Toxic Masculinity Adalah: Penyebab, Dampak, Cara Mengatasi dan Contohnya

Toxic Masculinity Adalah (Foto:Parboaboa/Kathleen)

PARBOABOA – Pernahkah kamu mendengar istilah "Toxic Masculinity"? Istilah ini sedang hangat diperbincangkan dan dianggap sebagai perilaku buruk yang memperkuat stereotip berbahaya tentang laki-laki.

Toxic masculinity adalah salah satu Istilah yang merujuk pada beberapa isu sosial, seperti pandangan bahwa laki-laki harus kasar, dominan, tidak boleh menangis, dan meremehkan hal-hal yang dianggap "feminin".

Dalam artikel ini, Parboaboa akan mengajakmu untuk menyelami lebih dalam tentang apa itu toxic masculinity, bagaimana pandangan ini dapat mempengaruhi hubungan kita sehari-hari, serta cara mengubah pola pikir dan perilaku kita untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan adil bagi semua orang.

Apa Itu Toxic Masculinity?

Toxic masculinity adalah sebuah konsep yang merujuk pada pola perilaku atau sikap yang dianggap merugikan bagi kaum pria maupun lingkungan sekitarnya.

Konsep ini menggambarkan stereotipe maskulinitas yang menyebabkan kerugian sosial, baik pada individu maupun masyarakat secara luas.

Toxic masculinity artinya tidak sama dengan "kejantanan", melainkan penekanan yang berlebihan terhadap kaum pria yang dianggap "maskulin" oleh masyarakat.

Hal ini akan menghasilkan perilaku yang merugikan, seperti kekerasan terhadap perempuan, dominasi berlebihan, penindasan, menekan emosi, dan penolakan terhadap kaum yang lebih lemah.

Dr. Jackson Katz, seorang peneliti dan aktivis yang sangat berperan dalam memerangi kekerasan berbasis gender dan toksisitas dalam budaya populer menuliskan tentang jurnal toxic masculinity.

Ia memiliki latar belakang dalam bidang studi gender dan telah mengabdikan dirinya untuk mengatasi masalah maskulinitas yang merugikan.

Salah satu kontribusi terpenting Dr. Katz tentang jurnal toxic masculinity adalah pengembangan teori "bystander intervention" (intervensi penonton) yang mengajak pria untuk berperan aktif dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Toxic masculinity menurut ahli dan aktivis ini mengajak pria untuk tidak hanya menjadi penonton bisu ketika melihat kekerasan atau perilaku merugikan terhadap perempuan, tetapi ikut campur dan mengambil tindakan yang bertanggung jawab.

Dengan penekanannya, Dr. Jackson Katz telah berkontribusi secara signifikan dalam gerakan untuk mengatasi permasalahan sosial ini dan mempromosikan kesetaraan gender serta kehidupan yang bebas kekerasan.

Penyebab Toxic Masculinity

toxic masculinity adalah

Penyebab Toxic Masculinity (Foto: Parboaboa/Kathleen) 

Penyebab dari munculnya tingkah laku seperti ini sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai faktor yang saling berhubungan. Beberapa penyebab toxic masculinity yang cukup sering terjadi yaitu:

Budaya dan Masyarakat

Orang-orang seringkali dipengaruhi oleh budaya dan masyarakat sekitar seperti stereotip tentang pria yang kuat, tidak boleh menangis, dan harus dominan.

Akibatnya, banyak pria merasa harus memenuhi ekspektasi tersebut, meskipun sebetulnya tidak sesuai dengan jati diri mereka.

Sosialisasi Berdasarkan Gender

Cara seseorang dididik serta lingkungan sosial kita memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara berpikir dan berperilaku.

Pria sering diajari untuk mengekspresikan diri dengan cara tertentu, seperti menahan emosi atau menunjukkan kekuatan fisik, sementara menunjukkan kerentanan atau kelemahan sering dianggap tabu atau lemah.

