Menimbang Target Ambisius Prabowo Bikin Swasembada Energi

Presiden Indonesia Prabowo Subianto targetkan swasembada energi untuk mengurangi impor BBM (Foto: IG/@prabowo)

PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo tampaknya tak ambil pusing dengan beban impor BBM yang kini tengah ditanggung Indonesia. 

Ia menegaskan ambisinya untuk membawa Indonesia menuju kemandirian energi dengan menghentikan impor minyak mentah dan BBM yang kerap membebani keuangan negara. 

Dalam hitungannya, impor BBM justru berdampak menguras devisa hingga mencapai 40 miliar dolar AS setiap tahunnya.

“Negara kita sesungguhnya tidak perlu impor BBM. (Maka) saya dalam pemerintahan yang saya pimpin dalam lima tahun yang akan datang harus swasembada BBM, swasembada energi,” ujar Prabowo dalam acara Halal Bihalal bersama Purnawirawan TNI AD dan keluarga besar TNI-Polri di Jakarta, Selasa (06/05/2025).

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa impor minyak mentah Indonesia mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. 

Pada 2018, impor mencapai 113,05 juta barel, menurun drastis pada 2019 menjadi 75,30 juta barel, dan kembali turun menjadi 65,96 juta barel di 2020. 

Namun, angka itu kembali meningkat pada 2021 (104,40 juta barel), 2022 (114,53 juta barel), dan memuncak pada 2023 dengan 132,39 juta barel. Hingga pertengahan 2024, jumlahnya tercatat 62,20 juta barel.

Fluktuasi ini dipengaruhi berbagai faktor seperti dinamika ekonomi global, perubahan kebijakan energi, serta situasi politik dalam dan luar negeri. 

Gagasan swasembada energi telah ditegaskan Prabowo sejak pidato pelantikannya sebagai presiden pada Oktober 2024 lalu. 

Ia menyebut ketegangan geopolitik dan potensi konflik global sebagai alasan kuat untuk tidak lagi bergantung pada negara lain.

“Kita harus swasembada energi. Dalam keadaan ketegangan, dalam kemungkinan terjadi perang di mana-mana, kita harus siap dengan kemungkinan yang paling jelek,” ujar Prabowo saat Sidang Paripurna MPR RI, Minggu (20/10/2024).

Menurutnya, setiap negara kini lebih mengutamakan kepentingan nasional masing-masing. Oleh karena itu, Indonesia harus membangun kemandirian energi agar tidak rentan terhadap dinamika global.

Meski belum menjelaskan strategi rinci menuju swasembada energi, Prabowo menyinggung substitusi BBM dengan bahan bakar nabati (BBN) sebagai opsi yang menjanjikan. 

Sejak awal 2025, pemerintah Prabowo melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  telah meningkatkan campuran biodiesel dari 35 persen menjadi 40 persen.

“Kita bisa bikin BBM dari kelapa sawit. Nanti ada yang bertanya apa bisa? Harus bisa. Merdeka atau mati! Berdiri di atas kita sendiri, kita tidak mau jadi kacungnya bangsa lain,” tegas Prabowo.

Tantangan Nyata

Kendati ambisius, para ahli menilai target Prabowo cukup sulit tercapai dalam waktu lima tahun. Indonesia saat ini masih berstatus sebagai net importir minyak, di mana volume impor jauh lebih besar daripada ekspor.

Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), menjelaskan bahwa kebutuhan BBM Indonesia telah mencapai lebih dari 1,5 juta barel per hari dan meningkat sekitar 3 persen per tahun. 

Sementara produksi minyak nasional hanya sekitar 600 ribu barel per hari dan menurun sekitar 2 persen setiap tahun.

“Jadi tidak mungkin akan bisa lepas impor BBM dalam lima tahun. Bahwa 10 tahun pun sangat berat,” ujar Bisman dalam keterangan yang diterima pada Rabu (07/05/2025).

Serupa, Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menyebut bahwa sekitar 60 persen kebutuhan BBM dalam negeri masih dipenuhi dari impor.

“BBM kita itu (mayoritas) kita impor. Itu harus sudah jelas,” katanya.

Fabby juga menyoroti turunnya lifting minyak nasional. Pada 2004, misalnya produksi minyak mencapai sekitar 1,1 juta barel per hari, namun kini hanya berada di angka 600–700 ribu barel per hari. Target peningkatan produksi ke angka 1 juta barel belum juga tercapai.

“Kita mulai 2020 sampai sekarang produksinya nggak ada yang naik. Malah terus turun karena sekarang yang beroperasi adalah lapangan-lapangan minyak yang sudah tua,” jelasnya.

Sementara itu, Bisman menambahkan bahwa peningkatan lifting harus menjadi prioritas, meski berat. Ia menyebut Indonesia masih memiliki potensi cadangan yang bisa dioptimalkan dengan eksplorasi yang lebih agresif.

Tantangan lain terletak pada kapasitas kilang nasional yang masih terbatas. Indonesia hanya mampu mengolah sekitar 1 juta barel per hari. 

Menurut Bisman, peningkatan kapasitas kilang memungkinkan pengalihan dari impor BBM menjadi impor minyak mentah yang lebih murah dan efisien dari sisi devisa.

Namun, membangun kilang membutuhkan investasi besar dan studi kelayakan yang cermat, karena belum tentu proyek tersebut menguntungkan dalam jangka panjang.

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, berpendapat bahwa swasembada energi tetap dapat diwujudkan jika pemerintah berani melakukan reformasi menyeluruh pada strategi energi nasional. 

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dalam bahan bakar substitusi seperti biodiesel dan bioetanol.

“Namun kita punya peluang besar melalui energi substitusi seperti biodiesel dan bioetanol,” ucap Syafruddin dalam keterangan pada Rabu (07/05/2025).

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia punya modal besar dalam pengembangan biofuel. 

Implementasi B40 sudah terbukti mampu mengurangi ketergantungan terhadap solar impor dan menghemat devisa dalam jumlah besar.

Dalam jangka pendek, Syafruddin menyarankan agar pemerintah fokus pada efisiensi energi, optimalisasi kilang, dan ekspansi bahan bakar nabati. 

Ia juga menegaskan bahwa kemandirian energi tak perlu menunggu cadangan minyak melimpah, tetapi bisa dimulai melalui diversifikasi, hilirisasi, dan kebijakan strategis yang berani.

“Jika semua pihak bergerak dengan arah yang sama, Indonesia bisa keluar dari ketergantungan terhadap BBM impor dan menciptakan ekosistem energi nasional yang berdaulat,” pungkasnya.

Meskipun demikian, Syafruddin mengakui bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Infrastruktur kilang nasional belum sepenuhnya mampu mengolah semua jenis minyak mentah dan biodiesel. 

Selain itu, ketersediaan lahan industri, jalur distribusi, serta teknologi pengolahan energi baru masih terbatas.

Ketergantungan pada BBM impor juga telah melahirkan jaringan kepentingan yang kuat. Untuk itu, ia menilai perlunya keberanian politik untuk memutus rantai rente dan membangun sistem energi yang lebih transparan.

Syafruddin juga mengusulkan insentif fiskal bagi industri energi dalam negeri, seperti pemotongan pajak untuk produsen biofuel serta dukungan kredit teknologi hijau bagi pelaku usaha kecil. 

Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan juga dinilai penting untuk menyiapkan SDM yang unggul.

“Kunci keberhasilannya terletak pada arah kebijakan yang konsisten, kepemimpinan yang fokus, dan pengawasan publik yang aktif,” tegas Syafruddin.

Proyek Penyimpanan Minyak Nasional

Sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan energi nasional, Kementerian ESDM berencana membangun fasilitas penyimpanan cadangan minyak di sebuah pulau dekat Singapura. 

Fasilitas ini dirancang mampu menyimpan pasokan minyak untuk 30 hingga 40 hari, dan akan dikelola oleh PT Pertamina (Persero).

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menerangkan bahwa pihaknya berniat membangun storage di satu pulau yang berdekatan dengan Singapura dengan kapasitas penyimpanan (storage) kurang lebih sekitar 30-40 hari.

Fasilitas tersebut akan menjadi cadangan penyangga energi (CPE) yang bisa dimanfaatkan saat krisis seperti perang. 

Bahlil juga menyayangkan ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dari Singapura yang mencapai 60 persen, padahal Singapura sendiri tidak memiliki sumber daya minyak.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS