Dan karena tidak semua diterima dan akhirnya dikawinkan di bawah tangan atau kawin siri,” katanya.
Anak-anak muda yang hamil itu akan memberikan dampak yang lebih besar lagi. “Cobalah berdiri dari kacamata kepentingan publik,” tambahnya.
Siska Barimbing meminta agar masyarakat berpikir lebih luas lagi. Janganlah melihat persoalan ini hanya dari cara pandang yang sempit. Masyarakat harus memikirkan kepentingan yang lebih luas. Misalnya penyakit menular seksual semakin banyak akan memperparah kondisi angka perkawinan anak muda.
Menurutnya, pendidikan kesehatan reproduksi jangan dipandang dengan menggunakan kacamata kuda. Diakuinya, peran orang tua memang penting namun tetap harus ada peraturan yang lebih tegas.
“Peraturan ini menurut saya cukup bagus. Namun bukan berarti saya mendukung seks bebas ya,” katanya.
Siska Barimbing menambahkan dampak dari kehamilan di usia muda sangat banyak. Misalnya penyakit menular seksual, HIV Aids sampai kehamilan yang tidak diinginkan yang berisiko pada tindakan aborsi ilegal.
Selain itu, menurutnya PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 itu bukan berarti memberikan alat kontrasepsi kepada siswa sekolah langsung.
Akan tetapi lebih pada memberikan pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah, pelayanan reproduksi termasuk deteksi dini, pengobatan hingga konseling.
Dengan adanya PP Kesehatan ini nantinya akan ada aturan yang lebih teknis. “Jangan dipandang pakai kacamata kuda. Bagaimana mau menghadapi Indonesia emas 2045. Nanti yang terjadi Indonesia cemas, karena remajanya sudah terkena penyakit menular seksual,” paparnya.
Hal senada diucapkan oleh Lusty Ro Malau dari Komunitas Perempuan Hari Ini. Ia menjelaskan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) yang harus diketahui oleh anak-anak muda sejak usia dini.
Wajar jika masyarakat merasa kaget dengan adanya PP Kesehatan terbaru ini. Pasalnya, alat kontrasepsi sendiri masih dianggap tabu di tengah masyarakat. Padahal, pendidikan seksual itu melekat di kehidupan manusia di berbagai usia.
“Aku lihat di beberapa kajian dan referensi ya, ternyata kata remaja di sana bukan remaja yang bersekolah tetapi remaja yang sudah menikah namun menunda kehamilan,” ujarnya.
Undang-Undang sendiri sebenarnya tidak membenarkan remaja untuk menikah. Namun, di wilayah pedesaan masih banyak ditemui anak-anak muda yang sudah menikah. Sehingga kata remaja seharusnya dimaksudkan untuk itu.
Mengenai pemberian alat kontrasepsi, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Jangan terkesan menganggap bahwa anak remaja itu tidak perlu mendapatkan akses pengetahuan soal seksualitas.
“Kenapa tidak pernah ada wacana bahwa pendidikan seks itu bukan hanya soal menjaga kesehatan reproduksi tapi juga bagaimana mencegah penyakit menular seksual,” tuturnya.
Pendidikan mengenai seksual seharusnya dilakukan sejak masa sekolah. Daripada menutup akses remaja untuk belajar soal HKSR nya.
Lusty juga mengatakan bahwa peraturan ini seharusnya tidak boleh diartikan hanya dari satu pasal saja. Akhirnya akan mengakibatkan misinformasi di tengah masyarakat.
Terkait pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar bertentangan dengan norma agama, Lusty memaparkan bahwa wacana di Indonesia soal agama cenderung menutup belajar tentang ketubuhan.
Tokoh agama sangat jarang membuka dialog soal seksualitas, pendidikan seks. “Bagaimana kita menjaga tubuh kita itu jarang dibahas. Masyarakat mengartikan agama melarang hubungan seks kalau belum menikah. Hanya sampai di situ,” ucapnya.
Oleh karena itu, pemahaman soal HKSR ini sangat diperlukan bahkan oleh tokoh agama sekalipun.
Editor: Fika