Bingung Identitas

Beberapa pria mungkin bingung atau tidak yakin tentang jati diri mereka sebagai pria. Untuk membuktikan diri atau mencari validasi, mereka memperlihatkan perilaku yang dianggap "maskulin" secara berlebihan.

Ketidakadilan Gender

Secara umum, toxic masculinity adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara pria dan wanita dalam masyarakat membuat beberapa pria merasa tidak aman atau terancam.

Hal ini dapat mendorong mereka untuk menunjukkan kekuatan lewat perilaku yang merugikan.

Kurang Pendidikan dan Pengetahuan

Kurangnya pemahaman tentang pentingnya kesetaraan gender, pemahaman yang salah tentang maskulinitas yang sehat, dan kurangnya pendidikan tentang dampak negatif dari perilaku merugikan bisa memperkuat atau membenarkan perilaku tersebut.

Dampak Toxic Masculinity

Dalam kehidupan sehari-hari, toxic masculinity adalah permasalahan yang seringkali menjadi hal terabaikan. Namun, dampak yang ditimbulkannya sangatlah serius dan merusak. Adapun beberapa dampak toxic masculinity adalah:

Kesehatan Mental yang Terkikis

Pola pikir seperti ini tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga merusak kesehatan mental kaum pria itu sendiri. Tuntutan untuk selalu tangguh, tidak menunjukkan emosi, dan menekan ekspresi diri dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan yang berkepanjangan.

Kekerasan sebagai Bentuk Penyaluran

Di lingkungan yang toksik, kekerasan seringkali menjadi salah satu bentuk penyaluran yang dijadikan pria untuk membuktikan maskulinitas mereka.

Dalam hal ini, dampak dari toxic masculinity adalah kekerasan dalam hubungan, pelecehan, dan bahkan kejahatan kekerasan yang lebih ekstrem.

Dampak terhadap Hubungan dan Kekuatan Emosional

Perilaku ini juga berdampak buruk pada hubungan interpersonal dan kekuatan emosional kaum pria.

Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan baik, mengekspresikan perasaan, dan membentuk hubungan yang sehat dapat merusak ikatan dengan orang-orang di sekitar mereka.

Ketimpangan Gender yang Tergalakkan

Pola pikir yang toksis juga memberi kontribusi pada ketimpangan gender yang masih melanda masyarakat kita. Hal ini termasuk ke dalam bagaimana pola pikir yang meremehkan perempuan dan memaksakan ekspektasi yang sempit pada kaum pria dapat menghambat kemajuan kesetaraan gender.

Cara Mengatasi Toxic Masculinity

toxic masculinity adalah

Cara mengatasi Toxic Masculinity (Foto: Parboaboa/Kathleen) 

Meski memiliki dampak buruk, ada beberapa cara mengatasi toxic masculinity yang bisa diterapkan untuk menghindari hal ini, seperti:

Edukasi dan Kesadaran

Cara mengatasi toxic masculinity adalah dengan memulai mendidik diri sendiri dan orang lain tentang konsep maskulinitas yang sehat dan pentingnya kesetaraan gender.

Baca buku, ikuti diskusi, atau tonton video yang membahas topik ini. Semakin banyak kita tahu, semakin siap kita menghadapinya.

Menyuarakan Perubahan

Jangan ragu untuk berbicara dan mengampanyekan perubahan. Jika melihat atau mendengar perilaku yang merugikan, berani lah untuk menyuarakan atau monolak hal tersebut. Ajak orang lain untuk memikirkan ulang pandangan mereka tentang maskulinitas.

Menyediakan Ruang untuk Ekspresi Emosi

Membantu untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pria untuk mengekspresikan emosi mereka tanpa takut dijatuhkan atau dianggap lemah supaya mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menyembunyikan perasaan.

Mendorong Kolaborasi dan Kesetaraan

Berikutnya, cara mengatasi toxic masculinity adalah mendorong kolaborasi yang seimbang antara pria dan wanita, baik itu di tempat kerja atau di rumah. Bagi tugas dan tanggung jawab secara adil, dan akui kontribusi setiap individu tanpa memandang gender.

Memperluas Pilihan dan Minat

Sambutlah minat dan hobi yang beragam tanpa memandang stereotip gender. Biarkan pria mengeksplorasi minat mereka tanpa merasa terjebak dalam ekspektasi sempit.

Menjadi Contoh yang Baik

Jadilah contoh yang baik dalam perilaku dan sikap kita sendiri. Tunjukkan bahwa menjadi pria yang baik dan bertanggung jawab tidak perlu melibatkan perilaku yang merugikan.

Ingat, proses mengatasi toxic masculinity adalah suatu hal yang membutuhkan waktu dan upaya dari kita semua.

Jadi, mari bersama-sama menciptakan dunia yang lebih inklusif, di mana setiap orang bisa menjadi diri mereka yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh stereotip atau tekanan yang merugikan.

Contoh Toxic Masculinity

contoh toxic masculinity di indonesia

Contoh Toxic Masculinity (Foto: Parboaboa/Kathleen) 

Ada banyak sekali sampel dan contoh dari tingkah laku seperti ini di lingkungan sekitar, yang mungkin cukup sering kamu jumpai. Satu diantara contoh toxic masculinity adalah ketika seorang pria yang selalu menunjukkan bahwa dia lebih kuat dari pada wanita dan menghindari emosi.

Misalnya, jika seorang pria menolak untuk menangis atau berbagi perasaannya karena takut dianggap lemah, itu adalah contoh dari toxic masculinity.

Begitu juga jika seorang pria menggunakan kekerasan atau agresi untuk memperlihatkan dominasinya atas orang lain, termasuk pasangannya, itu juga merupakan contoh toxic masculinity. Berikut beberapa contoh toxic masculinity di indonesia:

  • Mengolok atau merendahkan pria lain yang dianggap "tidak cukup maskulin" berdasarkan minat atau hobi mereka, misalnya menari atau memakai peralatan make up.
  • Menekan perempuan atau menganggap mereka lebih rendah secara sosial atau profesional hanya karena mereka perempuan.
  • Memaksakan stereotip gender kepada anak laki-laki, seperti mengatakan kepada mereka bahwa tidak boleh menunjukkan perasaan atau menangis.
  • Mendorong penyelesaian masalah dengan kekerasan atau menunjukkan kekuatan, misalnya terlibat dalam perkelahian tanpa alasan yang jelas.
  • Menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang hanya dilakukan oleh perempuan, sehingga menghambat karier wanita.
  • Memperoleh harga diri dengan merendahkan atau menjatuhkan pria lain, baik secara fisik maupun emosional, untuk memperkuat rasa superioritas sendiri.
  • Menolak mencari bantuan atau dukungan saat menghadapi masalah kesehatan mental karena dianggapan menunjukkan kelemahan atau kegagalan sebagai pria.
  • Mengabaikan atau mengecilkan pentingnya persetujuan dan izin dalam konteks hubungan intim, dengan menganggap bahwa pria berhak melakukan apa pun yang mereka inginkan terhadap pasangan mereka.
  • Menolak untuk terlibat dalam tugas atau peran perawatan dan pengasuhan anak, dengan anggapan bahwa itu adalah tugas "perempuan" yang tidak sesuai dengan gambaran maskulinitas mereka.
  • Membenarkan atau meremehkan penggunaan kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan dengan alasan bahwa itu adalah "hal yang wajar" atau "bagian dari menjadi pria."

Demikianlah contoh toxic masculinity di Indonesia yang cukup sering terjadi dan menjadi salah satu konflik masyarakat paling populer. Semoga ulasan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasanmu!

Editor: Ester
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS